Hukum Kehutanan
A.
Pengertian
Hutan adalah
sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya.
Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di wilayah-wilayah yang luas di dunia dan
berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon
dioxide sink), habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari tanah, dan merupakan salah satu aspek biosfer Bumi yang paling penting.
Menurut M.
Hariyanto Hukum Kehutanan adalah Kumpulan peraturan atau kaedah tentang
kebolehan, keharusan atau larangan; baik tertulis maupun tidak tertulis; yang
mengatur hubungan antara: negara (pemerintah) dengan hutan, kawasan hutan,
hasil hutan, tumbuhan dan satwa liar; negara dengan orang yang terkait
dengan hutan, kawasan hutan, hasil hutan, tumbuhan dan satwa liar; orang dengan
hutan, kawasan hutan, hasil hutan. tumbuhan dan satwa liar, bersifat memaksa
(imperatif); dan sanksi bagi yang melanggarnya.
Sedangkan
Menurut Idris Sarong Al Mar, Hukum kehutanan
adalah serangkaian kaidah-kaidah/norma-norma (tidak tertulis) dan
peraturan-peraturan (tertulis) yang hidup dan dipertahankan dalam hal-hal hutan
dan kehutanan.
Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa hukum kehutanan
meliputi:
(1) adanya kaidah hukum kehutanan baik tertulis maupun tidak tertulis;
(2) mengatur hubungan antara negara dengan hutan dan kehutanan, dan;
(3) mengatur hubungan antara individu (perorangan) dengan hutan dan kehutanan.
B. Jenis-Jenis
Hutan
Didalam Pasal 5 UU No. 41
Tahun 1999 Jo UU Nomor 19 Tahun 2004, ditentukan ada empat jenis
hutan, yaitu berdasarkan:
(1) statusnya,
(2) fungsinya,
(3) tujuan khusus, dan
(4) pengaturan iklim mikro,
estetika, dan resapan air.
Indonesia
adalah salah satu negara yang memiliki hutan yang luas di dunia. Luas hutan
tersebut dulu mencapai 113 juta hektar dan terus berkurang drastis akibat
kebodohan oknum pemerintah dan penjahat yang selalu haus uang dengan membabat
dan menggunduli hutan demi mendapat keuntungan yang besar tanpa melihat dampak
bagi lingkungan global.
Brikut di bawah ini adalah pembagian macam-macam/jenis-jenis hutan yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia disertai arti definisi dan pengertian :
1. Hutan Bakau
Hutan bakau adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai berlumpur. Contoh : pantai timur kalimantan, pantai selatan cilacap, dll.
2. Hutan Sabana
Hutan sabana adalah hutan padang rumput yang luas dengan jumlah pohon yang sangat sedikit dengan curah hujan yang rendah. Contoh : Nusa tenggara.
3. Hutan Rawa
Hutan rawa adalah hutan yang berada di daerah berawa dengan tumbuhan nipah tumbuh di hutan rawa. Contoh : Papua selatan, Kalimantan, dsb.
4. Hutan Hujan Tropis
Hutan hujan tropis adalah hutan lebat / hutan rimba belantara yang tumbuh di sekitar garis khatulistiwa / ukuator yang memiliki curah turun hujan yang sangat tinggi. Hutan jenis yang satu ini memiliki tingkat kelembapan yang tinggi, bertanah subur, humus tinggi dan basah serta sulit untuk dimasuki oleh manusia. Hutan ini sangat disukai pembalak hutan liar dan juga pembalak legal jahat yang senang merusak hutan dan merugikan negara trilyunan rupiah. Contoh : hutan kalimantan, hutan sumatera, dsb.
5. Hutan Musim
Hutan musim adalah hutan dengan curah hujan tinggi namun punya periode musim kemarau yang panjang yang menggugurkan daun di kala kemarau menyelimuti hutan.
Di samping itu hutan terbagi / dibagi berdasarkan fungsinya, yaitu :
1. Hutan Wisata
Hutan wisata adalah hutan yang dijadikan suaka alam yang ditujukan untuk melindungi tumbuh-tumbuhan serta hewan / binatang langka agar tidak musnah / punah di masa depan. Hutan suaka alam dilarang untuk ditebang dan diganggu dialih fungsi sebagai buka hutan. Biasanya hutan wisata menjadi tempat rekreasi orang dan tempat penelitian.
2. Hutan Cadangan
Hutan cadangan merupakan hutan yang dijadikan sebagai lahan pertanian dan pemukiman penduduk. Di pulau jawa terdapat sekitar 20 juta hektar hutan cadangan.
3. Hutan Lindung
Hutan lindung adalah hutan yang difungsikan sebagai penjaga ketaraturan air dalam tanah (fungsi hidrolisis), menjaga tanah agar tidak terjadi erosi serta untuk mengatur iklim (fungsi klimatologis) sebagai penanggulang pencematan udara seperti C02 (karbon dioksida) dan C0 (karbon monoksida). Hutan lindung sangat dilindungi dari perusakan penebangan hutan membabibuta yang umumnya terdapat di sekitar lereng dan bibir pantai.
4. Hutan Produksi / Hutan Industri
Hutan produksi yaitu adalah hutan yang dapat dikelola untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomi. Hutan produksi dapat dikategorikan menjadi dua golongan yakni hutan rimba dan hutan budidaya. Hutan rimba adalah hutan yang alami sedangkan hutan budidaya adalah hutan yang sengaja dikelola manusia yang biasanya terdiri dari satu jenis tanaman saja. Hutan rimba yang diusahakan manusia harus menebang pohon denga sistem tebang pilih dengan memilih pohon yang cukup umur dan ukuran saja agar yang masih kecil tidak ikut rusak.
Brikut di bawah ini adalah pembagian macam-macam/jenis-jenis hutan yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia disertai arti definisi dan pengertian :
1. Hutan Bakau
Hutan bakau adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai berlumpur. Contoh : pantai timur kalimantan, pantai selatan cilacap, dll.
2. Hutan Sabana
Hutan sabana adalah hutan padang rumput yang luas dengan jumlah pohon yang sangat sedikit dengan curah hujan yang rendah. Contoh : Nusa tenggara.
3. Hutan Rawa
Hutan rawa adalah hutan yang berada di daerah berawa dengan tumbuhan nipah tumbuh di hutan rawa. Contoh : Papua selatan, Kalimantan, dsb.
4. Hutan Hujan Tropis
Hutan hujan tropis adalah hutan lebat / hutan rimba belantara yang tumbuh di sekitar garis khatulistiwa / ukuator yang memiliki curah turun hujan yang sangat tinggi. Hutan jenis yang satu ini memiliki tingkat kelembapan yang tinggi, bertanah subur, humus tinggi dan basah serta sulit untuk dimasuki oleh manusia. Hutan ini sangat disukai pembalak hutan liar dan juga pembalak legal jahat yang senang merusak hutan dan merugikan negara trilyunan rupiah. Contoh : hutan kalimantan, hutan sumatera, dsb.
5. Hutan Musim
Hutan musim adalah hutan dengan curah hujan tinggi namun punya periode musim kemarau yang panjang yang menggugurkan daun di kala kemarau menyelimuti hutan.
Di samping itu hutan terbagi / dibagi berdasarkan fungsinya, yaitu :
1. Hutan Wisata
Hutan wisata adalah hutan yang dijadikan suaka alam yang ditujukan untuk melindungi tumbuh-tumbuhan serta hewan / binatang langka agar tidak musnah / punah di masa depan. Hutan suaka alam dilarang untuk ditebang dan diganggu dialih fungsi sebagai buka hutan. Biasanya hutan wisata menjadi tempat rekreasi orang dan tempat penelitian.
2. Hutan Cadangan
Hutan cadangan merupakan hutan yang dijadikan sebagai lahan pertanian dan pemukiman penduduk. Di pulau jawa terdapat sekitar 20 juta hektar hutan cadangan.
3. Hutan Lindung
Hutan lindung adalah hutan yang difungsikan sebagai penjaga ketaraturan air dalam tanah (fungsi hidrolisis), menjaga tanah agar tidak terjadi erosi serta untuk mengatur iklim (fungsi klimatologis) sebagai penanggulang pencematan udara seperti C02 (karbon dioksida) dan C0 (karbon monoksida). Hutan lindung sangat dilindungi dari perusakan penebangan hutan membabibuta yang umumnya terdapat di sekitar lereng dan bibir pantai.
4. Hutan Produksi / Hutan Industri
Hutan produksi yaitu adalah hutan yang dapat dikelola untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomi. Hutan produksi dapat dikategorikan menjadi dua golongan yakni hutan rimba dan hutan budidaya. Hutan rimba adalah hutan yang alami sedangkan hutan budidaya adalah hutan yang sengaja dikelola manusia yang biasanya terdiri dari satu jenis tanaman saja. Hutan rimba yang diusahakan manusia harus menebang pohon denga sistem tebang pilih dengan memilih pohon yang cukup umur dan ukuran saja agar yang masih kecil tidak ikut rusak.
C. Asas
Penyelenggaraan Kehutanan
- Manfaat dan lestari,
dimaksudkan agar setiap pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan
memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial dan
budaya, serta ekonomi.
- Kerakyatan dan keadilan,
dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan harus memberikan peluang
dan kesempatan yang sama kepada semua warga negara sesuai dengan
kemampuannya, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat. Oleh
karena itu, dalam pemberian wewenang pengelolaan atau izin pemanfaatan
hutan harus dicegah terjadinya praktek monopoli, monopsoni, oligopoli, dan
oligopsoni.
- Kebersamaan,
dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan kehutanan menerapkan pola usaha
bersama sehingga terjalin saling keterkaitan dan saling ketergantungan
secara sinergis antara masyarakat setempat dengan BUMN atau BUMD, dan BUMS
Indonesia, dalam rangka pemberdayaan usaha kecil, menengah, dan koperasi.
- Keterbukaan,
dimaksudkan agar setiap kegiatan penyelenggaraan kehutanan
mengikutsertakan masyarakat dan memperhatikan aspirasi masyarakat.
- Keterpaduan,
dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan dilakukan secara terpadu
dengan memperhatikan kepentingan nasional, sektor lain, dan masyarakat
setempat.
D. Tujuan
Hukum kehutanan
Tujuan hokum kehutanan adalah
melindungi, memanfaatan, dan melestarikan hutan agar dapat berfungsi dan
memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat secara lestari.Hukum kehutanan
mempunyai sifat khusus (lex specialis)
karena hokum kehuatan ini hanya mengatur hal-hal yang berakaitan dengan hutan
dan kehutanan.Apabila ada peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur
materi yang bersangkutan dengan hutan dan kehutanan maka akan diberlakukan
lebih dahulu adalah hokum kehutanan.Oleh karena itu, hokum hokum kehutanan
disebut sebagai lex specialis,
sedangkan hokum lainnya seprti agraria dan hokum lingkungan sebagai hokum umum
(lex specialis derogate legi generalis)
E. Status dan
fungsi hutan
1) Status
hutan
Menurut pasal 5 UU
No 41 1999 tentang kehutanan, Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari:
· hutan Negara yaitu hutan yang berada pada tanah
yang tidak dibebani hak atas tanah.
· hutan hak yaitu hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak
atas tanah. Hak atas tanah, misalnya hak milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), dan
hak guna bangunan (HGB).
2) Fungsi
hutan
Hutan mempunyai tiga fungsi, menurut pasal 6 ayat (1) UU No 41
tahun 1999 tentang kehutanan
yaitu:
1. Hutan
Konservasi
Hutan
Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi
pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan
konservasi terdiri atas kawasan hutan suaka alam (Hutan dengan ciri khas
tertentu, seperti satwa dan ekosistemnya) dan kawasan hutan pelestarian alam
(hutan dengan ciri khas tertentu seperti taman nasional, tahura, taman wisata
alam).
2) Hutan
Lindung
Hutan
lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan
sistem penyangga kehidupan
3)
Hutan
Produksi
Hutan
produksi adalah kawasan hutan yang diperuntukkan guna produksi hasil hutan
untuk memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya serta pembangunan, industri,
dan ekspor pada khususnya. Hutan produksi dibagi menjadi tiga, yaitu hutan
produksi terbatas (HPT), hutan produksi tetap (HP), dan hutan produksi yang
dapat dikonservasikan (HPK).
Secara umum fungsi hutan adalah untuk kehidupan Sebagai
bagian dari cagar lapisan biosfer, hutan memiliki banyak fungsi yang sangat
bermanfaat bagi kehidupan makhluk di muka bumi.Tak hanya manusia, hewan dan
tumbuhan pun sangat memerlukan hutan untuk kelangsungan hidupnya.
F. Manfaat Hutan Bagi Manusia dan Lingkungan
Hutan memiliki banyak manfaat untuk kita semua. Hutan merupakan paru-paru dunia (planet bumi) sehingga perlu kita jaga karena jika tidak maka hanya akan membawa dampak yang buruk bagi kita di masa kini dan masa yang akan datang, Manfaat Hutan Antara Lain:
Hutan memiliki banyak manfaat untuk kita semua. Hutan merupakan paru-paru dunia (planet bumi) sehingga perlu kita jaga karena jika tidak maka hanya akan membawa dampak yang buruk bagi kita di masa kini dan masa yang akan datang, Manfaat Hutan Antara Lain:
1.
Hasil hutan dapat dijual langsung atau diolah menjadi
berbagai barang yang bernilai tinggi.
2.
Membuka lapangan pekerjaan bagi pembalak hutan legal.
3.
Menyumbang devisa negara dari hasil penjualan produk
hasil hutan ke luar negeri.
4.
Dapat menampung air hujan di dalam tanah
5.
Mencegah intrusi air laut yang asin
6.
Menjadi pengatur tata air tanah
7.
Mencegah erosi dan banjir
8.
Menjaga dan mempertahankan kesuburan tanah
9.
sebagai wilayah untuk melestarikan kenaekaragaman
hayati
G. Faktor
Yang Mempengaruhi Persebaran Hutan
1. Keadaan tanah
Daerah gurun pasir akan membentuk hutan yang berbeda dengan daerah tropis yang banyak hujannya.
2. Tinggi rendah permukaan tanah
Jenis hutan beserta isi tanaman dipengaruhi oleh suhu wilayah yang berbeda antara dataran tinggi dan dataran rendah.
3. Makhluk hidup
Manusia dapat menentukan di mana boleh ada hutan dan tidak boleh ada hutan.
4. Iklim
Iklim yang memiliki curah hujan tinggi akan membentuk hutan yang lebat seperti hutan hujan tropis.
1. Keadaan tanah
Daerah gurun pasir akan membentuk hutan yang berbeda dengan daerah tropis yang banyak hujannya.
2. Tinggi rendah permukaan tanah
Jenis hutan beserta isi tanaman dipengaruhi oleh suhu wilayah yang berbeda antara dataran tinggi dan dataran rendah.
3. Makhluk hidup
Manusia dapat menentukan di mana boleh ada hutan dan tidak boleh ada hutan.
4. Iklim
Iklim yang memiliki curah hujan tinggi akan membentuk hutan yang lebat seperti hutan hujan tropis.
H. Sejarah
hukum kehutanan di Indonesia
Pembahasan
perkembangan hukum kehutanan Indonesia dapat dikategorikan dalam tiga
historika, yaitu pengaturan kehutanan sebelum penjajahan, masa penjajahan
Pemerintah Hindia Belanda, dan masa setelah kemerdekaan.
1.
Sebelum Penjajahan
Pada masa sebelum
penjajahan Belanda, persoalan kehutanan diatur oleh hokum adat masing-masing
komunitas masyarakat. Sekalipun pada masa itu tingkat kemampuan tulis baca
anggota masyarakatnya masih rendah, tetapi dalam setiap masyarakat tersebut
tetap ada hukum yang mengaturnya. Von Savigny mengajarkan bahwa hukum mengikuti
jiwa/semangat rakyat (volkgeist) dari masyarakat tempat hukum itu
berlaku. Karena volkgeist masing-masing masyarakat berlainan, maka hukum
masing-masing masyarakat juga berlainan. Hukum yang dimaksudkan dan dikenal pada masa
itu adalah hokum adat. Iman Sudiyat menyimpulkan, Hukum Adat itu hukum yang
terutama mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungannya satu sama
lain, baik berupa keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang
benar-benar hidup dalam masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh
anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan
yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam
keputusan-keputusan para penguasa adat.
Era zaman sebelum masuknya pengaruh asing
(Zaman Malaio Polinesia), kehidupan masyarakat di nusantara ini mengikuti adat
istiadat yang dipengaruhi oleh alam yang serba kesaktian. Alam kesaktian tidak
terletak pada alam kenyataan yang dapat dicapai dengan pancaindera, melainkan
segala sesuatunya didasarkan pada apa yang dialami menurut anggapan semata-mata
terhadap benda kesaktian, paduan kesaktian, sari kesaktian,
sang hyiang kesaktian, dan pengantara kesaktian. Pada masa itu,
pengantara kesaktian memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakatnya,
termasuk dalam proses menemukan dan memberikan hukuman.
Sedangkan pada zaman
Hindu, tepatnya dimasa Raja Tulodong, Kerajaan Mataram yang meliputi wilayah
Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan ibukotanya Medang (di Grobongan). Raja
tersebut pernah mengeluarkan titah pada tahun 919 M yang mengatur hak raja atas tanah, bahwa tanah hutan yang
diperlukan raja ditentukan oleh raja sendiri batasnya, tetapi apabila
menyangkut tanah sawah hak milik rakyat maka raja harus membelinya lebih
dahulu. Hemat kami, inilah awal mulanya pengakuan resmi bahwa hutan dan segala
isinya berada di bawah kekuasaan raja. Sejak masa tersebutlah dikenal istilah
hutan kerajaan, yang kemudian terus populer di sebagian besar wilayah
nusantara.
Berbeda halnya dengan
di Aceh, setelah masuknya Agama Islam pada tahun 1078 M di Peurlak dan Kerajaan
Pasai, maka semua tatanan
kehidupan masyarakatnya dipengaruhi oleh ajaran agama Islam, termasuk tatanan
hukumnya. Hak tertinggi dalam penguasaan tanah dan hutan di Aceh bukanlah pada
raja, melainkan pada Allah yang Maha Kuasa. Semua tanah dan hutan dalam wilayah
kemukiman di Aceh selama belum berada dalam kekuasaan seseorang dinamakan tanoh
hak kullah (hak Allah) atau uteun poeteu Allah. Setiap orang warga
masyarakatnya dapat dengan leluasa menebang kayu sekedar untuk bahan
perumahannya, mengambil hasil hutan, berburu binatang dan mencari ikan. Apabila
hal ini dilakukan sebagai mata pencaharian maka ada kewajiban memberikan
sebagian hasil untuk desanya.[1][8]
2. Masa Penjajahan
Didalam masa
penjajahan terdapat 3 (tiga) masa antara lain:
a. Masa Penjajahan oleh
VOC (1602 – 1799)
Sebelum dijajah oleh Pemerintah Hindia Belanda,
nusantara ini, terutama Jawa dan Madura, berada dibawah penjajahan Verenigde
Oost Indische Compagnie (VOC), yang lebih populer dengan sebutan kompeni.
Kompeni ini melakukan penjajahan untuk mendapatkan komoditas dagang dengan
biaya dan harga murah. Selain rempah-rempah, lada dan kopi, hasil hutan pun,
terutama kayu jati Jawa juga menjadi andalan komoditi perdagangan mereka.Pada
masa sebelum VOC berkuasa (1619), para raja di Jawa masih mempunyai kekuasaan
dan kepemilikan atas tanah dan hutan di wilayah pemerintahannya. Raja
mendistristribusikan tanah kepada pegawai-pegawai istana untuk membiayai
kegiatan mereka dan sebagai pengganti gaji yang harus diterimanya. Tanah yang
dibagikan oleh raja dan pejabat-pejabat istana kepada penduduk berfungsi
sebagai sumber pendapatan dan sumbangan tenaga kerja untuk kerajaan. Pada waktu VOC mulai
terlibat dalam kegiatan penebangan kayu (timberm extraction), para
pekerja dari penduduk desa sekitar hutan sudah mempunyai ketrampilan yang
tinggi. Karenanya, VOC tinggal mengatur dan memanfaatkan ketrampilan penduduk
tersebut untuk meningkatkan intensitas penebangan kayu agar lebih banyak uang
yang diperoleh VOC.
Sejak tahun 1620
kompeni mengeluarkan larangan penebangan kayu tanpa izin, dan diadakan
pemungutan cukai atas kayu dan hasil hutan. Besarnya cukai dimaksud adalah
sepuluh persen (10%). Pada tanggal 10 Mei 1678, kompeni memberikan izin kepada
saudagar Cina yang bernama Lim Sai Say untuk menebang kayu di seluruh daerah
sekitar Betawi, dan mengeluarkannya dari hutan untuk keperluan kota, asal
membayar cukai
sepuluh persen. Sekitar tahun 1760, hutan
daerah Rembang sebagian besar sudah ditebang habis oleh kompeni. Kemudian
kompeni memerintahkan orang-orangnya dari Rembang untuk menebang kayu di Blora,
daerah kekuasaan susuhunan. Pada masa itu, kompeni menganggap bahwa sumber daya
alam (hutan dan semua lahannya), baik yang diperolehnya karena penaklukan atau
karena perjanjian adalah menjadi kepemilikannya. Suatu keputusan yang
dicantumkan dalam Plakat tanggal 8 September 1803, yang berlaku untuk daratan
dan pantai pesisir Timur Laut Pulau Jawa mulai dari Cirebon msampai ke pojok
Timur, yang menegaskan bahwa semua hutan kayu di Jawa harus dibawah pengawasan
kompeni sebagai hak milik (domein) dan hak istimewa raja dan para
pengusaha (regalita). Tidak seorang pun, terutama terhadap hutan yang
sudah diserahkan oleh Raja kepada kompeni, boleh menebang kayu, apalagi
menjalankan suatu tindakan kekuasaan. Kalau larangan ini dilanggar, maka
pelanggarnya akan dijatuhi hukuman badan.
Dari gambaran historis
di atas, dapat dikemukakan beberapa hal. Pertama, sejak menguatnya
kekuasaan VOC di Jawa telah menimbulkan implikasi pada beralihnya pemilikan dan penguasaan
(domein) terhadap tanah (lahan) dari domein raja menjadi domeinnya
kompeni. Raja tak lagi berdaya atas wilayah hutan dalam kerajaannya.Namun pun
demikian, hasil hutan berupa kayu masih dapat diperuntukkan bagi kepentingan
raja dan bupati. Sedangkan rakyat jelata, tidak ada lagi hak atas hutan
disekitarnya (gemeente).
Kedua, pada masa kompeni
sudah ada peraturan dan penerapan hukum kehutanan bagi masyarakat. Pemberlakuan
hukum kehutanan pada masa itu lebih diutamakan untuk kepentingan kompeni dalam
mengeksploitasi dan mengeksplorasi sumber daya alam.Pada waktu itu ada
anggapan, bahwa hak rakyat atas hutan jati hanya dilimpahkan kepada kelompok
orang tertentu, tidak kepada setiap orang. Hal ini seperti tertuang dalam
Plakat tanggal 30 Oktober 1787 yang memberi izin kepada awak hutan (boskhvolkenen),
yang bekerja sebagai penebang kayu untuk kepentingan kompeni.
Ketiga, merujuk pada Surat
Keputusan Kompeni tanggal 10 Mei 1678 tentang pemberian izin menebang kayu
kepada saudagar Cina, dapatlah dipahami bahwa sejak pemerintahan zaman kompeni
sudah ada kolaborasi antara etnis Cina dengan para penguasa dalam hal
eksploitasi sumber daya hutan, terutama kayu. Mengingat telah terlalu lama
etnis Cina berkiprah dalam bidang perhutanan, maka wajar saja kalau sebagian besar
izin HPH (hak pemanfaatan hasil hutan) dipegang oleh kelompok mereka hingga
sekarang ini.Banyaknya kasus kerusakan hutan di berbagai daerah di nusantara
ini, terindikasi kuat akibat ulah para pengusaha tersebut, yang senyatanya
dikuasai oleh kalangan nonpribumi. Karena hutan tempat resapan air telah
digunduli, maka pribumi, masyarakat adat di pedesaan dan kelompok marginal
perkotaan seringkali harus menjadi korban banjir.
Keempat, yang penting
dikemukakan dalam konstelasi hukum kita, adalah musnahnya hak ulayat (wewengkon)
atas penguasaan hutan desa oleh masyarakat desa di Jawa selama penjajahan VOC.
Hutan di wewengkon desa tertentu hanya boleh ditebang atau dimanfaatkan
oleh warga dari desa yang bersangkutan. Orang dari desa lain, kalau hendak
mengambil kayu dari hutan, harus minta izin kepada demang (petinggi)
desa tersebut.
b. Masa Penjajahan Hindia
Belanda (1850 – 1942)
Sekalipun pengaturan
dalam bentuk peraturan tertulis tentang kehutanan sudah ada sejak berkuasanya
VOC. Tetapi secara lebih meluas, momentum awal pembentukan hukum tentang
kehutanan di Indonesia, dapat dikatakan dimulai sejak tanggal 10 September
1865, yaitu dengan diundangkannya pertama sekali Reglemen tentang Hutan (Boschreglement)
1865. Reglemen ini merupakan
awal mula adanya pengaturan secara tertulis upaya konservasi sumber daya
hayati.
c.
Masa penjajahan Jepang (1942-1945)
Begitu
menduduki kepulauan nusantara dan mengusir kekuasaan kolonial Belanda yang
telah menanamkan pengaruh berabad-abad lamanya, Pemerintah Militer Jepang
membagi daerah yang didudukinya ini menjadi 3 (tiga) wilayah komando, yaitu (1)
Jawa dan Madura, (2) Sumatera, dan (3) Indonesia bagian Timur. Pada tanggal 7
Maret 1942 Pemerintah Militer Jepang mengeluarkan Undang-undang (Osamu Sirei)
Tahun 1942 Nomor 1 yang berlaku untuk Jawa dan Madura, dimaklumatkan bahwa
seluruh wewenang badan-badan pemerintahan dan semua hukum serta peraturan yang
selama ini berlaku, tetap dinyatakan berlaku kecuali apabila bertentangan
dengan Peraturanperaturan Militer Jepang.
Berdasarkan maklumat di atas, jelas bahwa
semua hukum dan undang-undang yang berlaku pada masa kolonial Pemerintahan
Hindia Belanda tetap diakui sah oleh Pemerintah Militer Jepang, sebagai
penjajah berikutnya. Sehubungan dengan pemberlakuan Osamu Sirei Tahun
1942 Nomor 1 tersebut, maka dalam bidang hokum kehutanan tetap berlaku
ketentuan yang sudah ada pada masa kolonial Belanda, yaitu Boschordonantie atau
Ordonansi Hutan 1927 beserta dengan berbagai peraturan pelaksanaannya (Boschverordening
1932)
3.
Masa setelah kemerdekaan
Dalam masa ini terbagi
menjadi 3 masa, yaitu :
a) Masa
Pemerintahan Orde Lama (1945 –1965)
Perkembangan hukum di Indonesia
dalam era pergolakan, antara tahun 1945-1950 menurut Soetandyo Wignyosoebroto,
mengalami sedikit komplikasi. Runtuhnya kekuasaan Jepang pada akhir Perang
Pasifik segera saja “mengundang pulang” kekuasaan Hindia Belanda yang mengklaim
dirinya secara de jure sebagai penguasa politik satu-satunya yang sah di
nusantara ini. Kekuasaan Republik Indonesia tidaklah diakuinya, kecuali
kemudian diakui secara de facto.
Di daerah-daerah bekas kekuasaan
Hindia Belanda – yang telah menamakan dirinya Indonesia – hukum warisan
kolonial Hindia Belanda, termasuk hukum tentang kehutanan diteruskan
berlakunya, tanpa perlu membuat aturan-aturan peralihan macam apapun.Produk
perundang-undangan Pemerintah Militer Jepang dinyatakan tidak lagi berlaku.
b) Masa
Pemerintahan Orde Baru (1966 – 1998)
Tak lama
setelah Rezim Orde Baru berkuasa, tanggal 24 Mei 1967 diundangkan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (UUPK).
Berlakunya UUPK produk bangsa Indonesia ini dimaksudkan demi kepentingan
nasional, dan sekaligus pula mengakhiri keberlakuan Boschordonantie 1927
yang telah berlaku selama 40 tahun lamanya
c) Masa
Pemerintahan Reformasi (1998 – 2006)
Rezim
Reformasi berupaya menata kehidupan berbangsa dan bernegara dengan melakukan
reformasi konstutisi, reformasi legislasi, dan reformasi birokrasi. Sebagai
dampak dari reformasi legislasi, maka banyak peraturan perundang-undangan produk Orde Baru yang diganti dan disesuaikan
dengan semangat reformasi. Salah satunya adalah dicabut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, yang diganti dengan
diundangkannya Undang-undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK).
Penyelesaian
sengketa kehutanan menurut ketentuan undang-undang kehutanan mengadopsi
sebagian ketentuan penyelesaian sengketa sebagaimana yang tertuang dalam
undang-undang pengelolaan lingkungan hidup, hal ini dapat kita lihat dan kita
bandingkan antara ketentuan Pasal 30 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 dengan
ketentuan Pasal 74 dan 75 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999.
Pasal 30
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 menyebutkan bahwa:
- Penyelesaian
sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar
pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang
bersengketa.
- sengketa
di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini.
- telah
dipilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan,
gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut
dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang
bersengketa.
Pasal 74
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 menyebutkan bahwa:
1.
Penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui
pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para
pihak yang bersengketa.
2.
apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa
kehutanan di luar pengadilan, maka gugatan melalui pengadilan dapat dilakukan
setelah tidak tercapai kesepakatan antara pihak yang bersengketa.
Pasal 75
ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 menyebutkan bahwa:
“penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku bagi tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini”.
Perbuatan melawan hukum yang melanggar ketentuan undang-undang lingkungan hidup dan undang-undang kehutanan dapat dikenai sanksi administrasi, ganti kerugian dan sanksi pidana, sehingga penegakannya dapat melalui instrumen hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana, tetapi dalam penggunaan instrumen hukum pidana ada ketentuan prinsipil dalam undang-undang pengelolaan lingkungan hidup yang tidak diadopsi oleh undang-undang kehutanan yaitu keberlakuan asas subsidiaritas.
“penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku bagi tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini”.
Perbuatan melawan hukum yang melanggar ketentuan undang-undang lingkungan hidup dan undang-undang kehutanan dapat dikenai sanksi administrasi, ganti kerugian dan sanksi pidana, sehingga penegakannya dapat melalui instrumen hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana, tetapi dalam penggunaan instrumen hukum pidana ada ketentuan prinsipil dalam undang-undang pengelolaan lingkungan hidup yang tidak diadopsi oleh undang-undang kehutanan yaitu keberlakuan asas subsidiaritas.
Dalam penjelasan umum undang-undang pengelolaan lingkungan hidup menyebutkan bahwa sebagai penunjang hukum administrasi, berlakunya ketentuan hukum pidana tetap memperhatikan asas subsidiaritas yaitu bahwa hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila sanksi pada bidang hukum lain seperti sanksi administrasi, dan sanksi perdata, dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup tidak efektif dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat dan/atau akibat perbuatannya relatif besar dan/atau perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat. Dengan demikian penggunaan hukum pidana baik pengenaan ancaman pidana maupun proses perkara pidana dalam ketentuan undang-undang pengelolaan lingkungan hidup merupakan “senjata terakhir” (ultimum remedium).
Berdasarkan penjelasan umum di atas, Koesnadi Hardjasumantri berpendapat bahwa penegakan hukum pidana terhadap suatu tindak pidana lingkungan hidup baru dapat dimulai bila telah dilaksanakannya tindakan hukum tersebut di bawah ini:
1. Aparat yang
berwenang menjatuhkan sanksi administrasi sudah menindak pelanggar dengan
menjatuhkan suatu sanksi administrasi tersebut tidak mampu menghentikan
pelanggaran yang terjadi atau,
2.
Antara perusahaan yang melakukan pelanggaran dengan
masyarakat yang menjadi korban akibat terjadi pelanggaran, sudah diupayakan
penyelesaian sengketa melalui mekanisme alternatif diluar pengadilan dalam
bentuk musyawarah/perdamaian/ negosiasi/mediasi namun upaya tersebut juga tidak
efektif, baru kegiatan dapatdimulai/ instrumen penegakan hukum pidana
lingkungan hidup dapat digunakan.
Kedua syarat asas subsidiaritas dalam bentuk upaya
tersebut di atas dapat dikesampingkan, apabila dipenuhi tiga syarat/kondisi
tersebut di bawah ini:
- tingkat kesalahan pelaku
relatif berat,
- akibat perbuatannya
relatif besar,
- perbuatan
pelanggaran menimbulkan keresahan masyarakat
Undang-undang kehutanan tidak menganut asas
subsidiaritas dalam penggunakan instrumen hukum pidana untuk penyelesaian
perkara pidana dibidang kehutanan, undang-undang kehutanan juga tidak mengatur
mekanisme proses perkara pidana tersendiri, oleh karena itu proses perkara
pidana pengangkutan hasil hutan kayu secara ilegal diselenggarakan mengacu pada
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
sesuai ketentuan Pasal 284 ayat (2) yang menyatakan bahwa dalam waktu dua tahun
setelah undang-undang ini diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan
ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai
ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu,
sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.
Rujukan
Abdul Muis Yusuf, Hukum Kehutanan Di Indonesia, (Rineka
Cipta, Jakarta 2011)
Pendapat Savigny ini
dipengaruhi oleh pemikiran de Montesque dalam bukunya berjudul “LEsprit de
Lois” yang mengemukakan adanya hubungan antara jiwa atau semangat (spirit)
sesuatu bangsa dengan hukumnya. Lihat, Lili Rasyidi dan Ira Rasyidi, Dasar‐Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
Iman Sudiyat, Asas‐Asas Hukum Adat, Liberty, Yogyakarta, 1985.
Hilman Hadikusuma, Sejarah
Hukum Adat Indonesia, Alumni, Bandung, 1983
H.M. Yamin, Tatanegara
Madjapahit Sapta Parwa I, Prapanca, Djakarta, tt, hlm. 67.
T.I. El Hakimy, Hukum Adat Tanah Rimba di
Kemukiman Leupung Aceh Besar, Pusat Studi Hukum Adat dan Islam, FH Unsyiah,
Banda Aceh , 1984.
Erman Rajagukguk, Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan
Kebutuhan Hidup, Chandra Pratama, Jakarta, 1995, hlm. 8. Bambang Pamulardi,
Hukum Kehutanan & Pembangunan Bidang Kehutanan, Rajawali Pers,
Jakarta 1999.
0 Response to "Hukum Kehutanan"
Post a Comment