Hukum Kesehatan
A.
Pengertian
Kesehatan adalah
keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang
hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pemeliharaan kesehatan adalah
upaya penaggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan
pemeriksaan, pengobatan dan/atau perawatan termasuk kehamilan dan persalinan.
Pendidikan kesehatan adalah proses membantu sesorang, dengan bertindak secara
sendiri-sendiri ataupun secara kolektif, untuk membuat keputusan
berdasarkan pengetahuan mengenai hal-hal yang memengaruhi kesehatan pribadinya
dan orang lain.
Definisi Hukum Kesehatan Menurut pakar ahli hukum
Van Der Mijn, pengertian dari hukum kesehatan
diartikan sebagai hukum yang berhubungan secara langsung dengan pemeliharaan
kesehatan yang meliputi penerapan perangkat hukum perdata, pidana dan tata
usaha negara atau definisi hukum kesehatan adalah sebagai keseluruhan aktifitas
juridis dan peraturan hukum dalam bidang kesehatan dan juga studi ilmiahnya.
Leenen Hukum kesehatan sebagai keseluruhan aktivitas
yuridis dan peraturan hukum di bidang kesehatan serta studi ilmiahnya.
Pasal 1
butir (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentgang kesehatan menyatakan yang
disebut sehat adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Hukum kesehatan menurut Anggaran
Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI), adalah semua
ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan / pelayanan
kesehatan dan penerapannya. Hal ini menyangkut hak dan kewajiban baik dari
perorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan
maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspeknya,
organisasi, sarana, pedoman standar pelayanan medik, ilmu pengetahuan kesehatan
dan hukum serta sumber-sumber hukum lainnya. Hukum kedokteran merupakan bagian
dari hukum kesehatan, yaitu yang menyangkut asuhan / pelayanan kedokteran
(medical care / sevice)
Subjek dan Objek:
Subjek Hukum Kesehatan adalah Pasien
dan tenaga kesehatan termasuk institusi kesehatan sedangkan objek Hukum
Kesehatan adalah perawatan kesehatan (Zorg voor de gezondheid).
Tujuan Hukum Kesehatan:
Salah satu tujuan nasional adalah memajukan kesejahteraan bangssa, yang berarti memenuhi kebutuhan
dasar manusia, yaitu pangan, sandang, pangan, pendidikan, kesehatan,
lapangan kerja dan
ketenteraman hidup. Tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya kemampuan
untuk hidup sehat bagi setiap penduduk, jadi tanggung jawab untuk terwujudnya derajat kesehatan
yang optimal berada di
tangan seluruh masyarakat Indonesia, pemerintah dan swasta bersama-sama.
Tujuan hukum Kesehatan
pada intinya adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan
ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban didalam masyarakat
diharapkan kepentingan manusia akan terpenuhi dan terlindungi (Mertokusumo,
1986). Dengan demikian jelas terlihat bahwa tujuan hukum kesehatanpun tidak
akan banyak menyimpang dari tujuan umum hukum. Hal ini dilihat dari bidang
kesehatan sendiri yang mencakup aspek sosial dan kemasyarakatan
dimana banyak kepentingan harus dapat diakomodir dengan baik.
Azas Hukum Kesehatan:
1.
Asas perikemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dilandasi atas
perikemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tidak
membeda-bedakan golongan, agama, dan bangsa;
2.
Asas manfaat berarti memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dan perikehidupan yang sehat bagi setiap
warga negara;
3.
Asas usaha bersama dan kekeluargaan
berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan dilaksanakan melalui kegiatan yang dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan;
berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan dilaksanakan melalui kegiatan yang dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan;
4.
Asas adil dan merata
berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat;
berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat;
5.
Asas perikehidupan dalam keseimbangan
berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dilaksanakan seimbang antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental, antara materiel dan spiritual;
berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dilaksanakan seimbang antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental, antara materiel dan spiritual;
6.
Asas
kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan sendiri
berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri dengan memanfaatkan potensi nasional seluas-luasnya.
berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri dengan memanfaatkan potensi nasional seluas-luasnya.
Ruang lingkup hukum kesehatan:
- Hukum Medis (Medical Law);
- Hukum Keperawatan (Nurse Law);
- Hukum Rumah Sakit (Hospital
Law);
- Hukum Pencemaran Lingkungan (Environmental
Law);
- Hukum Limbah (dari industri,
rumah tangga, dsb);
- Hukum peralatan yang memakai
X-ray (Cobalt, nuclear);
- Hukum Keselamatan Kerja;
- dan Peraturan-peraturan lainnya
yang ada kaitan langsung yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia.
Menurut
Leenen, masalah kesehatan dikelompokkan dalam 15 kelompok: (Pasal 11 UUK)
1. kesehatan keluarga
2. perbaikan gizi
3. pengemanan makanan dan minuman
4. kesehatan lingkungan
5. kesehatan kerja
6. kesehatan jiwa
7. pemberantasan penyakit
8. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
9. penyuluhan kesehatan
10. pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan
11. pengamanan zat adiktif
12. kesehatan sekolah
13. kesehatan olah raga
14. pengobatan tradisional
15. kesehatan matra
1. kesehatan keluarga
2. perbaikan gizi
3. pengemanan makanan dan minuman
4. kesehatan lingkungan
5. kesehatan kerja
6. kesehatan jiwa
7. pemberantasan penyakit
8. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
9. penyuluhan kesehatan
10. pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan
11. pengamanan zat adiktif
12. kesehatan sekolah
13. kesehatan olah raga
14. pengobatan tradisional
15. kesehatan matra
Latar Belakang disusunnya peraturan perundang-undnagan di bidang pelayanan
kesehatan, adalah: karena adanya kebutuhan
1. pengaturan pemberian jasa keahlian
2. tingkat kualitas keahlian tenaga kesehatan
3. keterarahan
4. pengendalian biaya
5. kebebasan warga masyarakat untuk menentukan kepentingannya serta identifikasi kewajiban pemerintah
6. perlindungan hukum pasien
7. perlindungan hukum tenaga kesehatan
8. perlindungan hukum pihak ketiga
9. perlindungan hukum bagi kepentingan umum
1. pengaturan pemberian jasa keahlian
2. tingkat kualitas keahlian tenaga kesehatan
3. keterarahan
4. pengendalian biaya
5. kebebasan warga masyarakat untuk menentukan kepentingannya serta identifikasi kewajiban pemerintah
6. perlindungan hukum pasien
7. perlindungan hukum tenaga kesehatan
8. perlindungan hukum pihak ketiga
9. perlindungan hukum bagi kepentingan umum
Sumber Hukum Kesehatan
Hukum Kesehatan tidak hanya
bersumber pada hukum tertulis saja tetapi juga yurisprudensi, traktat,
Konvensi, doktrin, konsensus dan pendapat para ahli hukum maupun kedokteran. Hukum
tertulis, traktat, Konvensi atau yurisprudensi, mempunyai kekuatan mengikat
(the binding authority), tetapi doktrin, konsensus atau pendapat para ahli
tidak mempunyai kekuatan mengikat, tetapi dapat dijadikan pertimbangan oleh
hakim dalam melaksanakan kewenangannya, yaitu menemukan hukum baru.
Zevenbergen mengartikan
sumber hukum adalah sumber terjadinya hukum; sumber yang menimbulkan hukum. Sedangkan
Achmad Ali, sumber hukum adalah tempat di mana kita dapat menemukan
hukum.
Sumber hukum dapat dibedakan ke dalam :
a. Sumber hukum materiil adalah faktor-faktor yang turut menentukan isi hukum. Misalnya, hubungan sosial/kemasyarakatan, kondisi atau struktur ekonomi, hubungan kekuatan politik, pandangan keagamaan, kesusilaan dsb.
b. Sumber hukum formal merupakan tempat atau sumber dari mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum; melihat sumber hukum dari segi bentuknya.
Yang
termasuk sumber hukum formal, adalah :
1. Undang-undang (UU);
2. Kebiasaan;
3. Yurisprudensi;
4. Traktat (Perjanjian antar negara);
5. Perjanjian;
6. Doktrin.
1. Undang-undang (UU);
2. Kebiasaan;
3. Yurisprudensi;
4. Traktat (Perjanjian antar negara);
5. Perjanjian;
6. Doktrin.
1.
Undang-undang.
Undang-undang ialah peraturan negara yang dibentuk oleh alat perlengkapan negara yang berwenang, dan mengikat masyarakat. UU di sini identik dengan hukum tertulis (Ius scripta) sebagai lawan dari hukum yang tidak tertulis. (Ius non scripta). Istilah tertulis tidak bisa diaertikan secara harafiah, tetapi dirumuskan secara tertulis oleh pembentuk hukum khusus (speciali rechtsvormende organen).
UU dapat dibedakan dalam arti :
a. UU dalam arti formal, yaitu keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara terjadinya, sehingga disebut UU. Jadi merupakan ketetapan penguasa yang memperoleh sebutan UU karena cara pembentukannya. Di Indonesia UU dalam arti formal dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR (pasal 5 ayat 1 UUD’45).
b. UU dalam arti materiil, yaitu keputusan atau ketetapan penguasa, yang dilihat dari isinya dinamai UU dan mengikat semua orang secara umum.
Undang-undang ialah peraturan negara yang dibentuk oleh alat perlengkapan negara yang berwenang, dan mengikat masyarakat. UU di sini identik dengan hukum tertulis (Ius scripta) sebagai lawan dari hukum yang tidak tertulis. (Ius non scripta). Istilah tertulis tidak bisa diaertikan secara harafiah, tetapi dirumuskan secara tertulis oleh pembentuk hukum khusus (speciali rechtsvormende organen).
UU dapat dibedakan dalam arti :
a. UU dalam arti formal, yaitu keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara terjadinya, sehingga disebut UU. Jadi merupakan ketetapan penguasa yang memperoleh sebutan UU karena cara pembentukannya. Di Indonesia UU dalam arti formal dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR (pasal 5 ayat 1 UUD’45).
b. UU dalam arti materiil, yaitu keputusan atau ketetapan penguasa, yang dilihat dari isinya dinamai UU dan mengikat semua orang secara umum.
2. Kebiasaan (custom).
Kebiasaan adalah perbuatan manusia mengenai hal tertentu yang dilakukan berulang-ulang. Kebiasaan ini kemudian mempunyai kekuatan normatif, kekuatan mengikat. Kebiasaan biasa disebut dengan istilah adat, yang berasal dari bahasa Arab yang maksudnya kebiasaan. Adat istiadat merupakan kaidah sosial yang sudah sejak lama ada dan merupakan tradisi yang mengatur tata kehidupan masyarakat tertentu. Dari adat kebiasaan itu dapat menimbulkan adanya hukum adat.
3.
Yurisprudensi.
Adalah keputusan hakim/ pengadilan terhadap persoalan tertentu, yang menjadi dasar bagi hakim-hakim yang lain dalam memutuskan perkara, sehingga keputusan hakim itu menjadi keputusan hakim yang tetap.
Adalah keputusan hakim/ pengadilan terhadap persoalan tertentu, yang menjadi dasar bagi hakim-hakim yang lain dalam memutuskan perkara, sehingga keputusan hakim itu menjadi keputusan hakim yang tetap.
4.
Perjanjian.
Perjanjian merupakan salah satu sumber hukum karena perjanjian yang telah dibuat oleh kedua belah pihak (para pihak) mengikat para pihak itu sebagai undang-undang. Hal ini diatur dalam pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata.
Ada 3 asas yang berlaku dalam perjanjian, yaitu :
1. Asas konsensualisme (kesepakatan), yaitu perjanjian itu telah terjadi (sah dan mengikat) apabila telah terjadi kesepakatan antara para pihak yang mengadakan perjanjian.
2. Asas kebebasan berkontrak, artinya seseorang bebas untuk mengadakan perjanjian, bebas menentukan bentuk perjanjian, bebas menentukan isi perjanjian dan dengan siapa (subyek hukum) mana ia mengadakan perjanjian, asal tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum dan undang-undang.
3. Asas Pacta Sunt Servanda, adalah perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak (telah disepakati) berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
Perjanjian merupakan salah satu sumber hukum karena perjanjian yang telah dibuat oleh kedua belah pihak (para pihak) mengikat para pihak itu sebagai undang-undang. Hal ini diatur dalam pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata.
Ada 3 asas yang berlaku dalam perjanjian, yaitu :
1. Asas konsensualisme (kesepakatan), yaitu perjanjian itu telah terjadi (sah dan mengikat) apabila telah terjadi kesepakatan antara para pihak yang mengadakan perjanjian.
2. Asas kebebasan berkontrak, artinya seseorang bebas untuk mengadakan perjanjian, bebas menentukan bentuk perjanjian, bebas menentukan isi perjanjian dan dengan siapa (subyek hukum) mana ia mengadakan perjanjian, asal tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum dan undang-undang.
3. Asas Pacta Sunt Servanda, adalah perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak (telah disepakati) berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
5. Traktat
(Perjanjian Antarnegara)
Dalam pasal 11 UUD 1945, menyatakan bahwa Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan membuat perjanjian dengan negara lain. Perjanjian antaranegara yang sudah disahkan berlaku dan mengikat negara peserta, termasuk warga negaranya masing-masing.
Dalam pasal 11 UUD 1945, menyatakan bahwa Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan membuat perjanjian dengan negara lain. Perjanjian antaranegara yang sudah disahkan berlaku dan mengikat negara peserta, termasuk warga negaranya masing-masing.
6. Doktrin.
Adalah pendapat para sarjana hukum terkemuka yang besar pengaruhnya bagi pengadilan (hakim) dalam mengambil keputusannya. Doktrin untuk dapat menjadi salah satu sumber hukum (formal) harus telah menjelma menjadi keputusan hakim.
Adalah pendapat para sarjana hukum terkemuka yang besar pengaruhnya bagi pengadilan (hakim) dalam mengambil keputusannya. Doktrin untuk dapat menjadi salah satu sumber hukum (formal) harus telah menjelma menjadi keputusan hakim.
Fungsi Hukum
Kesehatan
a. Menjaga
ketertiban di dalam masyarakat. Meskipun hanya mengatur tata kehidupan di dalam
sub sektor yang kecil tetapi keberadaannya dapat memberi sumbangan yang besar
bagi ketertiban masyarakat secara keseluruhan.
b. Menyelesaikan
sengketa yang timbul di dalam masyarakat (khususnya di bidang kesehatan).
Benturan antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat.
c.
Merekayasa masyarakat (social engineering). Jika
masyarakat menghalang-halangi dokter untuk melakukan pertolongan terhadap
penjahat yang luka-luka karena tembakan, maka tindakan tersebut sebenarnya
keliru dan perlu diluruskan.
Contoh lain: mengenai pandangan masyarakat yang menganggap doktrer sebagai dewa yang tidak dapat berbuat salah. Pandangan ini juga salah, mengingat dokter adalah manusia biasa yang dapat melakukan kesalahan di dalam menjalankan profesinya, sehingga ia perlu dihukum jika perbuatannya memang pantas untuk dihukum.
Keberadaan Hukum Kesehatan di sini tidak saja perlu untuk meluruskan sikap dan pandangan masyarakat, tetapi juga sikap dan pandangan kelompok dokter yang sering merasa tidak senang jika berhadapan dengan proses peradilan.
Contoh lain: mengenai pandangan masyarakat yang menganggap doktrer sebagai dewa yang tidak dapat berbuat salah. Pandangan ini juga salah, mengingat dokter adalah manusia biasa yang dapat melakukan kesalahan di dalam menjalankan profesinya, sehingga ia perlu dihukum jika perbuatannya memang pantas untuk dihukum.
Keberadaan Hukum Kesehatan di sini tidak saja perlu untuk meluruskan sikap dan pandangan masyarakat, tetapi juga sikap dan pandangan kelompok dokter yang sering merasa tidak senang jika berhadapan dengan proses peradilan.
Sedangkan Menurut bredemeier Fungsi
Hukum Kesehatan yaitu menertibkan pemecahan konflik -konflik misalnya kelalaian
penyelenggaraan pelayanan bersumber dari kelalaian tenaga kesehatan dalam
menjalankan tugasnya
B. Sejarah Hukum Kesehatan
Pada awalnya
masyarakat menganggap penyakit sebagai misteri, sehingga tidak ada seorangpun
yang dapat menjelaskan secara benar tentang mengapa suatu penyakit menyerang
seseorang dan tidak menyerang lainnya. Pemahaman yang berkembang selalu
dikaitkan dengan kekuatan yang bersifat supranatural. Penyakit dianggap sebagai
hukuman Tuhan atas orang-orang yang yang melanggar hukumNya atau disebabkan
oleh perbuatan roh-roh jahat yang berperang melawan dewa pelindung manusia. Pengobatannya
hanya bisa dilakukan oleh para pendeta atau pemuka agama melalui do’a atau upacara
pengorbanan. Pada masa itu profesi kedokteran menjadi monopoli kaum pendeta,
oleh karena itu mereka merupakan kelompok yang tertutup, yang mengajarkan ilmu
kesehatan hanya di kalangan mereka sendiri serta merekrtu muridnya dari
kalangan atas. Memiliki kewenangan untuk membuat undang-undang, karena
dipercayai sebagai wakil Tuhan untuk membuat undang-undang di muka bumi.
Uundang-undang yang mereka buat memberi ancaman hukuman yang berat, misalnya hukuman potong tangan bagi seseorang yang melakukan pekerjaan dokter dengan menggunakan metode yang menyimpang dari buku yang ditulis sebelumnya, sehingga orang enggan memasuki profesi ini. Di Mesir pada tahun 2000 SM tidak hanya maju di bidang kedokteran tetapi juga memiliki hukum kesehatan. konsep pelayanan kesehatan sudah mulai dikembangkan dimana penderita/psien tidak ditarik biaya oleh petugas kesehatan yang dibiayai oleh masyarakat. peraturan ketat diberlakukan bagi pengobatan yang bersifat eksperimen. tidak ada hukuman bagi dokter atas kegagalannya selama buku standar diikuti. profesi kedokteran masih di dominasi kaum kasta pendeta dan bau mistik tetap saja mewarnai kedokteran. sebenarnya ilmu kedokteran sudah maju di Babylonia (Raja Hammurabi 2200 SM) dimana praktek pembedahan sudah mulai dikembangkan oleh para dokter, dan sudah diatur tentang sistem imbalan jasa dokter, status pasien, besar bayarannya. (dari sini lah Hukum Kesehatan berasal, bukan dari Mesir)
Uundang-undang yang mereka buat memberi ancaman hukuman yang berat, misalnya hukuman potong tangan bagi seseorang yang melakukan pekerjaan dokter dengan menggunakan metode yang menyimpang dari buku yang ditulis sebelumnya, sehingga orang enggan memasuki profesi ini. Di Mesir pada tahun 2000 SM tidak hanya maju di bidang kedokteran tetapi juga memiliki hukum kesehatan. konsep pelayanan kesehatan sudah mulai dikembangkan dimana penderita/psien tidak ditarik biaya oleh petugas kesehatan yang dibiayai oleh masyarakat. peraturan ketat diberlakukan bagi pengobatan yang bersifat eksperimen. tidak ada hukuman bagi dokter atas kegagalannya selama buku standar diikuti. profesi kedokteran masih di dominasi kaum kasta pendeta dan bau mistik tetap saja mewarnai kedokteran. sebenarnya ilmu kedokteran sudah maju di Babylonia (Raja Hammurabi 2200 SM) dimana praktek pembedahan sudah mulai dikembangkan oleh para dokter, dan sudah diatur tentang sistem imbalan jasa dokter, status pasien, besar bayarannya. (dari sini lah Hukum Kesehatan berasal, bukan dari Mesir)
Dalam Kode
Hammurabi diatur ketentuan tentang kelalaian dokter beserta daftar hukumannya,
mulai dari hukuman denda sampai hukuman yang mengerikan. Dan pula ketentuan yang mengharuskan dokter
mengganti budak yang mati akibat kelalian dokter ketika menangani budak
tersebut. Salah satu filosof yunani HIPPOCRATES (bapak ilmu kedokteran modern)
telah berhasil menyusun landasan bagi sumpah dokter serta etika kedokteran,
yaitu:
a.
adanya pemikiran untuk melindungi masyarakat dari
penipuan dan praktek kedokteran yang bersifat coba-coba
b.
adanya keharusan dokter untuk berusaha semaksimal
mungkin bagi kesembuhan pasien serta adanya larangan untuk melakukan hal-hal
yang dapat merugikannya.
c.
Adanya penghormatan terhadap makhluk insani melalui
pelarangan terhadap euthanasia dan aborsi
d.
Menekankan hubungan terapetik sebagai hubungan di mana
dokter dilarang mengambil keuntungan.
e.
Adanya keharusan memegang teguh rahasia kedokteran
bagi setiap dokter.
Abad 20 an telah terjadi perubahan
sosial yang sangat besar, pintu pendidikan bagi profesi kedokteran telah
terbuka lebar dan dibuka di mana-mana, kemajuan di bidang kedokteran menjadi
sangat pesat, sehingga perlu dibatasi dan dikendalikan oleh perangkat hukum
untuk mengontrol profesi kedokteran. Hukum dan etika berfungsi sebagai alat
untuk menilai perilaku manusia, obyek hukum lebih menitik beratkan pada
perbuatan lahir, sedang etika batin, tujuan hukum adalah untuk kedamaian
lahiriah, etika untuk kesempurnaan manusia, sanksi hukum bersifat memaksa,
etika berupa pengucilan dari masyarakat.
C. Hubungan Pasien Dengan Rumah Sakit
Saat ini pasien menyadari bahwa dia
harus tahu tentang kondisi penyakitnya serta apa yang akan dilakukan dokter
atau Rumah Sakit terhadap dirinya, bahkan sering kali pasien merasa perlu
berdiskusi dengan dokter yang merawatnya. Dengan demikian hubungan pasien-dokter
atau pasien-Rumah Sakit sudah bergeser menjadi lebih bersifat ”partnership”
atau kemitraan.
Hak Dan
Kewajiban Pasien
Dalam Surat edaran DirJen Yan Medik No: YM.02.04.3.5.2504 Tentang
Pedoman Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit, th.1997; UU.Republik
Indonesia No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran dan Pernyataan/SK PB.
IDI, menyebutkan beberapak Hak dan Kewajiban Pasien serta kewajiban dari Rumah
Sakit, diantaranya:
o Hak pasien :
1.
Hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan
peraturan yang berlaku di rumah sakit. Hak atas pelayanan yang manusiawi, adil
dan jujur.
2.
Hak untuk mendapatkan pelayanan medis yang bermutu
sesuai dengan standar profesi kedokteran/kedokteran gigi dan tanpa diskriminasi
3.
Hak memperoleh asuhan keperawatan sesuai dengan
standar profesi keperawatan
4.
Hak untuk memilih dokter dan kelas perawatan sesuai
dengan keinginannya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit
5.
Hak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan
pendapat klinik dan pendapat etisnya tanpa campur tangan dari pihak luar
6.
Hak atas 'second opinion' / meminta pendapat dokter
atau dokter gigi lain
7.
Hak atas ”privacy” dan kerahasiaan penyakit yang
diderita termasuk data-data medisnya kecuali apabila ditentukan berbeda menurut
peraturan yang berlaku
8.
Hak untuk memperoleh informasi /penjelasan secara
lengkap tentang tindakan medik yg akan dilakukan thd dirinya.
9.
Hak untuk memberikan persetujuan atas tindakan yang
akan dilakukan oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya
10.
Hak untuk menolak tindakan yang hendak dilakukan
terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab
sendiri sesudah memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya.
11.
Hak
didampingi keluarga dan atau penasehatnya dalam beribad dan atau masalah lainya
(dalam keadaan kritis atau menjelang kematian).
12.
Hak beribadat menurut agama dan kepercayaannya selama
tidak mengganggu ketertiban & ketenangan umum/pasien lainya.
13.
Hak atas keamanan dan keselamatan selama dalam
perawatan di rumah sakit
14.
Hak untuk
mengajukan usul, saran, perbaikan atas pelayanan rumah sakit terhadap dirinya
15.
Hak menerima atau menolak bimbingan moril maupun
spiritual
16.
Hak transparansi biaya pengobatan/tindakan medis yang
akan dilakukan terhadap dirinya (memeriksa dan mendapatkan penjelasan
pembayaran).
17.
Hak akses /'inzage' kepada rekam medis/ hak atas
kandungan ISI rekam medis miliknya.
o
Kewajiban Pasien
1. Memberikan
informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya kepada dokter
yang merawat
2. Mematuhi
nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi dan perawat dalam pengobatanya.
3. Mematuhi
ketentuan/peraturan dan tata-tertib yang berlaku di rumah sakit
4. Memberikan
imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. Berkewajiban memenuhi hal-hal yang
telah disepakati/perjanjian yang telah dibuatnya
Hubungan Pasien Dengan Rumah Sakit
o
Hak Rumah Sakit
1.
Membuat peraturan-peraturan yang berlaku di RS.nya
sesuai dengan kondisi/keadaan yang ada di RS tersebut.
2.
Memasyarakatkan bahwa pasien harus mentaati segala
peraturan RS
3.
Memasyarakatkan bahwa pasien harus mentaati segala
instruksi yang diberikan dokter kepadanya
4.
Memilih tenaga dokter yang akan bekerja di RS. melalui
panitia kredential
5.
Menuntut pihak-pihak yang telah melakukan wanprestasi
(termasuk pasien, pihak ketiga, dll)
6.
Mendapat jaminan dan perlindungan hukum
7.
Hak untuk mendapatkan imbalan jasa pelayanan yang
telah diberikan kepada pasien
o Kewajiban Rumah Sakit
1.
Mematuhi peraturan dan perundangan yang dikeluarkan
oleh Pemerintah.
2.
Memberikan pelayanan pada pasien tanpa membedakan
golongan dan status pasien
3.
Merawat pasien sebaik-baiknya dengan tidak memebedakan
kelas perawatan (Duty of Care)
4.
Menjaga mutu perawatan tanpa membedakan kelas
perawatan (Quality of Care)
5.
Memberikan pertolongan pengobatan di Unit Gawat
Darurat tanpa meminta jaminan materi terlebih dahulu
6.
Menyediakan sarana dan peralatan umum yang dibutuhkan
7.
Menyediakan sarana dan peralatan medik sesuai dengan
standar yang berlaku
8.
Merujuk pasien ke RS lain apabila tidak memiliki
sarana, prasarana, peralatan dan tenaga yang diperlukan
9.
Mengusahakan adanya sistem, sarana dan prasarana
pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana
10.
Melindungi dokter dan memberikan bantuan administrasi
dan hukum bilamana dalam melaksanakan tugas dokter tersebut mendapatkan
perlakuan tidak wajar atau tuntutan hukum dari pasien atau keluarganya
11.
Mengadakan perjanjian tertulis dengan para dokter yang
bekerja di rumah sakit tersebut
12.
Membuat standar dan prosedur tetap untuk pelayanan
medik, penunjang medik, maupun non medik.
13.
Mematuhi Kode Etik Rumah Sakit (KODERSI)
D. Penerapan
Hukum Kesehatan dengan Hukum Lain
1. Hukum Perdata
Yaitu :
hubungan antara dokter dengan pasien bias merupaka relasi medis, relasi hukum
yang biasa disebut dengan perjanjian medis dalam hal penyembuhan pasien disebut
dengan Kontrak Terapeutis.
Pasal-pasal
yang dapat diterapkan:
- Pasal 1320 BW (KUH PERDATA) tentang syarat-syarat
sahnya perjanjian.
- Pasal 1365 BW (KUH PERDATA).
Perlu
diketahui bahwa kontrak medis bisa tertulis dan bias juga tidak tertulis. Dan
bila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya bias disebut dengan
wan-prestasi.
2.
Hukum Pidana
Pasal – pasal yang dapat diterapkan
adalah:
- Pasal
359 KUHP tentang kelalaian yang mengakibatkan kematian
- Pasal 360 KUHP kelalaian yang
mengakibatkan luka berat atau cacat.
3. Hukum Administrasi Negara
- Izin yang
dikeluarkan oleh pihak Depkes harus dimiliki oleh dokter
- Perizinan Rumah sakit dan
Apotek harus melalui Depkes.
E. Rahasia Medik
Rahasia
Medik adalah adalah segala sesuatu yang dianggap rahasia oleh pasien yang
terungkap dalam hubungan medis dokter-pasien baik yang diungkapkan secara
langsung oleh pasien (subjektif ) maupun yang diketahui oleh dokter ketika
melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang ( objektif). Perlindungan terhadap
hak rahasia medis ini dapat di lihat dalam peraturan perundang-undangan antara
lain:
- Pasal 57 UU No.36/ 2009 tentang Kesehatan mengatakan
bahwa setiap orang berhak atas kondisi kesehatan pribadinya yang telah
dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan
- Pasal 48 UU No. 29/2004 tentang
Praktek kedokteran mengatakan bahwa setiap dokter atau dokter gigi dalam
melaksanakan praktek kedokterannya wajib menyimpan rahasia kedokteran
- Pasal 32 (i) UU No,44 Tentang
Rumah Sakit mengatakan bahwa hak pasien untuk mendapatkan privasi dan
kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya
Pelanggaran terhadap ketentuan
perundang-undangan tersebut diancam pidana kurungan badan sebagai mana yang
diatur dalam pasal 322KUHP yang mengatakan : " barang siapa yang dengan
sengaja membuka rahasia yang wajib ia simpan karena jabatannya atau karena
pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, dihukum dengan hukuman
penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya sembilan
ribu rupiah.
Rahasia medis ini hanya dapat dibukan oleh rumah sakit,
dokter dan tenaga kesehatan lainnya dalam hal telah mendapatkan persetujuan
dari pasien yang bersangkutan, demi untuk kepentingan orang banyak atau untuk
kepentingan penegakan hukum.
“ Informed Consent “
adalah sebuah istilah yang sering dipakai untuk terjemahan dari
persetujuan tindakan medik. Informed
Consent terdiri dari dua kata yaitu Informed
dan. Informed diartikan telah di
beritahukan, telah disampaikan atau telah di informasikan dan Consent yang berarti persetujuan yang
diberikan oleh seseorang untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian pengertian
bebas dari informed Consent adalah
persetujuan yang diberikan oleh pasien kepada dokter untuk berbuat sesuatu
setelah mendapatkan penjelasan atau informasi. lebih lanjut diatur dalam Pasal
45 UU No. 29 Tahun 2009 Tentang Praktek Kedokteran yang menegaskan sebagai berikut :
1)
Setiap Tindakan Kedokteran atau kedokteran gigi yang
akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.
2)
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan setelah pasien diberikan penjelasan lengkap
3)
Penjelasan lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sekurang-kurangnya mencakup :
·
Diagnosis dan tatacara tindakan medis
·
Tujuan tindakan medis dilakukan
·
Alternatif tindakan lain dan resikonya
·
Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan
·
Prognosis terhadap tindakan yang akan dilakukan.
Dengan lahirnya UU No. 29 Tahun 2004 ini, maka semakin
terbuka luas peluang bagi pasien untuk mendapatkan informasi medis yang
sejelas-jelasnya tentang penyakitnya dan sekaligus mempertegas kewajiban dokter
untuk memberikan informasi medis yang benar, akurat dan berimbang tentang
rencana sebuah tindakan medik yang akan dilakukan, pengobatan mapun perawatan
yang akan di terima oleh pasien. Karena
pasien yang paling berkepentingan terhadap apa yang akan dilakukan terhadap
dirinya dengan segala resikonya, maka Informed
Consent merupakan syarat subjektif terjadinya transaksi terapeutik dan merupakan hak pasien yang
harus dipenuhi sebelum dirinya menjalani suatu upaya medis yang akan dilakukan
oleh dokter terhadap dirinya .
Sehubungan dengan hal tersebut , Komalawati ( 2002:
111) mengungkapkan bahwa informed conset
dapat dilakukan ,antara lain :
a.
Dengan bahasa yang sempurna dan tertulis
b.
Dengan bahasa yang sempurna secara lisan
c.
Dengan bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima
pihak lawan
d.
Dengan bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak
lawan.
e.
Dengan diam atau membisu tetapi asal dipahami atau
diterima oleh pihak lawan
Jika setelah proses informed yang dilakukan oleh dokter pada pasien dan ternyata pasien
gagal memberikan consent sebagaimana
yang di harapkan , tidaklah berari bahwa upaya memperoleh persetujuan tersebut
menjadi gagal total tetapi dokter harus tetap memberikan ruang yang
seluas-luasnya untuk pasien berfikir kembali setiap keuntungan dan kerugian
jika tindakan medis tersebut dilakukan atau tidak dilakukan. Selain itu dokter
tetap berusaha melakukan pendekatan-pendekatan yang lebih efektif dan efisien
yang memungkinkan untuk memperoleh persetujuan atas tindakan yang akan
dilakukan jika memang tindakan tersebut adalah tindakan yang utama dan satu-satunya
cara yang dapat dilakukan untuk menolong menyembuhkan atau meringankan sakit
pasien.
Rujukan
Wikipedia
bahasa Indonesia
Dewi,A.I,2008, Etika dan Hukum
Kesehatan, Pustaka Book Publisher :Yogyakarta
Hukum Medik (Medical Law) karangan J. Guwandi. Balai Penerbit Fakultas
kedokteran Universitas Indonesia.
sama-sama Gan. semoga bermanfaat.
ReplyDelete