Hukum Penitensier

A.       Pengertian
Secara harfiah hukum penintensier itu dapat diartikan sebagai suatu keseluruhan dari norma-norma yang mengatur masalah pidana dan pemidanaan. Hukum Penitensier atau hukum pelaksanaan pidana adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan ang berisi tentang cara bagaimana melaksanakan putusan hakim terhadap seseorang yang memiliki status sebagai terhukum.
   Hukum Penintensier yaitu bahagian dari hukum pidana yang mengatur/memberi aturan tentang sistem sanksi dalam hukum pidana.
W.H.A Jonkers menyebut penitentiar recht (hukum penetensier) sebagai strafrechttelijk atau bahasa Indonesianya hukum sanksi kepidanaan (J.M van Bemmelen-J.P.Balkema-Th.W.van Veen, 1987:28). Tujuannya adalah apa yang ingin dicapai orang dengan pemidanaannya itu yaitu melalui suatu organisasi.

Peraturan-peraturan Perundang-undangan yang mengandung norma-norma sebagai keseluruhan yang disebut sebagai hukum penintensier adalah :
1.   Buku I dan II KUHP
2.   Ordonantie 27 Desember 1917 yaitu tentang ketentuan pembebasan bersyarat.
3.   Ordonantie 6 November 1926
4.   STBL No 4/1987 tentang peraturan pelaksanaan pemidanaan bersyarat
Aturan-aturan tersebut meliputi tentang ketentuan pemberian pidana tindakan serta eksekusi sanksi pidana. Ketentuan-ketentuan pidana itu meliputi :
1.   Jenis-jenis sanksi pidana
2.   Ukuran pemidanaan
3.   Bentuk dan cara pemidanaan

Masalah pokok didalam Hukum Penitensier
1.    Pemidanaan ( fungsi Hakim Besar )
2.    Proses pemidanaan (tugas atau fungsi LP)
3.    Terpidana ( siapa yang diproses )

B.       Tujuan  Hukum Penintensier
Tujuan dari hukum penintensier adalah agar yang berhubungan dengan hukuman seseorang dapat dilaksanakan dengan baik. Hukuman penintensier baru dapat dilaksanakan apabila sudah ada putusan dari hakim.
Di dalam hukum pidana terkandung ada 3 konsep yang dapat dianggap sebagai konsep-konsep dasar dalam hukum pidana, ketiga konsep itu meliputi :
1.        Tindak pidana/perbuatan pidana (criminal oppense)
2.        Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan (criminal responsibility)
3.        Pemidanaan (Punishment)
Ketiga konsep dasar ini adalah oleh “HERBERT” dianggap sebagai Resionde Hukum Pidana, sebab ketiganya akan tergambar adanya 3 permasalahan pokok dalam hukum pidana.
Konsep yang pertama (1) yaitu tindak pidana akan menggambarkan permasalahan pokok mengenai apa ukuran yang menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana.
Konsep yang kedua (2) yaitu menyangkut ukuran apa yang dapat digunakan untuk menentukan pertanggungjawaban pidana seseorang yang dinyatakan sebagai pelaku tindak pidana.
Konsep ketiga (3) yaitu menggambarkan permasalahan pokok menyangkut bentuk sanksi yang bagaimanakah yang dapat ditimpakan kepada seseorang yang terbukti telah melakukan suatu tindak pidana.
Selama ini boleh dikatakan bahwa perhatian ahli hukum pidana dan kriminologi lebih banyak tertuju hanya kepada permasalahan yang tergambar pada konsep pertama (1) dan yang kedua (2) saja. Sementara masalah pidana dan pemidanaan itu lebih berkesan dan seolah-olah hanya dianggap sebagai anak tiri dalam hukum pidana. Anggapan seperti ini tidak dapat dibenarkan karena pidana dan pemidanaan itu memiliki fungsi dan kedudukan yang strategis dalam pemidanaan. Sebab tanpa adanya pidana dan pemidanaan itu tidak akan mungkin dinamakan hukum pidana apabila tidak ada unsur pidana didalamnya.
C.       Sumber Hukum Penitensier
Sumber hukum penitensier (pasal 10 KUHP ) yang berbunyi pidana terdiri atas :
ü    Pidana pokok (pidana mati, penjara, kurungan, denda, tutupan)
ü    Pidana tambahan (pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu,
D.       Ruang Lingkup dan Objek Studi
Adapun ruang lingkup Mata Kuliah Hukum Penitensier adalah pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 270 sampai Pasal 276 KUHAP. Putusan pengadilan adalah putusan yang dijatuhkan pengadilan kepada pelaku kejahatan ataupun pelanggaran yang pelaksanaannya dilakukan oleh Jaksa (Kejaksaan Negeri) setelah putusan pengadilan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu apabila terdakwa atau penasehat hukum dan Jaksa telah menerima putusan pengadilan tersebut.
Putusan pengadilan adalah pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 angka 11 KUHAP). Sedangkan jenis-jenis pidana yang dapat dijatuhkan hakim adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 10 KUHP yang terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan. Sedangkan pidana tambahan terdiri dari pencabutan beberapa hak tertentu, perampasan beberapa barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.
Adapun objek studi mata kuliah Hukum Penitensier ini tentang penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan maupun pelanggaran serta pelaksanaan pidana atas sanksi pidana yang telah dijatuhkan pengadilan berupa putusan hakim. Kejahatan yang diancam hukuman berat, yaitu tindak pidana yang pelakunya dapat dikenakan penahanan, seperti tindak pidana yang ancaman hukumannya 5 tahun atau lebih; atau tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun. Sedangkan pelanggaran adalah tindak pidana yang pelakunya tidak dapat dikenakan penahanan, dan diancam pidana denda atau pidana kurungan,yaitu, pertama, pelanggaran ancaman pidananya pidana denda Rp 250 atau kurungan 1 bulan, seperti pelanggaran lalu lintas; dan kedua, tipiring yang ancaman pidananya pidana denda dan kurungan seperti diatur Pasal 489 sampai Pasal 569 Buku Ketiga KUHP tentang Pelanggaran.
Secara umum kejahatan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. Tindak pidana umum adalah tindak pidana yang dilakukan oleh golongan menengah ke bawah. Sedangkan tindak pidana khusus yaitu tindak pidana yang dilakukan oleh golongan menengah ke atas. Pelanggaran yang sering dilakukan oleh pelaku adalah pelanggaran terhadap UULAJ, seperti melanggar traffic light, membawa motor tanpa STNK/SIM. Tindak pidana umum yang sering dilakukan pelaku kejahatan ini adalah pencurian biasa (Pasal 362 KUHP); pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP); sedang tindak pidana khusus yang sering dilakukan oleh pelaku kejahatan ini adalah korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana narkotika, dan tindak pidana terorisme.

Pidana dan Pemidanaan
A.    Istilah Pidana
Prof.Simon mengartikan pidana (straf) sebagai suatu penderitaan yang ditimpakan kepada seseorang, penderitaan tersebut oleh undang-undang pidana dikaitkan dengan telah terjadinya pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah
Dalam memberikan pemahaman terhadap konsep pidana, maka setelah mengemukakan berbagai defenisi akhirnya Prof. Muladi sampai kepada sebuah kesimpulan tentang unsure-unsur atau cirri-ciri yang terkandung di dalam pidana yaitu:
a.       Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenagkan.
b.      Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang)
c.       Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.

B.     Istilah Pemidanaan
Pemidanaan adalah penjatuhan pidana oleh hakim yang merupakan realisasi dari ketentuan pidana dalam undang-undang yang bersifat abstrak yang ditetapkan oleh hakim melalui penetapan hukum dan memutuskan hukumnya.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia, jelas terkandung makna bahwa suatu perbuatan pidana (kejahatan) harus mengandung unsur-unsur:
§    adanya perbuatan manusia
§    perbuatan tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum
§    adanya kesalahan
§    orang yang berbuat harus dapat dipertanggung jawabkan
§     
D.    Perkembangan pemidanaan
Pada zaman dahulu kala bentuk pemidanaan yang dijatuhkan kepada suatu masyarakat yang teratur kepada seorang penjahat adalah dalam bentuk :
1.   Menyingkirkan/melumpuhkannya sehingga penjahat itu tidak lagi mengganggu masyarakat pada masa yang akan datang. Penyingkiran itu dapat dilakukan dengan bermacam-macam cara.
Misalnya : Membuang/mengirim si penjahat ke seberang lautan. Pidana berupa pembuangan ini mencapai puncaknya di Inggris pada abad pertengahan dan akhir. Dimana banyak orang Inggris yang melakukan kejahatan diasingkan ke Australia. Di Indonesia terutama pada zaman Hindia Belanda pidana ini banyak juga dilakukan pada orang-orang politik.
2.   Kerja paksa
Misalnya : Kerja paksa mendayung kapal yang banyak dilakukan pada abad ke-17. Cara-cara kerja paksa seperti itu lama kelamaan menjadi hilang di Eropa. Pidana kerja paksa ini pernah juga dilakukan dalam bentuk paksaan untuk memutar roda yang sangat banyak menguras tenaga para napi sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk memberontak. Di Hindia Belanda kerja paksa dalam bentuk pembuatan jalan raya/membuat lubang-lubang dalam benteng pertahanan di zaman Jepang.
3.   Pidana mati
Di deretan panjang jenis-jenis sanksi pidana dalam sejarah pemidanaan sanksi yang terberat adalah menghabisi nyawa si penjahat yang disebut dengan pidana mati.
Cara-cara pidana mati pada zaman dahulu adalah sebagai kegiatan dengan ditarik kereta ke jurusan berlawanan. Ada pula yang dikubur hidup-hidup, digoreng dengan minyak, ditenggelamkan ke laut, jantungnya dicopet atau dirajam sampai mati.
Pidana mati seperti yang tersebut di atas lama kelamaan dilakukan dengan memberikan perhatian terhadap kemanusiaan sehingga akhirnya dikenal dengan pidana mati dengan cara dipotong, penggantungan di tiang gantungan, ditembak mati, disentrum dan sebagainya.

E.  Konsep-Konsep Pemidanaan
Bahwa pemidanaan yang diatur dalam KUHP dimulai dari pasal KUHP. Pasal KUHP ini sebagai dasar hukum dalam menjatuhkan pemidanaan oleh hakim. Pasal 10 KUHP menyebutkan dua jenis hukuman yaitu :
1.      Hukuman Pokok
2.      Hukuman tambahan
Termasuk hukuman pokok adalah hukuman “tutupan”, sedangkan hukuman tambahan adalah “perampasan, pengumuman keputusan hakim”. Hal ini kemudian berkembang terutama dalam tindak pidana diluar KUHP misalnya dalam delik ekonomi tindakan tata tertib sementara.
Timbul permasalahan sampai detik ini pasal 10 KUHP belum berubah berubah baik konsepnya maupun yuridisnya meskipun dalam praktek pelaksanaannya berbeda. Dalam praktek tidak ada penjara yang ada lembaga pemasyarakatannya. Jadi, konsepnya berubah. Konsep pidana masih tetap sama dengan konsep waktu W.V.S (Wet Boek van Strafrecht) Belanda muncul pertama kali pada tahun 1811. Orang yang dijatuhi pidana penjara harus masuk dan tinggal dibelakang tembok penjara.

Konsep dalam masalah pemidanaan :
Orang yang dipidana harus menjalani pidananya dibelakang tembok penjara. Ia diasingkan dari masyarakat ramai, terpisah dari kehidupannya yang biasa. Seperti yang telah dikatakan penjara itu sendiri berasal dari kata “penjera”, supaya orang itu jera tidak berbuat melanggar hukum lagi. Pembinaan dilakukan dibelakang tembok penjara itu. Belakangan ini timbul konsep dan usul baru dari kalangan masyarakat agar lebih diperhatikan perlakuan kemanusiaan terhadap terpidana. Orang mulai memikirkan misalnya tentang kebutuhan biologis dan sebagainya. Kalau sudah demikian maka tujuan pidana berupa penjeraan terhadap terpidana dapat berubah. Sebenarnya yang perlu diperhatikan adalah selain tujuan penjeraan terhadap terpidana yang bagaimanapun tidak dapat dihilangkan dalam suatu system pidana, perlu pula dipikirkan lebih mendalam tentang sosialisasi bukan hany masyarakat, hal ini bias terjadi jika masyarakat mau menerima. Dan tidak akan terjadi jika masyarakat beranggapan bahwa orang yang melakukan tindak pidana harus dibina didalam tembok.

F.  Tujuan Pemidanaan
Sesuai dengan politik hukum pidana, maka tujuan pemidanaan harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari kesejahteraan serta keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat dengan memperhatukan kepentingan masyarakat/negara, korban dan pelaku.
Atas dasar dan tujuan tersebut, maka pemidanaan harus mengandung unsur-unsur yang bersifat:
§     Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut, menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang.
§     Edukatif, dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan iamempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan.
§     Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil (baik oleh terhukum maupun oleh korban ataupun oleh masyarakat)
Teori-teori pemidanaan yang banyak dikemukakan oleh para sarjana mempertimbangkan berbagai aspek sasaran yang hendak dicapai, didalam penjatuhan pidana, yang dalam hal ini tidak terlepas dari nilai-nilai sosial budaya yang dihayati oleh para sarjana tersebut.

Secara tradisional teori-teori pemidanaan (dasar-dasar pembenaran dan tujuan pemidanaan) pada umumnya dapat dibagi dalam dua kelompok teori, yaitu:
1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (retributive/vergeiding theorien)
2. Teori Relatif atau Teori Tujuan (utilitarian/doeltheorien)
Teori Absolut, menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatumest). Menurut teori absolut ini setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar.Seseorang mendapat pidana oleh karena melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dengan dijatuhkannya pidana, tidak peduli apakah masyarakat mungkin akan dirugikan. Hanya dilihat kemasa depan. “ Utang pati nyaur pati, utang lara nyaur lara”. Yang berarti sipembunuh harus dibunuh, sipenganiaya harus dianiaya.“Pembalasan” (vergelding) oleh banyak orang dikemukakan sebagai alasan untuk memidana suatu kejahatan.Apabila ada seseorang oknum yang langsung kena atau menderita karena kejahatan itu, maka kepuasan hati itu terutama ada pada si oknum itu.
Dalam hal pembunuhan kepuasan hati ada pada keluarga si korban khususnya dan masyarakat umumnya. Dengan meluasnya kepuasan hati pada sekumpulan orang, maka akan mudah juga meluapkan sasaran dari pembalasan pada orang lain dari pada sipenjahat, yaitu sanak saudara atau kawan-kawan karib. Maka unsur pembalasan, meskipun dapat dimengerti tidak selalu dapat tepat menjadi ukuran untuk penetapan suatu pidana.
Teori relative, menurut teori ini memidana bukanlah untuk memutuskan tuntutan absolut dari keadilan.Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sasaran untuk melindungi kepentingan masyarakat.Oleh karena itu menurut J.Andenaes, teori ini dapat disebut sebgai teori perlindungan masyarakat (the theory of social defence).
Sedangkan menurut Nigel Walker teori ini lebih tepat disebut teori atau aliran reduktif (the reductive point of view) karena dasar pembenaran pidana menurut teori ini adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan.Oleh karena itu para penganutnya dapat disebut golongan Reducers (penganut teori reduktif).
Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimabalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat.Oleh karena itu teori inipun sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory).Jadi dasar pembenaran pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan quita peccatumest (karena orang membuat kejahatan) melainkan ne peccatum (supaya orang jangan melakukan kejahatan).
Disamping pembagian secara tradisional teori-teori pemidanaan seperti dikemukakan diatas, terdapat teori ketiga yang disesut teori gabungan (Verenigings Theorieen).Penulis yang pertama kali mengajukan teori gabungan ini adalah Pellegrino Rossi (1787-1818). Sekalipun ia menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun ia berpendirian bahwa pidana mempunyai berbagai pengaruh antara lain perbaikan suatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general.    

Jenis-jenis Pidana dalam KUHP
Jenis-jenis pidana dalam KUHP yang menentukan bahwa perbuatan pidana atau hukuman dapat dipahami sebagai suatu penderitaan atau nestapa yang dengan sengaja ditimpakan oleh negara kepada setiap orang yang terbukti telah melanggar aturan-aturan pidana yang terdapat dalam UU. Penderitaan berupa pidana yang dapat ditimpakan itu haruslah sesuatu yang secara eksplisit ditentukan dalam UU. Artinya orang tidak dapat dikatakan sanksi berupa pidana diluar dari apa yang telah ditentukan di dalam UU. Oleh karena itu dalam hal penjatuhan pidana hakim tidak terikat pada jenis-jenis sanksi pidana yang telah ditetapkan oleh UU.
Ini sudah merupakan pendirian dari Mahkamah Agung RI yang secara tegas menentukan dalam putusan MA RI tanggal 11 Maret 1970 No. 59K/KR/1969 dan putusan MA RI tanggal 13 Agustus 1974 No. 61 K/KR/1973 yang menentukan bahwa : Perbuatan menambah jenis-jenis pidana yang telah ditentukan dalam pasal 10 KUHP dengan lain-lain jenis pidana adalah terlarang.
Hukum pidana Indonesia menentukan jenis-jenis pidana itu atas pidana pokok dan pidana tambahan. Hal tersebut disebutkan secara tegas pada pasal 10 KUHP yang berbunyi :
Pidana terdiri atas :
1.        Pidana pokok
a.         Pidana mati
b.         Pidana penjara
c.         Pidana kurungan
d.        Pidana denda
2.        Pidana tambahan
a.         Pencabutan hak-hak tertentu
b.         Perampasan barang-barang tertentu
c.         Pengumuman putusan hakim

Kemudian pada tahun 1946 dengan UU No. 20 tahun 1946 hukum pidana Indonesia mengenal suatu jenis pidana pokok yang baru yaitu :

Pidana tutupan
Pidana tutupan ini pada hakekatnya adalah pidana penjara, namun dalam hal mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan pidana penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati maka hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan.
Sehubungan dengan jenis-jenis sanksi pidana di atas, ada beberapa hal yang harus diketahui dan patut dicatat sebagai suatu yang sangat penting dalam soal pemidanaan yaitu :
1. KUHP tidak mengenal suatu kumulasi (campuran) dari pidana pokok yang diancamkan bagi suatu tindak pidana tertentu khususnya pidana penjara dan pidana denda. Artinya hakim tidak dibenarkan untuk menjatuhkan dua jenis pidana pokok secara bersama-sama terhadap seorang terdakwa.
2.  Pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri melainkan selalu hanya dapat dijatuhkan bersama-sama dengan penjatuhan pidana pokok. Artinya : Pidana tambahan akan tergantung pada pidana pokok sehingga hakim tidak dapat menjatuhkan pidana tambahan saja tanpa pidana pokok.
Di samping menurut sistem pemidanaan yang dianut hakim pidana kita penjatuhan pidana tambahan itu sendiri sifatnya addat fakultatif maksudnya : Hakim tidaklah selalu harus menjatuhkan suatu pidana tambahan pada waktu ia menjatuhkan pidana pokok pada seorang terdakwa. Hal itu sepenuhnya diserahkan pada pertimbangan hakim, sehingga ia bebas menentukan besarnya pidana tambahan.

Perbedaan antara pidana pokok dan pidana tambahan :
1.      Pidana tambahan dapat ditambahkan pada pidana pokok dengan pengecualian, perampasan barang-barang tertentu dapat dilakukan terhadap anak yang diserahkan kepada pemerintah tetapi hanya mengenai barang-barang yang disita, sehingga pidana tambahan dapat ditambahkan dengan tindakan, bukan pada pidana pokok.
2.      Pidana tambahan bersifat fakultatif, artinya jika hakim yakin mengenai tindak pidana dan kesalahan terdakwa hakim tersebut tidak harus menjatuhkan pidana tambahan, kecuali untuk pasal 250, 250 BIS, 261 dan 275 KUHP. Yang bersifat imperatif, sebagaimana hakim harus menjatuhkan pidana pokok jika tindak pidana dan kesalahn terdakwa terbukti. Dalam penerapannya tiap-tiap pasal dalam KUHP digunakan sistem alternatif, artinya bila suatu tindak pidana hakim hanya boleh memilih salah satu saja. Hal ini berbeda dengan sistem kumulatif, dimana hakim dapat memilih lebih dari satu jenis pidana, bahkan diantara pasal-pasal KUHP terdapat pasal-pasal yang hanya mengancam secara tunggal dalam arti terhadap pelaku tindak pidana hakim harus menjatuhkan jenis yang diancam tersebut.

A.    Pidana Pokok
a.  Pidana Mati
Kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati adalah :
§ Makar, membunuh kepala Negara (pasal 104)
§ Mengajak Negara asing guna menyerang Indonesia (pasal 3 ayat 2)
§ Member pertolongan kepada musuh waktu Indonesia dalam keadaan perang (pasal 24 ayat 3)
§ Membunuh kepala Negara sahabat (pasal 140 ayat 3)
§ Pembunuhan dengan direncanakan lebih dahulu (pasal 140 ayat 3 dan 340)
§ Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan, pada waktu malam atau dengan jalan membongkar dan sebagainya yang menjadikan ada orang yang terluka berat atau mati (pasal 365 ayat 4)
§ Pembajakan dilaut, pesisir, di pantai dan di kali sehingga ada orang mati (pasal 444)
§ Pada waktu perang menganjurkan huru hara, pemberontakan dan sebagainya (pasal 124)
§ Dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan keperluan angkatan perang (pasal 127 dan 129)
§ Pemerasan dengan pemberatan pasal 36b ayat 2
Pidana mati dijalankan oleh algojo ditempat penggantungan dengan mempergunakan sebuah jerat dileher terpidana dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan tempat orang tiu berdiri. Cara ini ialah menurut pasal 11 KUHP yang dipakai Indonesia.
Tentang pelaksanaan pidana mati diatur dalam pasal 2 sampai pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 PNPS tahun 1964 yang pada prinsipnya menentukan hal-hal sebagai berikut :
a.                        Dalam jangka waktu 3x24 jam sebelum saat pidana mati itu dilaksanakan, jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan harus memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana mati tersebut. Apabila terpidana berkeinginan untuk mengemukakan sesuatu maka keterangan atau pesannya itu diterima oleh jaksa tinggi atau jaksa tersebut.
b.                       Apabila terpidana merupakan seorang wanita yang sedang hamil, maka pelaksanaan pidana mati ditunda hingga anak yang dikandungnya itu lahir.
c.                        Tempat pelaksanaan pidan mati ditentukan oleh menteri kehakiman, yakni didaerah hukum dari pengadilan tingkat pertama yang telah memutus pidana mati yang bersangkutan.
d.                       Kepala polisi dari daerah yang bersangkutan bertanggung jawab mengenai pelaksanaan mati tersebut setelah mendengar nasehat dari jaksa tinggi atau jaksa yang telah melakukan penuntutan pidana pada peradilan tingkat pertama.
e.                        Pelaksanaan pidana mati dilakukan oleh satu regu penembak polisi dibawah pimpinan dari seorang perwira polisi.
f.                        Kepala polisi dari daerah yang bersangkutan (perwira yang ditunjuk) harus menghadiri pelaksanaan pidana mati sedangkan pembela dari terpidan atas permintaanya sendiri atau atas permintaan terpidana dapat menghadirinya.
g.                       Pelaksanaan pidana mati tidak boleh dilakukan dimuka umum. Penguburan jenazah terpidana diserahkan kepada keluarga atau kepada sahabat-sahabat terpidana dan harus dicegah pelaksanaan penguburan bersifat demonstrasi, kecuali demi kepentingan umum maka jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan dapat menentukan lain.
h.                       Setelah pelaksanaan mati itu selesai dilaksanakan, maka jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan harus membuat berita acara mengenai pelaksanaan pidan mati tersebut, dimana isi dari berita acara tersebut kemudian harus dicantumkan didalam surat keputusan dari pengadilan yang bersangkutan.
b.   Pidana Penjara
Pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa pembatasan kebebasan bergerak yang dihukum dengan menutup atau menempatkan terpidana didalam sebuah LAPAS dengan mewajibkannya untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku didalam LAPAS tersebut. Pengaturan tentang pidana penjara didalam KUHP dirumuskan dalam pasal 12 KUHP.
Pasal 12 berbunyi:
                             (1) Pidana penjara ialah seumur hidup atau selama waktu tertentu.
                             (2) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut.
                             (3) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu, atau antara pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dilampaui sebab tambahanan pidana karena perbarengan, pengulangan atau karena ditentukan pasal 52.
                       (4) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi dua puluh tahun.

Pasal 13 berbunyi :
Para terpidana dijatuhi pidana penjara dibagi-bagi atas beberapa golongan
Orang-orang yang menjalani pidana penjara dibagi dalam beberapa golongan atau kelas, pembagian kelas – kelas terpidana penjara itu lebih lanjut diatur dalam peraturan kepenjaraan.
Sehubungan dengan hal tersebut pada pasal 12 ayat 1 UU No. 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan menentukan bahwa dalam rangka pembinaan terhadap narapidana di LAPAS dilakukan penggolongan atas dasar :
1.    Umur
2.    Jenis kelamin
3.    Lama pidana yang dijatuhkan
4.    Jenis kejahatan
5.    Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan dan pembinaan.

                     c.    Pidana Kurungan
Pidana kurungan terdiri dari :
                              -          Kurungan principle
Lamanya minimal 1 hari maksimum 1 tahun, dan dapat ditambah menjadi 1 tahun 4 bulan dalam hal – hal gabungan tindak pidana, penggabungan tindak pidana dan aturan dalam pasal 52 KUHP.
-          Kurungan Subsidair
Lamanya minimal 1 hari maksimum 6 bulan dan dapat ditambah sampai 8 bulan dalam ini gabungan tindak pidana, pengulangan tindak pidana dan aturan pelanggaran dalam pasal 52 KUHP.
Pidana kurungan pengganti denda ini dapat dikenakan kepada seseorang yang dijatuhi pidana denda yakni apabila ia tidak dapat/tidak mampu untuk membayar denda yang harus dibayarnya.

Perbedaan pidana penjara dan pidana kurungan antara lain :
               1. Pidana penjara dapat dijatuhkan dalam LAPAS dimana saja sedangkan pidana kurungan tidak dapat dijalankan diluar daerah dimana ia bertempat tinggal atau berdiam waktu pidana itu dijatuhkan.
               2. Orang yang dipidana penjara pekerjaaannya lebih berat daripada pidana kurungan dan tanpa waktu bekerja tiap hari bagi terpidana penjara selama 9 jam sedangkan bagi pidana kurungan hanya 8 jam.
               3. Orang – orang yang dipidana kurungan mempunyai hak pistole yaitu hak untuk memperbaiki keadaannya dalam rumah penjara atas biaya sendiri sedangkan terpidana penjara tidak memiliki hak tersebut.
d.      Pidana Denda
Pidana denda ditujukan kepada harta benda orang. Pidana denda ini biasa diancamkan/dijatuhkan terhadap tindak pidana ringan yakni berupa pelanggaran atau kejahatan ringan, oleh karena itu pidana denda adalah satu-satunya jenis pidana pokok yang dapat dipikul orang lain selain terpidana, artinya walaupun pidana denda dijatuhkan kepada seorang terpidana namun tidak ada halangan denda itu dibayar oleh orang lain atas nama terpidana. Dalam KUHP pengaturan pidana denda ini diatur dalam pasal 30 dan 31 KUHP, menentukan hal sebagai berikut :
Pasal 30 KUHP berbunyi :
-          Pidana denda paling sedikit adalah Rp. 3, 75 sen
-          Jika pidana denda tidak dibayar ia diganti demgam pidana kurungan
-          Lamanya kurungan pengganti sedikitnya 1 hari dan paling lama 6 bulan.
-          Pengganti ditentukan sbb, jika tindak pidana Rp.7,5 Sen atau kurungan dihitung 1 hari, jika lebih Rp. 7,5 sen maka tiap – tiap itu kelebihan itu dihitung 1 hari demikian pula sisanya yang tidak cukup Rp. 7,5 sen.
-          Jika ada pemberatan pidana denda disebabkan karena perbarengan atau pengulangan atau karena ketentuan pasal 52 KUHP maka pidana kurungan pengganti paling lama dapat menjadi 8 bulan.
-          Pidana kurungan pengganti sekali-kali tidak boleh lebih 8 bulan.
Pasal 31 KUHP berbunyi :
-          Terpidana denda dapat menjalani pidana kurungan pengganti tanpa menunggu batas waktu pembayaran denda.
-          Setiap waktu ia berhak dilepas dari kurungan pengganti jika ia membayar dendanya.
-          Pembayaran sebahagian pidana denda baik sebelum maupun sesudah mulai menjalankan pidana kurungan pengganti membebaskan terpidana dari sebahagian pidana kurungan yang seimbang dengan bagian yang dibayarnya.

B.     Pidana Tambahan
a.   Pencabutan Hak-Hak Tertentu
Merupakan pidana tambahan yang diatur dalam pasal 35 ayat (1) KUHP. Hak-hak yang dapat dicabut itu antara lain :
-       Hak untuk mendapat segala jabatan/jabatan yang tertentu dengan maksud dengan jabatan itu yaitu :
§   Tugas kepala negara/bagian-bagian dari negara
§   Hak untuk angkatan bersenjata
§   Hak ilmu aktif dan pasif anggota DPR
§   Hak untuk menjadi penasehat, wali dan lain-lain
§   Hak kuasa bapak dan sebagainya
§   Hak untuk melakukan pekerjaan yang tertentu yaitu segala pekerjaan yang bukan pegawai negeri.
Pencabutan beberapa hak tertentu ini diberikan apabila/kepada :
-       Menyuruh melakukan dan mengeluarkan surat palsu kepada pembesar negeri/pejabat pemerintah (dilihat pasal 317 KUHP)
-       Perbuatan memfitnah sehingga orang lain melakukan tindak pidana (pasal 318 KUHP)
-       Karena kekhilafan melakukan penahanan (pasal 334 KUHP)
-       Menggugurkan kandungan baik dengan izin/tanpa izin wanita yang hamil tersebut (pasal 347 dan 348 KUHP)
-       Melakukan pembunuhan
-       Melakukan pencurian baik yang biasa/memberatkan/pencurian dengan kekerasan/ancamannya berakibat luka/mati (pasal 362, 363, 365 KUHP)
-       Tindak pidana penggelapan
-       Tindak pidana penggelapan karena jabatan
-       Tindak pidana penggelapan karena keberadaannya berada pada suatu organisasi (pasal 375 KUHP)
             
              b.   Perampasan Barang-Barang Tertentu
Menurut pasal 39 KUHP ada 2 jenis barang yang dapat dirampas yaitu :
-     Barang yang dirampas dari suatu kejahatan.
·         Misal : Uang palsu yang diperoleh karena kejahatan.
·         Barang-barang ini disebut dengan Corpora Deliari
-        Barang yang digunakan untuk suatu kejahatan
·         Misal : Pisau/senpi yang digunakan untuk membunuh.
-       Barang-barang ini disebut dengan Intrumenta Deliari
Dengan demikian pasal 39 KUHP ini memiliki 3 petunjuk data yaitu :
-         Yang dapat dirampas adalah barang yang diperoleh dari kejahatan dan barang yang digunakan untuk kejahatan.
-         Hanya untuk kejahatan saja tidak untuk pelanggaran
-         Barang yang dirampas milik yang terpidana saja
Pidana kurungan pengganti ada 2 bentuk yaitu :
-          Pidana kurungan pengganti denda
-          Pidana kurungan pengganti barang-barang
Seorang terpidana dibebaskan dari terpidana kurungan apabila pidana kurungan pengganti perampasan barang dimana pembayaran sejumlah uang yang ditetapkan yang besarnya sama dengan nilai yang dirampas.
Pidana kurungan pengganti denda. Hanya dapat dibebaskan dengan membayar denda yang ditetapkan dengan putusan hakim. Pidana kurungan ini dapat diperpanjang paling lama 6 bulan. Sedangkan pidana kurungan pengganti barang tidak dapat diperpanjang dari batas maximum 6 bulan.

c.    Pengumuman Putusan Pidana Hakim
Senantiasa diucapkan dimuka umum, akan tetapi bila dianggap perlu di samping sebagai pidana tambahan putusan tersebut akan langsung disiarkan sejelas-jelasnya dengan cara yang ditentukan oleh hakim, misalnya :
§     Melalui televisi
§     Melalui radio
§     Melalui surat kabar dan lain-lain
Semuanya itu atas ongkos orang yang dihukum yang dapat dipandang sebagai suatu pengecualian karena pada umumnya penyelenggaraan hukuman itu harus dipikul oleh negara.

A.    Pidana Bersyarat
Pidana bersyarat (voorwaardelijke veroordeling) terdapat pada pasal 14 KUHP. Pidana bersyarat adalah : Suatu pemidanaan yang pelaksanaannya oleh hakim digantungkan pada syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan dalam putusan hakim.
Ketentuan tentang pidana bersyarat itu terdapat pada pasal 14a – 14 f  KUHP diwaris dari Belanda, tetapi dengan perkembangan zaman telah terdapat perbedaan antara keduanya. Ketentuan tentang pidana bersyarat masih tetap terikat pada pasal 10 KUHP, hanya batas pidana itu tidak akan lebih satu tahun penjara atau kurungan.
Pasal 14 c KUHP menyatakan : Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama atau pidana kurungan maka dalam putusannya hakim dapat memerintahkan bahwa pidana tidak usah dijalani kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang memang lain disebabkan karena terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis atau karena terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang ditentukan dalam perintah itu.
Pidana bersyarat juga dapat diberikan karena pidana denda apabila hakim yakin bahwa pembayaran denda betul-betul dirasakan berat oleh terpidana.
Berdasarkan pasal 14 c ayat (1) di atas pidana bersyarat dapat diadakan apabila : Hakim menjatuhkan pidana paling lama 1 tahun/pidana kurungan.
Jadi yang menentukan bukanlah pidana penjara yang diancamkan melainkan pidana penjara yang dijatuhkan pada terdakwa. Terpidana yang diberikan pidana bersyarat haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu yaitu :
a.    Syarat umum
Terpidana bersyarat tidak akan melakukan delik apa pun dalam waktu yang ditentukan.
b.   Syarat khusus
Ditentukan oleh hakim
Disamping itu juga dapat ditentukan syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi dimana masa percobaan/selama sebagian masa percobaan.
Bilamana syarat umum dan khusus tidak dipenuhi maka berdasarkan pasal 14 f ayat (1) KUHP hakim atas usul pejabat yang berwenang menyuruh menjalankan putusan dapat diperintahkan supaya putusan pidana dapat dijalankan/ memerintahkan supaya atas namanya diberikan peringatan kepada terpidana.
Masa percobaan dimulai sejak putusan tersebut mulai ditetapkan dan telah diberitahukan kepada terpidana menurut tata cara yang ditentukan oleh UU.
Berdasarkan pasal 14 b (3) KUHP : Masa percobaan tidak dihitung selama terpidana berada pada tahanan sementara.
Dalam praktik, pengawasan oleh jaksa ini tidak berjalan semestinya. Seakan-akan pengawasan hanya bersifat formalitas belaka. Dalam organisasi kejaksaan negeri, tidak ada bagian khusus menangani pidana bersyarat yang sangat penting itu. Setelah perjanjian antara terpidana dan jaksa seakan-akan masalah telah selesai. Akan tetapi jaksa dapat juga memerintahkan kepada lembaga yang berbentuk badan hukum atau kepada pimpinan suatu rumah penampungan atau kepada pejabat tertentu supaya memberi bantuan kepada terpidana dalam memenuhi syarat-syarat khusus.
Menurut pasal 14 KUHP, selanjutnya pidana bersyarat itu diatur dengan undang-undang. Undang-undang yang dimaksud adalah Abld.1926 No.251 jo.486, berlaku mulai Januari 1927, diubah dengan Sbld.1934 No.172.

B.  Tindakan dan kebijaksanaan
Yang dimaksud dengan tindakan atau yang didalam bahasa belanda juga sering disebut dengan perkataan Maatregel adalah lembaga-lembaga hukum yang disebutkan dalam hukum positif yang secara langsung ada hubungannya dengan putusan hakim dalam mengadili perkara-perkara pidana. Akan tetapi yang bukan merupakan  suatu pemidanaan dan bukan pula merupakan suatu kebijaksanaan.                   
Salah satu lembaga hukum yang disebutkan oleh para penulis Belanda yaitu tindakan atau maatregel adalah lemabag penempatan seseorang dibawah pengawasan pemerintah atau lemabaga terbeschikingstelling van de regering, dimana seseorang itu dapat dimasukkan kedalam suatu lemabaga pendidikan Negara atau dapat disebabkan kepada seseorang, kepada sebuah lembaga atau kepada sebuah yayasan untuk dididik sesuai dengan keinginan dari pemerintah, hingga orang tersebut mencapai usia delapan belas tahun.
Tentang perbedaan antara pidana dan tindakan atau pemidanaan dengan penindakan Hazewinkel-Suringa menjelaskan, bahwa suatu pemidanaan itu pada hakikatnya merupakan suatu kebijakasanaan untuk memberikan semacam penderitaan kepada seorang pelaku tindak pidana, sedangkan pada suatu penindakan menurut hukum pidana unsure kesengajanan untuk emberikan semacam penderitaan seperti itu tidak ada sama sekali.
Pemahaman yang lebih komprehensif tentang perbedaan antara pidana (punishment) dengan tindan (treatment) dikemukakan oleh Alf Ross. Menurut Alf Ross “concept of punishment” bertolak pada dua syarat atau tujuan, yaitu:
Pertama, pidana ditunjukkan pada pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan.
Kedua, pidana itu merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku
Perbedaan antara pidana dan tindakan menurut Alf Ross tidaklah didasarkan pada ada atau tidak adanya unsure yang pertama (unsure penderitaan), akan tetapi harus didasarkan pada ada tidaknya unsure kedua (unsure pencelaan).
Bentuk-bentuk tindakan yang dikenal dalam hukum pidana Indonesia diantaranya adalah penempatan seseorang dibawah pengawasan pemerintah, penyerahan seorang anak kepada sebuah lembaga untuk dididik sesuai dengan keinginan pemerintah sampai anak itu menjadi dewasa, dan pengembalian seorang anak kepada orang tua atau walinya

Pasal 45 menyatakan bahwa :
       “Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasar- kan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503 - 505, 514, 517 - 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah”.

Menurut ketentuan pasal 45 KUHP, ada tiga kemungkinan yang dapat dilakukan oleh hakim dalam hal memberikan sanksi terhadap seorang anak di bawah umur (belum berumur 16 tahun) yang bukti melakukan tindak pidana yaitu:
1.      Memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya tanpa dipidana apapun, atau
2.      Memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa dipidana apapun, atau
3.      Menjatuhkan pidana.
Tentang batasan belum cukup umur atau belum dewasa (minderjaring) tidak ditemukan adalah seragaman atau kesamaan dinatara berbagai undang-undang yang berlaku di Indonesia. Ketentuan hukum perdata mencantumkan, bahwa yang dimaksud dengan anak dibawah umur adalah mereka yang belum berumur 21 tahun dan sebelumnya tidak kawin (pasal 330 KUHPerdata). Akan tetapi KUHP menentukan batas usia belum dewasa itu adalah merekan yang melakukan kejahatan sebelum berusia 16 tahun. Namun dewasa ini yang dipakai sebagai ukuran yuridis untuk menentukan usia belum dewasa itu adalah ketentuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak, yang menentukan bahwa batas usia belum dewasa itu adalah 18 tahun dan belum pernah kawin (pasal 1 angka 1).
Penjatuhan pidana atau tindakan terhadap anak nakal yang melakukan kejahatan dalam Undang-undang No 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak dilakukan dengan cara :

1.      Pasal 23
(1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan.
(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:
a. pidana penjara;
b. pidana kurungan;
c. pidana denda; atau
d. pidana pengawasan.
(3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.
(4) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diaturlebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
2. Pasal 24
(1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:
a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, orangtua asuh;
b. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan,pembinaan, dan latihan kerja; atau
c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim.
Keistimewaan penjatuhan sanksi bagi anak yang melakukan kejahatan bila dibandingkan dengan orang dewasa adalah, didalam putusan hakim dapat ditentukan supaya yang bersalah kepada orang tuanya tanpa pidana apapun. Biasanya bila hakim meyakini akan perbuatan pidana dan kesalahan seseorang, maka hakim akan menjatuhkan pidana, sekalipun ada hal yang meringankan. Akan tetapi dalam hal anak nakal tidaklah demikian.
Meskipun penempatan seorang anak nakal dibawah pengawasan pemerintah untuk dididik atau dibina dapat disebut sebagai suatu tindakan dan bukan merupakan suatu pidana, namun kiranya tidak dapat disangkal, bahwa tindakan seperti itu juga membawa suatu penderitaan bagi anak.
Dengan keterangan seperti tersebut diatas Lamintang menyimpulakan[1][32] bahwa yang dimaksud dengan tindakan (maatregel) adalah lembaga-lembaga hukum yang disebutkan dalam hukum positif yang secara langsung ada hubungannya dengan putusan hakim dalam mengadili perkara pidana, akan tetapi yang bukan merupakan suatu pemidanaan atau suatu kebijaksanaan. Sedangkan yang dimaksud dengan kebijaksanaan adalah lembaga-lembaga hukum yang disebutkan dalam hukum positif yang secara langsung ada hubungannya dengan putusan hakim dalam mengadili perkara pidana, akan tetapi yang bukan merupakan suatu pemidanaan atau tindakan.
Di Nederland dikenal suatu jenis tindakan baru yang disebut ontrekking aan het verkeer (penarik dari peredaran) yang disebut dalama pasal 35 b WvS Netherland. Disitu disebutkan bahwa dengan putusan hakim, suatu benda yang telah disita dapat ditarik dari perdaran:
1.Dengan putusan hakim yang telah menyatakan seseorang yang telah melakukan suatu delik
2.Dengan putusan hakim berdasarkan pasal 9a tidak ada pidana yang dijatuhkan.
Sebagaimana diketahui pasal 9a WvS Nederland merupakan hasil sisipan yang menetukan bahwa seseorang dengan putusan hakim dapat dinyatakan terbukti telah melakukan delik yang didakwakan namun karena kecilnya arti perbuatan, keadaan pada waktu melakukan dan sesudah melakukan (ada penyelesaian) maka tidak dijatuhkan pidana.Jadi, dalam hal itu benda yang telah disita (barang bukti) dapat kenakan tindakan berupa penarikan dari peredaran.
3. Dengan putusan hakim, tidak dengan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan ditentukan, bahwa suatu delik telah dilakukan.
4. Dengan penetapan hakim atas tuntutan penuntut umum.
Tindakan jenis ini mirip sekali dengan pidana tambahan berupa perampasan. Bagaimana benda yang tidak bergerak, dapatkan dikenakan tindakan jenis ini? Hazewinkel-Suringa menyatakan tidak dapat (Hazewinkel-Suringa Remmelink, 1989:647).
Tindakan jenis ini dapat dikenakan bersama dengan pidana dan tindakan yang lain, ketentuan semacam ini perlu dimasukan juga kedalam rancangan KUHP baru.
Di Indonesia, sebenarnya dengan Undang-undang Nomor 7 (drt) tahun 1955 tentang tindakan pidana ekonomi, telah diperkenalkan beberapa jenis tindakan baru yang disebut “tindakan tata tertib” seperti yang disebut dalam pasal 8 yang berbunyi sebagai berikut.
Tindakan tata tertib ialah:
a.Penetapan perusahaan siterhukum, dimana dilakukan suatu tindakan pidana ekonomi di bawah pengampuan waktu selama-lamanya tiga tahun, dalam hal tindak pidana ekonomi itu adalah kejahatan dan dalam hal tindak pidana ekonomi itu adalah pelanggaran untuk waktu selama-lamanya 2 tahun.
b. Mewajibkan pembayaran uang jaminan sebanyak-banyaknya seratus ribu rupiah dan untuk waktu selama-lamanya tiga tahun dalam hal tindak pidana ekonomi adalah kejahatan, dalam hal tindak pidana ekonimi adalah pelanggaran, uang jaminan itu adalah sebanyak-banyaknya lima puluh ribu rupiah untuk wwaktu selama-lamanya dua tahun.
c. Mewajibkan membayar sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan menurut tafsiran yang diperoleh dari suatu tindak pidana atau tindak pidana-tindak pidana semacam itu, dalam hal cukup bukti-bukti bahwa tindak pidana ekonomi itu dilakukan oleh siterhukum.
d. Mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak, dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama lain, semua atas biaya siterhukum, sekedar hakim tidak menetukan lain.
Jenis tindakan tata tertib ini dijatuhkan bersama-sama dengan pidana, kecuali dalam hal diberlakukan pasal 44 KUHP (tidak dapat dipertanggungjawabkan) yang tersebut dalam butir b tidak dapat diterapkan.

C. Pelepasan Bersyarat
Di samping pidana bersyarat, dikenal pula pelepasan bersyarat. Perbedaannya ialah pada pidana bersyarat terpidana tidak pernah menjalani pidananya kecuali jika ia melanggar syarat umum atau syarat khusus yang ditentukan oleh hakim, sedangkan pada pelepasan bersyarat terpidana harus telah menjalani pidananya paling lama dua per tiganya. Pelepasan bersyarat ini tidak imperative dan otomatis. Dikatakan “dapat” diberikan pelepasan bersyarat.
Salah satu bentuk lembaga kebijaksanaan dalam hukum pidana kita adalah apa yang dikenal dengan pembebasan bersyarat (pelepasan bersyarat), yaitu pelepasan dari kewajiban untuk menjalankan pidana penjara.Hal tersebut diatur dalam pasal 15 sampai pasal 17 KUHP.

Pasal 15
(1) Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, sekurang-kurangnya harus sembilan bulan, maka ia dapat dikenakan pelepasan bersyarat. Jika terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut- turut, pidana itu dianggap sebagai satu pidana.
(2) Ketika memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan pula suatu masa percobaan, serta ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan.
(3) Masa percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani, ditambah satu tahun. Jika terpidana ada dalam tahanan yang sah, maka waktu itu tidak termasuk masa percobaan.

Pasal 15a
(1) Pelepasan bersyarat diberikan dengan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana dan perbuatan lain yang tidak baik.]
(2) Selain itu, juga boleh ditambahkan syarat-syarat khusus mengenai kelakuan terpidana, asal saja tidak mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik.
(3) Yang diserahi mengawasi supaya segala syarat dipenuhi ialah pejabat tersebut dalam pasal 14d ayat 1.
(4) Agar supaya syarat-syarat dipenuhi, dapat diadakan pengawasan khusus yang semata- mata harus bertujuan memberi bantuan kepada terpidana.
(5) Selama masa percobaan, syarat-syarat dapat diubah atau di hapus atau dapat diadakan syarat-syarat khusus baru; begitu juga dapat diadakan pengawasan khusus. Pengawasan khusus itu dapat diserahkan kepada orang lain daripada orang yang semula diserahi.
(6) Orang yang mendapat pelepasan bersyarat diberi surat pas yang memuat syarat-syarat yang harus dipenuhinya. Jika hal-hal yang tersebut dalam ayat di atas dijalankan, maka orang itu diberi surat pas baru.
Pasal 15b
(1) Jika orang yang diberi pelepasan bersyarat selama masa percobaan melakukan hal-hal yang melanggar syarat-syarat tersebut dalam surat pasnya, maka pelepasan bersyarat dapat dicabut. Jika ada sangkaan keras bahwa hal-hal di atas dilakukan, Menteri Kehakiman dapat menghentikan pelepasan bersyarat tersebut untuk sementara waktu.
(2) Waktu selama terpidasna dilepaskan bersyarat sampai menjalani pidana lagi, tidak termasuk waktu pidananya.
(3) Jika tiga bulan setelah masa percobaan habis, pelepasan bersyarat tidak dapat dicabut kembali, kecuali jika sebelum waktu tiga bulan lewat, terpidana dituntut karena melakukan tindak pidana pada masa percobaan, dan tuntutan berakhir dengan putusan pidana yang menjadi tetap. Pelepasan bersyarat masih dapat dicabut dalam waktu tiga bulan bersyarat masih dapat dicabut dalam waktu tiga bulan setelah putusan menjadi tetap berdasarkan pertimbangan bahwa terpidana melakukan tindak pidana selama masa percobaan.
Pasal 16
(1) Ketentuan pelepasan bersyarat ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul atau setelah mendapat kabar dari pengurus penjara tempat terpidana, dan setelah mendapat keterangan dari jaksa tempat asal terpidana. Sebelum menentukan, harus ditanya dahulu pendapat Dewan Reklasering Pusat, yang tugasnya diatur oleh Menteri Kehakiman.
(2) Ketentuan mencabut pelepasan bersyarat, begitu juga hal-hal yang tersebut dalam pasal 15a ayat 5, ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul atau setelah mendapat kabar dari jaksa tempat asal terpidana. Sebelum memutus, harus ditanya dahulu pendapat Dewan Reklasering Pusat.
(3) Selama pelepasan masih dapat dicabut, maka atas perintah jaksa tempat dimana dia berada, orang yang dilapaskan bersyarat orang yang dilepaskan bersyarat dapat ditahan guna menjaga ketertiban umum, jika ada sangkaan yang beralasan bahwa orang itu selama masa percobaan telah berbuat hal-hal yang melanggar syarat-syarat tersebut dalam surat pasnya. Jaksa harus segera memberitahukan penahanan itu kepada Menteri Kehakiman.
(4) Waktu penahanan paling lama enam puluh ahri. Jika penahanan disusul dengan penghentian untuk sementara waktu atau pencabutan pelepasan bersyarat, maka orang itu dianggap meneruskan menjalani pidananya mulai dari tahanan.
Pasal 17
Contoh surat pas dan peraturan pelaksanaan pasal-pasal 15, 15a, dan 16 diatur dengan undang-undang.

Keputusan untuk memberikan pelepasan bersyarat dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman setelah mendengar pendapat  penuntut umum dan tentu pejabat lemabaga pemasyarakatan, yang lebih mengetahui tingkah laku terpidana selama menjalani pidana penjaranya.
Maksud pelepasan bersyarat sama dengan pidana bersyarat, ialah mengembalikan terpidana ke dalam masyarakat untuk menjadi warga yang baik dan berguna. Oleh karena itulah, sebelum diberikan pelepasan bersyarat kepada terpidana, harus dipertimbangkan masak-masak kepentingan masyarakat yang menerima berkas terpidana. Harus dipersiapkan lapangan kerja yang sesuai dengan bakat dan keterampilan yang telah diperolehnya selama dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Pelepasan bersyarat dapat diberikan pada terpidana adalah apabila ia telah menjalani dua pertiga dari pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya atau sekurang-kurangnya 9 bulan (pasal 15 ayat 1 KUHP). Ketika memberikan pelepasan bersyarat, harus ditentukan pula masa percobaan, serta ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan itu (pasal 15 ayat 2 KUHP). Masa percobaan itu sendiri lamanya adalah sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani, ditambah satu tahun dan untuk menentukan masa percobaan tidak ikut diperhitungkan waktu selama terpidana berada dalam tahanan yang sah (pasal 15 ayat 3 KUHP).
Sementara itu, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh terpidana dalam hal pelepasan bersyarat ini terdiri dari sayarat umum dan syarat khusus :
1.      Sayarat umum merupakan keharusan bagi terpidana, bahwa selama masa percobaan itu ia tidak boleh melakukan tindak pidana dan perbuatan-perbuatan tercela lainnya (pasal 15 a ayat (1) KUHP). Syarat umum ini sifatnya adalah imperative.
2.      Syarat khusus ialah sesuatu yang berkenaan dengan perilaku terpidana, asalkan syarat-syarat itu tidak membatasi kebebasannya untuk beragama dan kemerdekaan berpolitik (pasal 15 a ayat (2) KUHP).
Menurut Schepper, advis dewan reglasering untuk diberikannya pelepasan bersyarat meliputi hal berikut:
-       Sifat delik itu sendiri.
Bagaimana pendapat masyarakat jiak diperikan pelepasan bersyarat, apakan tidak menimbulkan tindak sewenang-wenang yang akan mengganggu ketertiban umum dan peradilan.
Termasuk pula pertimbangan prevensi umum.
-       Sikap dan kepribadian terpidana, berkaitan dengan pandangan masyarakat Indonesia, ini merupakan masalah sikap dan tingkah laku terpidana selama dalam penjara.
-       Tinjauan terhadap penghidupan terpidana sesudah itu, pekerjaannya, bantuan moral dan sanak keluarga atau dari reklasering (Jonkers, 1946:189).
Jika terpidana melanggar perjanjian atau syarat-syarat yang ditentukan dalam surat pelepasan (verlofpas), terpidana dapat dipanggil kembali untuk menjalani sisa pidananya. Pelepasan bersyarat dapat dicabut kembali atas usul Jaksa di tempat terpidana berdiam dengan pertimbanagn dewan pusat reklasering.
Jika ia melanggar perjanjian atasu syarat-syarat yang ditentukan, sambil menunggu putusan Menteri Kehakilan, Jaksa dapat melakukan penahanan terhadapnya selama enam puluh hari. Jika waktu itu telah lewat dan belum keluar keputusan tersebut, terpidana harus dikeluarkan dari tahanan.
Dikatakan dalam pasal 6 ayat (3) bahwa jika ada sangkaan yang beralasan bahwa orang itu selama dalam masa percobaan telah berbuat hal-hal yang melanggar syarat-syarat tersebut, jaksa dapat melakukan penahanan. Jika ada sangkaan kuat seperti tersebut, dapat dilakukan penundaan (schorsing) oleh menteri kehakiman.
Perbedaan antara penundaan (schorsing) dengan penahanan ialah sebagai berikut.
1.      Penundaan (Schorsing) oleh Menteri Kehakiman, sedangkan penahanan oleh jaksa (dahulu asissten resident) dimana terpidana berdiam.
2.      Penundaan mengakibatkan terpidana langsung diperlakukan sebagai narapidana, sedangkan penahanan bersifat preventif.
3.      Penundaan tidak ada jangka waktunya (berakhir pada waktu pidana berakhir), sedangkan penahanan hanya untuk waktu 60 hari (Jonkers,1946:201)
Dalam praktek, pengawasan terhadap orang yang dilepas bersyarat itu dilakukan ole jaksa ditempay ia berdiam, dengan paraf pada buku pelepasan bersyarat yang ditunjukkan oleh terpidana pada waktu ditentukan secara berkala.
Hal yang tidak diatur dapat diberikan pelepasan bersyarat ialah pidana seumur hidup sehingga pidana penjara seumur hidup benar-benar dapat dijalani seumur hidup. Tidaklah mungkin dapat dihitung dua per tiga dari seumur hidup. Di Netherland disebutkan bahwa dalam hal pidana penjara seumur hidup, dapat diberikan pelepasan bersyarat jika pidana penjaranya telah dijalani selama tiga belas tahun.
D. Izin hidup bebas diluar lembaga pemasyarakatan
Ketentuan ini diatur dalam pasal 20 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menentukan:
1.      Putusan hakim dapat ditetapkan, bahwa orang-orang yang dipidana dengan pidana penjara atau pidana kurungan selama-lamanya satu bulan. Oleh jaksa dapat di izinkan untuk dapat hidup secara bebas setelah jam kerja.
2.      Jika seorang terpidana yang untuk kepentingannya telah dibuatkan suatu ketentuan yang tersendiri, bukan karena hal-hal yang tidak tergantung pada kemauannya sendiri telah tidak hadir pada waktu dan di tempat yang telah ditentukan untuk melakukan pekerjaannya, maka ia harus menjalankan pidananya seperti biasa.
3.      Ketentuan seperti dimaksud dalam ayat (1) tidak diperlakukan pada waktu melakukan tindak pidana, belum lampau waktu dua tahun sejak orang yang bersalah mejalankan pidana penjara atau pidana kurungan.
Pembentuk undang-undang ternyata telah tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai maksud dari pembentuk-pembentukan pasal 20 KUHP tersebut, dan di dalam pasal 64 dari  gestichtenreglement isinya hanya menentukan bahwa:
1.                  Orang-orang yang berdasarkan putusan hakim telah diizinkan untuk dapat hidup secara bebas diluar lembaga pemasyarakatan setelah jam kerja, pada dasarnya harus dipandang dan diperlakukan sebagai orang-orang yang bebas sesudah jam kerja.
2.                  Pabila mereka itu lain dari hal-hal yang tidak tergantung pada kemauan mereka tidak hadir pada waktu dan ditempat yang telah ditentukan untuk melakukan pekerjaan yang telah diperintahkan kepada mereka, atau apabila mereka itu ternyata telah berperilaku secaa tidak baik, maka untuk selanjutnya mereka itu harus menjalankan pidana meraka dengan cara yang biasa..
3.                  Apabila dianggap perlu, maka untuk menampung orang terpidana seperti yang dimaksudkan dalam ayat (1), dapat dibangun suatu tempat kediaman yang baik yang letaknya harus berdekatan dengan lembaga pemasyarakatan.

V.Grasi
§   Penghapusan Denda
§   Perubahan / penggantian
§   Pengurangan pidana (Jumlah)
§   Pengurangan denda
UU grasi -- UU no. 22 tahun 2002, pengganti UU no. 1 tahun 1950
Berlakunya grasi setelah putusan hakim yang incrahct.

A.    Pengertian Grasi
Dalam arti sempit berarti merupakan tindakan meniadakan hukuman yang telah diputuskan oleh hakim. Dengan kata lain, Presiden berhak untuk meniadakan hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim kepada seseorang.
Grasi merupakan pengampunan yang dapat menimbulkan kesalah pahaman, seolah-olah dengan adanya pengampunan dari kepala negara, lantas keseluruhan kesalahan dari terpidana menjadi diampuni atau seluruh akibat hukum dari tindak pidana menjadi ditiadakan. Untuk menghilangkan kesalahfahaman itu pengampunan tidak boleh semata-mata diartikan sebagai sesuatu yang sama sekali menghilangkan akibat hukum dari suatu tindak pidana yang dilakukan terpidana.
Artinya pengampunan dimaksudkan tidaklah melulu berkenaan dengan diadakannya penghapusan pidana yang telah dijatuhkan oleh hakaim yang telah punya kekuatan hukum tetap, melainkan juga dapat berkenaan :
1.   Perubahan dari jenis pidana yang telah dijatuhkan hakim.
Misal : perubahan dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup.
2.   Pengurangan lamanya pidana penjara, pidana tutupan dan pidana kurungan.
3.   Pengurangan besarnya uang denda seperti yang telah diputuskan hakim bagi terpidana.
Menurut VAN HAMMEL, grasi adalah suatu pernyataan dari kekuasaan yang tertinggi yang menyatakan bahwa akibat-akibat menurut hukum pidana dari suatu delik itu menjadi ditiadakan, baik seluruhnya maupun sebahagian.
Menurut HATEWINKEL SURINGA , grasi adalah pemidanaan dari seluruh pidana atau pengurangan dari suatu pidana (mengenai waktu, jumlah) atau perubahan mengenai pidana tersebut.
Menurut Pasal 1 UU no. 22 tahun 2002, Grasi diartikan sebagai pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanan pidana kepada terpidana.

B.     Bentuk – Bentuk Grasi
Didalam ilmu pengetahuan hukum pidana peniadaan pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim bagi seorang terpidana yang telah punya kekuatan hukum tetap biasanya disebut grasi dalam arti sempit. Akan tetapi secara komprehensif grasi dapat dibagi dalam 4 bentuk :
1.      Grasi (dalam arti sempit) yaitu peniadaan pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim yang telah punya kekuatan hukum tetap.
2.      Amnesti, yakni suatu pernyataan secara umum menurut ditiadakannya semua akibat hukum. Menurut hukum pidana dari suatu tindak pidana atau dari suatu jenis tindak pidana tertentu bagi semua orang, yang mungkin saja terlibat dalam tindak pidana tersebut, baik yang telah dijatuhi pidana maupun yang belum dijatuhi pidana oleh hakim, baik yang sudah dituntut maupun yang belum dituntut, baik yang disidik maupun yang yang belum disidik, baik yang diketahui maupun yang tidak diketahui oleh kekuasaan yang syah.
3.      Abolisi, yaitu peniadaan dari hak untuk melakukan penuntutan menurut hukum pidana atau penghentian dari penuntutan dari hukum pidana yang telah dilakukan.
4.      Rehabilitasi, yaitu pengembalian kewenangan hukum dari seseorang yang telah hilang berdasarkan suatu putusan hakima taupun berdasarkan suatu putusan hakim yang bersifat khusus (militer).

Menurut Van Hamel, pengembalian kewenangan hukum yang tela hilang berdasarkan suatu putusan hakim yang sifatnya khusus atau formal merupakan suatu kekhususan dari grasi dalam arti yang sebenarnya.

C.    Permohonan Grasi
Menurut UU no. 22 tahun 2002 tentang grasi, diatur prinsip – prinsip dan tata cara pengajuan grasi.
Ruang lingkup permohonan dan pemberian grasi menurut pasal 2 Undang-undang nomor 2002 adalah :
1.         Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden.
2.         Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pidana mati, penjara seumur hidup, penjara paling rendah 2 (dua) tahun.
3.         Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali, kecuali dalam hal :
a. terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut; atau
b.                        terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima.
Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati (pasal 3)
Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung.
Pemberian grasi oleh Presiden dapat berupa :
a. peringanan atau perubahan jenis pidana;
b. pengurangan jumlah pidana; atau
c. penghapusan pelaksanaan pidana.
D.    Pengajuan permohonan grasi
Hak mengajukan grasi diberitahukan kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang yang memutus perkara pada tingkat pertama.
Pihak-pihak yang berhak mengajukan permohonan grasi menurut pasal 6 Undang-undang Nomor 22 tahun 2002:
1 Permohonan grasi oleh terpidana atau kuasa hukumnya diajukan kepada Presiden.
2 Permohonan dapat diajukan oleh keluarga terpidana, dengan persetujuan terpidana.
3 Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana.
E.  Alasan – Alasan Mengajukan Grasi
Menurut POMPE,
Adanya kekurangan dalam UU yang dalam suatu peradilan telah menyebabkan hakim terpaksa menjatuhkan suatu pidana tertentu, yang apabila kepada hakim itu telah diberikan kebebasan yang lebih besar, akan menyebabkan seseorang itu dibebaskan, atau tidak diadili seperti overmacht.

VI.    Amnesti       
Amnesti (dari bahasa Yunani, amnestia) adalah sebuah tindakan hukum yang mengembalikan status tak bersalah kepada orang yang sudah dinyatakan bersalah secara hukum sebelumnya. Amnesti diberikan oleh badan hukum tinggi negara semisal badan eksekutif tertinggi, badan legislatif atau badan yudikatif.
Di Indonesia, amnesti merupakan salah satu hak presiden di bidang yudikatif sebagai akibat penerapan sistem pembagian kekuasaan
Amnesti merupakan suatu pernyataan terhadap orang banyak yang terlibat dalam suatu tindak pidana untuk meniadakan suatu akibat hukum pidana yang timbul dari tindak pidana tersebut. Amnesti ini diberikan kepada orang-orang yang sudah ataupun yang belum dijatuhi hukuman, yang sudah ataupun yang belum diadakan pengusutan atau pemeriksaan terhadap tindak pidana tersebut. Amnesti agak berbeda dengan grasi, abolisi atau rehabilitasi karena amnesti ditujukan kepada orang banyak. Pemberian amnesti yang pernah diberikan oleh suatu negara diberikan terhadap delik yang bersifat politik seperti pemberontakan atau suatu pemogokan kaum buruh yang membawa akibat luas terhadap kepentingan negara.
VII.  Abolisi
Merupakan suatu keputusan untuk menghentikan pengusutan dan pemeriksaan suatu perkara, dimana pengadilan belum menjatuhkan keputusan terhadap perkara tersebut. Seorang presiden memberikan abolisi dengan pertimbangan demi alasan umum mengingat perkara yang menyangkut para tersangka tersebut terkait dengan kepentingan negara yang tidak bisa dikorbankan oleh keputusan pengadilan.
VIII. Rehabilitasi
Pompe berpendapat, bahwa lembaga rehabilitasi itu tidak ada artinya hukum pidana yang bersifat merendahkan martabat manusia atau apa yang disebut onterende straffen itu tidak dikenakan didalam hukum pidana kita.
Tentang hal tersebut Pompe mengatakan bahwa:
Rehabilitasi itu dapat dirumuskan orang sebagai suatu pernyataan tentang batalnya akibat-akibat menurut hukum pidana, yang menurut hukum telah dikaitkan dengan pidana. Yang menjadi pokok permasalahan dalam hal ini adalah masalaha pencabutan dari wewenang-wewenang, yakni yang misalnya dapat terjadi didalam apa yang disebut pidana-pidana yang bersifat merndahkan martabat manusia. Mengingat bahwa pidana-pidana tersebut tidak terdapat didalam hukum pidana kita, maka lembaga rehabilitasi itu tidak mempunyai arti bagi kita.
Menurut hemat penulis lembaga rehabilitasi itu tidak selalu harus dihubungan dengan ada atau tidak adanya lembaga onterende straffen didalam hukum pidana kita. Bukankah kita juga mempunyai lembaga pencabutan hak-hak tertentu sebagai pidana tambahan? Bukankah hak-hak seperti itu apabila telah dinyatakan sebagai dicabut dengan suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap hanya dapat dipulihkan kembali oleh kepala Negara dengan lembaga rehabilitasi?
Bagi kita di Indonesia, perlu atau tidak perlunya lembaga rehabilitasi tersebut kiranya tidak dapat dipermaslahkan lagi, justru karena lembaga rehabilitasi itu merupakan salah satu hak prerogratif dari kepala Negara dan diakui di dalam UUD 1945 kita.
Rehabilitasi merupakan suatu tindakan Presiden dalam rangka mengembalikan hak seseorang yang telah hilang karena suatu keputusan hakim yang ternyata dalam waktu berikutnya terbukti bahwa kesalahan yang telah dilakukan seorang tersangka tidak seberapa dibandingkan dengan perkiraan semula atau bahkan ia ternyata tidak bersalah sama sekali. Fokus rehabilitasi ini terletak pada nilai kehormatan yang diperoleh kembali dan hal ini tidak tergantung kepada Undang-undang tetapi pada pandangan masyarakat sekitarnya

IX. Ukuran-Ukuran Dalam Penjatuhan Pidana
Faktor-faktor yang dapat dijelaskan pedoman di dalam penjatuhan pidana bersyarat yaitu :
a.    Sebelum melakukan tindak pidana tersebut dia :
1)        Belum pernah melakukan tindak pidana sebelumnya
2)        Terdakwa masih sangat muda
3)        Tindak pidana yang dilakukan tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar
4)        Terdakwa tidak menduga bahwa tindak pidana yang dilakukannya akan menimbulkan kerugian besar
5)        Terdakwa melakukan tindak pidana disebabkan atas hasutan orang lain yang dilakukan dengan intensitas yang besar
6)        Terdapat alasan-alasan yang cukup kuat yang cenderung untuk dapat dijadikan dasar memaafkan perbuatannya
7)        Korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut
8)        Terdakwa telah membayar ganti rugi/akan membayar ganti rugi kepada si korban atas kerugian-kerugian/penderitaan-penderitaan akibat perbuatannya
9)        Tindak pidana tersebut merupakan akibat dari keadaan-keadaan yang tidak mungkin terulang lagi
10)    Kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana lain
11)    Pidana perampasan kemerdekaan akan menimbulkan penderitaan yang berat baik bagi terdakwa atau keluarga.
12)    Terdakwa diperkirakan dapat menanggapi dengan baik pembinaan yang bersifat non konstitusional
13)    Tindak pidana terjadi pada pihak keluarga
14)    Tindak pidana terjadi karena kealfaan
15)    Terdakwa sudah sangat tua
16)    Terdakwa adalah pelajar/mahasiswa
17)    Khusus terdakwa di bawah umur hakim kurang yakin dengan kemampuan orang tua untuk mendidik


DAFTAR PUSTAKA

Andreae, Fockema, Kamus Istilah Hukum, Belanda-Indonesia, Binacipta, 1977
A.Z.Abidin Farid, A.Hamzah, Bentuk-bentuk Khusus Perwujudan Delik (percobaan, penyertaan dan penggabungan delik) dan Hukum Penitensier, Jakarta, PT RajaGrafindo,2006
Barda Nawawi Arief, Perlindungan HAM dan Tindak Kekerasan Dalam Penegakan Hukum Pidana,  Bahan Diskusi Panel RUU Kepolisian, 15 Juli 1997, Fakultas Hukum Undip
Harahap, Ikhran, Diktat Hukum Penitensier,Fakultas Hukum UMSB
Priyatno, Dwidja, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara, Refika Aditama, Bandung 2006
Sholehuddin, M, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System & Implementasinya), Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003
Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil di Masa Datang, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, 1990
Teuku Muhammad Radie, Pembangunan Hukum Nasional Dalam Perspektif Kebijakan Dalam IdentitasHukum Nasional, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1997, hal. 203.
Baharudin Lopa, Etika Pembangunan Hukum Nasional Dalam Identitas Hukum Nasional, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1997, hal. 17.
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat
Imly Asshidiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Angkasa, Bandung, 1997
Koento Wibisono, Etika Pembangunan Hukum Nasional Dalam Identitas Hukum Nasional, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1997, hal. 6.
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1983, hal. 124.
Undang-undang nomo 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
http://eprints.undip.ac.id/18231/1/Slamet_Siswanta.pdf  diakses tanggal 4 Desember 2011 pukul 10.00
Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, mengutip Harry E. Allen and Cliffford E. Simmonsen, dalam Correction in America : An Introduction, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak ( Juvenile Justice System ) di Indonesia, UNICEF, Indonesia, 2003
A.Syamsudin Meliala dan E.Sumaryono, Kejahatan Anak Suatu Tinjauan dari Psikologis dan Hukum, Yogyakarta, Liberty, 1985
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1991



0 Response to "Hukum Penitensier"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel