Kaidah-Kaidah Hukum Islam
A. Pengertian
Qawaid
merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa
indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Dalam
bahasa arab, kaidah memilik banyak arti diataranya: al-asas (dasar atau
pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’
(prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Al Qi’dah (cara
duduk, yang baik atau yang buruk), Qo’id ar rojul (Istrinya), Dzul
Qo’dah (nama salah satu bulan qomariyah yang mana orang orab tidak
mengadakan perjalanan didalamnya) dan lain sebagainya. Dari seluruh arti tadi
dapat kita simpulkan bahwa kaidah secara bahasa artinya tidak akan keluar dari
dasar atau pondasi dan tempat sesuatu.
Sedangkan Hukum
Islam adalah abadi karena konsep hukum yang bersifat otoriter, ilahi dan
absolute dalam Islam tidak memperoleh perubahan dalam konsep-konsep dan
institusi-institusi hukum. Sebagai konsekuwensi logis dari konsep ini, maka
sanksi yang diberikannya bersifat ilahiyah yang karenanya tidak bisa berubah.
B. Kaidah-Kaidah Ushuliyah
Dr. Jailany mendefinisikan sebagai:” hukum kulli (berifat
umum) yang berdiri diatasnya furu’ fiqhiyah yang di bentuk dengan bentuk
umum dan akurat”.
Sumber-Sumber
Pengambilan Kaidah-Kaidah Ushul
Secara
global, kaidah-kaidah ushul fiqh bersumber dari naql (Al-Qur’an dan
Sunnah), ‘Akal (prinsip-prinsip dan nilai-nilai), bahasa (Ushul at
tahlil al lughawi), yang secara terperinci kita jelaskan dibawah ini.
1. Al Qur’an.
Al Qur’an
merupakan firman Allah SAW yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, untuk
membebaskan manusia dari kegelapan. Kitab ini adalah kitab undang-undang yang
mengatur seluruh kehidupan manusia, firman Allah yang Maha mengetahui apa yang
bermanfaat bagi manusia dan apa yang berbahaya, dan merupakan obat bagi ummat
dari segalah penyakitnya. Allah berfirman :
“dan
Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang
yang zalim selain kerugian”. (QS. AL Isra: 82)
2. As Sunnah
Allah
memberikan kemuliaan kepada nabi Muhammad SAW dengan mengutusnya sebagai nabi
dan rasul terakhir untuk umat manusia dengan tujuan menyampaikan pesan-pesan ilahi
kepada umat. Maka nilai kemuliaan Rasulullah bukan dari dirinya sendiri tetapi
dari Sang Pengutus yaitu Allah SWT, karena siapapun yang menjadi utusan pasti
lebih rendah tingkatannya dari yang mengutus. Allah Berfirman yang artinya:”
Muhammad tidak lain hanyalah seorang rasul”. (QS. Ali Imran: 144).
Diantara
kaidah-kaidah ushul yang di ambil dari hadits adalah:
ü Perintah yang mutlak hukumnya wajib
(الأمر المطلق يفيد الوجوب)
ü Ijma’ merupakah hujjah yang
di akui secara syar’I (الإجماع حجة معتبرة شرعا)
ü Jika berkumpul perintah dan larangan
maka larangan di dahulukan (إذا اجتمع الآمر والمحرم قدم المحرم)
ü Qiyas merupakan hujjah yang
di akui secara syar’I (القياس حجة معتبرة شرعا)
3. Ijma’
Diantara kaidah-kaidah ushul yang di
ambil dari ijma adalah:
ü Ijma’ Sahabat bahwa “hukum yang di
hasilkan dari hadits ahad dapat di terima”.
ü Ijma’ Sahabat bahwa “hukum terbagi menjadi
5 macam”.
ü Ijma’ Sahabat bahwa “syariat nabi
Muhammad menghapus seluruh syariat yang sebelumnya”.
4. Akal
Akal memiki kedudukan yang tinggi didalam syariat islam,
karena kita tidak akan faham islam tanpa akal. Sebagai contoh, Apa dalil yang
menunjukkan bahwa Allah itu ada? Jika dijawab Al Qur’an, Apa dalil yang
menunjukkan bahwa Al Qur’an benar-benar dari Allah? Jika dijawab I’jaz,
apa dalil yang menunjukkan bahwa I’jazul quran sebagai dalil bahwa
alqur’an bersumber dari Allah SWT? Dan seterusnya. Dengan demikian dapat kita
fahami bahwa islam tidak akan kita fahami tanpa akal, oleh karena itulah akal
merupakan syarat taklif dalam islam.
Meskipun demikian, ada satu hal yang harus di perhatikan
dengan seksama, bahwa akal tidak bisa berkerja sendiri tanpa syar’I.
Akal hanyalah sarana untuk mengetahui hukum-hukum Allah melalui dalil-dalil al
quran dan hadits. Allah lah yang menjadi hakim, dan akal merupakan sarana untuk
memahami hukum-hukum Allah tersebut.
Diantara
kaidah-kaidah ushul yang di hasilkan dari akal adalah:
ü Al Qur’an merupakan dalil yang di
akui.
ü Baik dan buruk hanya di ketahui
melalui syar’I bukan akal.
ü Yang lebih kuat didahulukan dari
yang lemah.
5.
Perkataan Sahabat
Diantara kaidah-kaidah ushul yang
diambil dari perkataan-perkataan sahabat Rasulullah adalah:
ü Hadits-hadits Ahad zonniyah
ü Qiyas adalah hujjah
ü Hukum yang terakhir menghapus hukum
yang terdahulu (naskh)
ü Orang awam boleh taqlid
ü Nash lebih di utamakan dari qiyas
maupun ijma’
Rukun
Dan Syarat Kaidah-Kaidah Ushul
Rukun-rukun kaidah Ushuliyyah
Ketika
kita melihat sebuah kaidah ushul, النهي للكرار (larangan menunjukkan
pengulangan) umpamanya kita akan menemukan 4 rukun didalamnya:
- Maudu’ (tema) yaitu النهي
- Mahmuul yaitu التكرار
- Penisbatan
antara keduanya yaitu kebergantungan rukun kedua dengan rukun pertama
- Terjadi
atau tidaknya rukun ketiga pada keduanya.. (Apakah perintah menunjukkan
pengulangan benar-benar terjadi atau tidak?)
Jika keempat-empatnya adalah tasowwurot dimanakah
hukumnya atau at tasdiq ??
Ahli mantiq ketika berusaha menyelesaikan permasalahan ini berbeda pada 2 pendapat:
1. Al Falasifah mengatakan bahwa at tasdiq adalah rukun ke empat saja, dengan kata lain menurut falasifah, kaidah-kaidah ushul cukup dengan satu rukun saja yaitu rukun yang keempat.
2. Imam Ar Razi mengatakan bahwa at tasdiq tidak cukup dengan rukun ke empat saja tetapi gabungan dari keempat rukun tersebut.
Ahli mantiq ketika berusaha menyelesaikan permasalahan ini berbeda pada 2 pendapat:
1. Al Falasifah mengatakan bahwa at tasdiq adalah rukun ke empat saja, dengan kata lain menurut falasifah, kaidah-kaidah ushul cukup dengan satu rukun saja yaitu rukun yang keempat.
2. Imam Ar Razi mengatakan bahwa at tasdiq tidak cukup dengan rukun ke empat saja tetapi gabungan dari keempat rukun tersebut.
Syarat-syarat kaidah Ushuliyyah
- Harus dalam bentuk yang singkat
- Merupakan perkara yang sempurna
- Maudu’nya (temanya)
harus kulli bukan juz’I (umum)
- Kaidah-kaidah ushul tersebut
tidak bertentangan dengan syari’at dan maqosid syari’ah
- Tidak bertentangan dengan
kaidah lain (baik itu kaidah ushul ataupun kaidah fiqh) yang sebanding
dengannya atau lebih kuat darinya.
- Kaidah-kadiah ushul tersebut
harus tegas dan tidak ragu-ragu
Hubungan
Antara Kaidah-Kaidah Ushul Dengan Ushul Fiqh
Ketika kita melihat defenis dari ushul fiqh dan
kaidah-kaidah ushul, akan jelas sekali perbedaan atara keduanya. Tetapi
meskipun demikian, keduanya tidak akan bisa dipisahkan karena ilmu kaidah-kaidah
ushul merupakan bagian dari ilmu ushul fiqh. Hubungan antara keduanya adalah
hubungan atara umum dan khusus (ilmu ushul fiqh lebih umum dari ilmu
kaidah-kaidah ushul).
Adapun perbedaan atara keduanya
adalah sebagai berikut:
- Mayoritas kaidah-kaidah ushul adalah nilai yang di
ambil dari ushul fiqh (ushul fiqh jauh lebih luas pembahasannya daripada
kaidah-kaidah ushul).
- Perbedaan dalam segi maudu’ (tema). Tema
kaidah-kaidah ushul adalah ushul fiqh itu sendiri adapun tema ushul fiqh
adalah al- adillah al ijmaliayah min hautsu dobthi al fiqh.
- Dari segi Tujuan. Tujuan dari kaidah-kaidah ushul
adalah menyempurnakan ushul fiqh dengan cara menyempurnakan nilai-nilai
ushul dengal lafaz yang singkat, dan mengembalikan nilai-nilai tersebut
kepada nilai yang lebih umum yang menjadi kaidah buat kaidah
tersebut. Dengan demikian tujuan ilmu kaidah-kaidah ushul adalah
ingin memberikan bentuk lain untuk ushul fiqh dalam bentuk kaidah yang
lebih singkat dan sistematis. Adapun tujuan ushul fiqh adalah pencapaian
nilai-nilai yang dapat menyempurnakan ijtihad dalam fiqh.
- Dari segi histories (Apakah ushul fiqh muncul terlebih
dahulu atau kaidah-kaidah ushul?)
Sahabat-sahabat Rasulullah, tabi’in dan yang mengikuti
mereka sejak dahulu telah berijithad dengan memakai kaidah-kaidah ushul.
Kemudian pembahasan semakin luas hingga muncullah ilmu ushul fiqh. Demikian
juga ilmu ushul fiqh semakin luas hingga di butuhkan kaidah-kaidah singkat yang
dapat dengan mudah diterapkan oleh seorang mujtahid, dan inilah yang menjadi
tonggak munculnya ilmu kaidah-kaidah ushul. Dengan demikian kaidah-kaidah ushul
lebih dahulu muncul dari ilmu ushul fiqh, dah ilmu ushul fiqh muncul sebelum
munculnya ilmu kaidah-kaidah ushul.
Perbedaan
Antara Kaidah-Kaidah Ushuliyyah Dengak Kaidah-Kaidah Fiqhiyyah
Persamaan antara kaidah ushul dan
kaidah fiqh terletak pada kesaaman sebagai wasilah pengambilan hukum. Keduanya
merupakan prinsip umum yang mencakup masalah-masalah dalam kajian syari’ah.
Oleh karena itu, dalam perspetif ini kaidah ushul sangatlah mirip dengan kaidah
fiqih.
Namun, kita pun bisa melihat perbedaan yang signifikan dari
kedua kaidah tersebut, secara ringkas perbedaan kedua kaidah tersebut adalah
sebagai berikut :
- Kaidah ushul pada hakikatnya adalah qa’idah
istidlaliyah yang menjadi wasilah para mujtahid dalam istinbath
(pengambilan) sebuah hukum syar’iyah amaliah. Kaidah ini menjadi
alat yang membantu para mujtahid dalam menentukan suatu hukum. Dengan kata
lain, kita bisa memahami, bahwa kaidah ushul bukanlah suatu hukum, ia
hanyalah sebuah alat atau wasilah kepada kesimpulan suatu hukum
syar’i. Sedangkan, kaidah fiqih adalah suatu susunan lafadz yang
mengandung makna hukum syar’iyyah aghlabiyyah yang mencakup di
bawahnya banyak furu’. Sehingga kita bisa memahami bahwa kaidah fiqih
adalah hukum syar’i. Dan kaidah ini digunakan sebagai istihdhar
(menghadirkan) hukum bukan istinbath (mengambil) hukum (layaknya
kaidah ushul). Misalnya, kaidah ushul “al-aslu fil amri lil wujub”
bahwa asal dalam perintah menunjukan wajib. Kaidah ini tidaklah mengandung
suatu hukum syar’i. Tetapi dari kaidah ini kita bisa mengambil hukum,
bahwa setiap dalil (baik Qur’an maupun Hadits) yang bermakna perintah
menunjukan wajib. Berbeda dengan kaidah fiqih “al-dharar yuzal”
bahwa kemudharatan mesti dihilangkan. Dalam kaidah ini mengandung hukum
syar’i, bahwa kemudharatan wajib dihilangkan.
- Kaidah ushul dalam teksnya tidak mengandung asrarus
syar’i (rahasia-rahasia syar’i) tidak pula mengandung hikmah syar’i.
Sedangkan kaidah fiqih dari teksnya terkandung kedua hal tersebut.
- Kaidah ushul kaidah yang menyeluruh (kaidah kulliyah)
dan mencakup seluruh furu’ di bawahnya. Sehingga istitsna’iyyah
(pengecualian) hanya ada sedikit sekali atau bahkan tidak ada sama sekali.
Berbeda dengan kaidah fiqih yang banyak terdapat istitsna’iyyah,
karena itu kaidahnya kaidah aghlabiyyah (kaidah umum).
- Perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqih pun bisa
dilihat dari maudhu’nya (objek). Jika Kaidah ushul maudhu’nya
dalil-dalil sam’iyyah. Sedangkan kaidah fiqih maudhu’nya perbuatan
mukallaf, baik itu pekerjaan atau perkataan. Seperti sholat, zakat dan
lain-lain
- Kaidah-kaidah ushul jauh lebih sedikit dari
kaidah-kaidah fiqh.
- Kaidah-kaidah ushul lebih kuat dari kaidah-kaidah fiqh.
Seluruh ulama sepakat bahwa kaidah-kaidah ushul adalah hujjah dan
mayoritas dibangun diatas dalil yang qot’I. Adapun kaidah-kaidah
fiqh ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa kaidah-kaidah fiqh
bukan hujjah secara mutlaq, sebagian mengatakan hujjah bagi mujtahid ‘alim
dan bukank hujjah bagi selainnya, sebagian yang lain mengatakan bahwa
kaidah-kaidah tersebut hujjah secara mutlak.
- Kaidah-kaidah ushul lebih umum dari kaidah-kaidah fiqh
Faedah Kaidah-Kaidah Ushul Fiqh Dan Kedudukannya Diantara Ilmu-Ilmu Syara’
1. Faedah Kaidah-Kaidah Ushul Fiqh
Manfaat sesuatu bisa dilihat dari buah atau nilai yang di
hasilkannya, begitu juga dengan kaidah-kaidah ushul. Jika kita ingin mengetahui
manfaat serta kedudukannya maka hendaklah kita melihat kepada nilai atau buah
yang dihasilkan oleh kaidah-kaidah ushul fiqh itu sendiri.. Setiap manusia
berbuat sesuai dengan kemaslahatannya, jika tidak ada maslahat (minimal dalam
pandangannya), ia tidak akan melaksanakannya. Maslahat dibagi dua, dunia dan
akhirat. Sebagai muslim tentu berkeyakinan bahwa maslahat dunia adalah sarana
untuk mencapat kebahagiaan utama di akhirat nanti.
Setelah
ilmu aqidah, ilmu yang membahas tentang hukum-hukum praktis merupakan ilmu yang
paling penting dan harus dikuasai. Hukum-hukum ini bisa di ketahui, baik dengan
cara taqlid atau ijtihad. Beribadah atas dasar taqlid tidak sama
derajatnya jika dibandingkan dengan beribadah atas dasar ijitihad. Imam Ghazali
berkata:” Sebaik-baik ilmu adalah ilmu yang menggabungkan antara akal dan
as-sam’ (Al-Qur’an dan Sunnah) dan yang menyertakan pendapat dan syara’”.
Abu Bakar
Al-Qoffal As-Syasyi berkata dalam bukunya “al-ushul”:” Ketahuilah bahwa Nash
yang mencakup segala kejadian tidak ada, dan hukum-hukum memiliki ushul dan
furu’ , dan furu’ tidak bisa diketahui kecuali dengan ushul, dan nilai-nilai
itu tidak dapat di ketahui kecuali dengan ilmu fiqh dan ushul fiqh. Ilmu ini
diambil dari syara’ dan akal yang suci secara bersamaan. Ia tidak menolak
syara’ tidak pula menolak akal. Karena keutamaan ilmu ini lah, banyak orang
yang mempelajarinya. Ulama yang faham ushul fiqh dan kaidah-kaidahnya adalah
ulama yang tinggi derajatnya, tinggi wibawanya ,memiliki banyak pengikut dan
murid. Maka hendaklah memulai dengan ushul untuk mengetahui hukum-hukum furu“.
Diantara
faedah kaidah-kaidah ushul fiqh adalah:
- Dapat mengangkat derajat seseorang dari taqlid
menjadi yaqin. Allah berfirman yang artinya:” niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan“. (QS. Al-Mujadalah: 11)
- Kaidah-kaidah ushul merupakan
asas dan pondasi seluruh ilmu-ilmu islam lainnya. Maka ilmu fiqh, tafsir,
hadits dan ilmu kalam tidak akan sempurna tanpanya. Kaidah-kaidah ushul
menjadikan pemahaman terhadap al-quran dan sunnah dan sumber-sumber islam
lainnya menjadi akurat.
- Dengan memahami kaidah-kaidah
ushul, seseorang dapat dengan mudah mengambil kesimpulan-kesimpulan hukum
syari’ah al-far’iyyah dari dalil-dalilnya langsung dan terus
melaksanakannya. Karena kaidah-kaidah ushul merupakan sarana yang
menghantarkan seseorang pada hukum-hukum fiqh.
- kaidah-kaidah ushul berusaha
membentuk kembali ilmu ushul fiqh dalam bentuk yang baru, lebih singkat
dan akurat yang dapat membantu seorang mujtahid dalam pengambilan hukum.
- Seorang yang faham ushul fiqh
dan kaidah-kaidahnya akan dapat dengan mudah mengcounter
pemikiran-pemikiran yang berusaha menyerang hukum-hukum islam yang telah
mapan seperti wajibnya rajam, hudud dan lain sebagainya.
- Tujuan akhir adalah untuk
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
2. Kedudukan Kaidah-Kaidah Ushul Fiqh
Kedudukan dan keutamaan sebuah ilmu tidak lepas dari tema,
objek, tujuan, apa yang di bahas, besar kebutuhan, kekuatan dalilnya serta
maslahat yang dihasilkannya. Semakin besar faedahnya semakin tinggi pula
kedudukannya. Kaidah-kaidah ushul memiliki kedudukan tinggi, yaitu berada pada
urutan pertama setelah ilmu akidah.
Penjelasannya:
- Dari segi faedah dan buah yang di hasilkan oleh
kaidah-kaidah ushul, penyusun telah jelaskan pada penjelasan faedah-faedah
ushul fiqh diatas.
- Dari segi objeknya, penyusun
telah jelaskan bahwa objek kaidah-kaidah ushul adalah ushul fiqh itu
sendiri dari segi keakuratannya. Juga membahas nilai-nilai ushul fiqh
untuk di undang-undangkan. Jika ilmu ushul fiqh memiliki kedudukan tinggi
dalam islam, bagaimanakah kedudukan sebuah ilmu yang bertugas menambah
keakuratan ushul fiqh?
- Dari segi tujuannya, tujuannya
adalah pengambilan hukum syara’ yang praktis dari dalil-dali syara’ dan
memperjuangkannya serta memberikan keakuratan dalam berijtihad dan kondisi
mujtahid. Usaha untuk mengetahui hukum-hukum Allah adalah merupakan
kewajiban terpenting dan merupakan tujuan penciptaan kita di dalam
kehidupan ini. Ilmu apapun yang memiliki tujuan ini adalah ilmu yang
memiliki kedudukan tinggi.
- Dari segi kebutuhan. Tidak ada
kebahagiaan didunia maupun di akhirat tanpa syari’at Allah. Dan syariat
Allah tidak akan dapat diketahui tanpa kaidah-kaidah ushul. Ma la
yatimmu al-fadil illa bihi fahuwa faadhil.
C.
Hukum Taklifi
Hukum taklifi menurut pengertian kebahasaan adalah hukum
pemberian bebansedangkan menurut istilah adalah perintah Allah
yang berbentuk pilihan dan tuntutan. Dinamakan hukum taklifi
karena perintah ini langsung mengenai perbuatan seorang mukallaf(balig dan
berakal sehat). Disebutkan tuntutan karena hukum taklifi menuntut seorang
mukallaf untuk melakukan dan meninggalkan suatu perbuatan secara
pasti. misalnya firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah
Al-Baqarah, 2:110. Artinya: ”Dan dirikanlah salat dan
tunaikanlah zakat.”(Q.S. Al-Baqarah,2:110) Tuntutan Allah SWT untuk
meninggalkan suatu perbuatan, misalnya firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat
Al-Isra’, 17:33. Artinya: ”Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan sesuatu alasan yang
benar.”(Q.S. Al-Isra’,17:33) Tuntutan Allah SWT mengandung pilihan untuk
melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya,
Dengan demikian, taklifi dibagi menjadi lima
macam, yaitu:
1.
Tuntutan
untuk memperbuat secara pasti, yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan
mendapat ganjaran dan apabila ditinggalkan akan mendapat ancaman Allah
Swt, yang disebut dengan istilah “wajib”.
Contohnya: mengerjakan
shalat, puasa, dan sebagainya.
Pembagian wajib ditinjau dari segi wakyu pelaksanaan.
·
Wajib
muthlaq
Yaitu kewajiban yang ditentukan waktu pelaksanaannya, dengan arti tidak
salah bila waktu pelaksanaannya ditunda sampai ia mampu
melaksanakannya.Contohnya wajib membayar kafarah sumpah, tapi waktunya
tidak ditentukan oleh syara’
·
Wajib
muaqqad
Yaitu kewajiban yang waktu pelaksanaannya ditentukan dan tidak sah bila
dilakukan diluar waktu tersebut. Contohnya puasa ramadhan. Wajib
ini di bagi menjadi tiga bagian, yaitu:
ü Wajib muwassa’
Yaitu kewajiban yang waktu untuk melakukan kewajiban itu melebihi waktu
pelaksanaan kewajiban itu. contohnya waktu shalat lima waktu,
shalat isya dari petang sampai subuh.
ü Wajib mudhayyaq
Yaitu suatu kewajiban yang menyamai waktunya dengan kewajiban itu
sendiri. Contohnya puasa ramadhan waktu mulainya dan berakhirnya sama
yaitu dari terbit fajar sampai maghrib.
ü Wajib dzu syahnaini
Yaitu kewajiban yang pelaksanaan nya dalam waktu tertentu dan waktunya
mengandung dua sifat di atas yaitu muwassa’ dan mudhayyaq.yaitu waktu mulainya
sama dengan waktu berakhirnya dan waktunya panjang, contohnya ibadah haji.
Pembagian wajib dari segi pelaksana.
·
Wajib ‘ain
·
Wajib
kifayah
Pembagian wajib dari segi kadar yang dituntut.
·
Wajib
muhaddad yaitu Kewajiban
yang ditentukan kadarnya. contoh : zakat
·
Wajib
ghairu muhaddad Yaitu
kewajiban yang tidak ditentukan kadarnya.
Pembagian wajib dari segi bentuk perbuatan yang
dituntut.
·
Wajib
mu’ayyan : Wajib yang ditentukan zatnya , contoh : membaca Al Fatihah dalam
shalat.
·
Wajib
mukhayyar : Wajib yang diberi kebebasan memilih, contoh = kafarah sumpah.
2.
Tuntutan
untuk memperbuat secara tidak pasti, dengan arti perbuatan itu dituntut
untuk di kerjakan. Yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan oleh seorang
mukallaf akan mendapat ganjaran di sisi Allah Swt. Dan apabila ditinggalkan
tidak mendapat ancaman dari Nya, yang dikenal dengan istilah “Nadb(sunat)”.
a. Dari segi selalu dan tidak
selalunya nabi melakukan sunah tersebut. Sunah terbagi dua;
·
Sunah
muakkadah Yaitu
perbuatan yang dilakukan oleh nabi disamping ada keteranganyang menunjukkan
bahwa perbuatan itu bukanlah sesuatu hal yang fardhu.
·
Sunah
ghairu muakkadah Yaitu
perbuatan yang pernah dilakukan oleh nabi, tetapi nabi tidak melazimkan dirinya
dengan perbuatan tersebut.
b. Dari segi kemungkinan meninggalkan
perbuatan, sunah terbagi dua, yaitu;
·
Sunah
hadyu Yaitu
perbuatan yang dituntut untuk melakukannya karena begitu besar faedah yang
didapat darinya dan orang yang meninggalkannya dianggap sesat. Contohnya shalat
hari raya.
- Sunah
zaidah Yaitu
sunah yang bila dilakukan oleh mukallaf dinyatakan baik dan bila
ditinggalkan tidak mendapat dosa. Yaitu kesukaan Nabi yang bagus bila
ditiru dan tidak dicela bila ditinggalkan.
- Sunah
nafal Yaitu
perbuatan yang dituntut sebagai tambahan bagi ibadah wajib.
3.
Tuntutan
untuk meninggalkan secara pasti, yaitu suatu pekerjaan yang apabila dikerjakan
oleh seorang mukallaf maka ia akan mendapat ancaman dari Allah Swt. dan apabila
ditinggalkan maka ia akan mendapat pahala, yang dikenal dengan istilah “haram”.
Ulama hanafiyah menjabarkan hukum haram menjadi dua berdasarkan dalil
yang menetapkannya.Tuntutan dan larangan secara pastiyang ditetapkan oleh dalil
dalil zhanni disebut karahah tahrim.
Contohnya: memakan harta anak
yatim, memakan harta riba,dll.
4.
Tuntutan
untuk meninggalkan atau larangan secara tidak pasti. Yaitu suatu pekerjaan yang
apabila dikerjakan tidak berdosa dan bila ditinggalkan akan mendapat pahala,
yang dikenal dengan istilah “karahah (makruh)”.
Contohnya: merokok,dll.
Catatan untuk perkara
yang mubah :
·
Jangan berlebihan.
·
Jangan membuat perkara baru (bid’ah) dalam agama yang tanpa ada contoh
atau tanpa ada maslahatnya dalam urusan dunia atau tidak menjadi sarana
kemaslahatan yang lain.
·
Jangan sibuk dengan perkara yang mubah sehingga melalaikan dari akhirat.
5.
Sesuatu
yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Jadi,
disini tidak terdapat tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan. hal
ini tidak diperintahkan dan tidak pula dilarang. Hukum dalam bentuk ini
disebut “ibahah” sedangkan perbuatan yang diberi pilihan untuk berbuat atau
tidak itu disebut “mubah”.
Contohnya: melakukan perburuan setelah
melakukan tahallul dalam ibadah haji, dll.
Kedudukan
Dan Fungi Hukum Taklifi
a. Kedudukan Hukum Taklifi
Kedudukan hukum taklifi (dalam hukum Islam) merupakan ketetapan-ketetapan dari Allah itu sendiri.
Kedudukan hukum taklifi (dalam hukum Islam) merupakan ketetapan-ketetapan dari Allah itu sendiri.
b. Fungsi Hukum Taklifi
Fungsi hukum taklifi adalah sebagai rambu-rambu bagi umat Islam mengenai berbagai perbuatan yang boleh dan dilarang, perbuatan yang sebaiknya ditinggalkan tetapi jika dilakukan tidak berdosa, dan lain-lain.
Fungsi hukum taklifi adalah sebagai rambu-rambu bagi umat Islam mengenai berbagai perbuatan yang boleh dan dilarang, perbuatan yang sebaiknya ditinggalkan tetapi jika dilakukan tidak berdosa, dan lain-lain.
D. Hukum Wad’I
Hukum wad’I
adalah khitab syar’I yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab,
syarat, atau penghalang dari sesuatu yang lain. Ketentuan hukum ini di kenal
dengan istilah lain sebagai pertimbangan hukum. Hukum wad’I juga bisa dikatakan
hukuman yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang mengandung persyaratan
sebab atau mani’.
Macam-Macam Hukum Wad’i
Para ulama’
usul fiqh menyatakan bahwa hukum wad’I itu ada lima macam yaitu ;
1.
Sebab
Secara
etimologi (al-sabab) mempunyai arti al-hablu (tali) dan sesuatu yang menghantarkan
kepada maksud atau tujuan. Secara bahasa Sebab yaitu sifat yang nyata dan
dapat di ukur yang dijelaskan leh nash al-qur’an atau sunnah bahwa
keberadaannya menjadi petunjuk bagi hukuman syara’ artinya, keberadaan sebab
merupakan pertanda keberadaan suatu hukum.Contoh sebab: “Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai siku-siku.” [QS. Al-Maidah (5): 6]. Kehendak melakukan shalat
adalah yang menjadikan sebab diwajibkannya wudhu, tergelincirnya matahari
menjadi sebab wajibnya sholat dzuhur.
2. Syarat
Syarat
ialah: suatu yang menyebabkan adanya hukum dengann adanya syarat dan bila tidak
ada syarat maka hukum pun tidak ada. Contoh syarat: “Mengerjakan haji
adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup
mengadakan perjalanan kepadanya.” [QS. Ali Imran (3): 97]. Kemampuan adalah
menjadi syarat diwajibkannya haji.
3. Mani’
Mani’ yaitu
sifat yang nyata yang keberadaannya menyebabkna tidak ada hukum atau tidak ada
sebab. Seperti hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan menyebabkan
terjadinya hubungan kewarisan. Contoh mani’ (pencegah): Rasulullah saw.
bersabda, “Pena diangkat (tidak ditulis dosa) dari tiga orang, yaitu dari orang
tidur sampai ia bangun, dari anak kecil sampai ia dewasa, dan dari orang gila
sampai ia sembuh (berakal).” Hadits ini menunjukkan bahwa gila adalah pencegah
terhadap pembebanan suatu hukum dan menjadi pencegah terhadap perbuatan yang
sah.
4. Sah dan Batil
Lafadz sah
dapat diartikan lepas tanggungjawab atau gugur kewajiban di dunia serta
memperlah pahala dan ganjaran di akhirat. Sholat diakatakan sah karena telah
dilaksanakan sesuai dengan yang diperintahkan syara’ dan akan mendatangkan
pahala di akhirat.
Lafadz batal dapat diartikan tidak
lepas diartiakn tanggungjawab tidak menggugurkan kewajiban di dunia dan akhirat
tidak memperolah pahala.
5. Aziman dan Rukhsah
Aziman dan
rukhsah: adalah hukum yang disyariatkan Allah kepadaseluruh hambanya sejak
semula. Artinya belum ada hukum sebelum hukum itu disyariatkan Allah, sehingga
seluruh makhluk wajib mengikuti sejak hukum tersebut disyariatkan. Misalnya:
jumlah rakaat sholat dzuhur adalah empat rakaat, jumlah rakaat ini ditetapkan
Allah sejak semula dimana sebelumnya tidak ada hukum lain yang menetapkan
jumlah rakaat sholat dzuhur, hukum tentang rakaat sholat dzuhur itu adalah
empat rakaat disebut dengan aziamh, apabila ada dalil lain yang menunjukkan
bahwa orang-orang tertentu boleh mengerjakan sholat dzuhur dua rakaat seperti
orang musafir, maka hukum itu disebut rukhsah.
Adapun
alasan mengapa rukhshah dan ‘azîmah bukan termasuk dalam hukum wadh’îe akan
tetapi masuk dalam hukum taklîfîe adalah karena kedua hukum tersebut mengandung
kehendak atau permintaan (iqtidhâ`) dalam hukum ‘azîmah dan kebebasan memilih
(takhyîr) dalam hukum rukhshah. Sebaliknya pendapat yang menganggap bahwa
‘azîmah dan rukhshah merupakan bagian dari hukum wadh’îe dan bukan termasuk
dalam hukum taklîfîe mengatakan bahwa rukhshah pada hakikatnya adalah sifat
yang dijadikan Syâri’ sebagai sebab peringanan suatu hukum syariat, sedangkan
‘azîmah adalah kelangsungan adat dan kebiasaan yang menjadi sebab berlakunya
hukum asli, seperti hukum kewajiban salat, zakat, dan lain sebagainya.
Sedangkan
alasan mengapa al-shihhah dan al-buthlân atau al-fâsid tidak termasuk dalam
hukum wadh’îe akan tetapi bagian dari hukum taklîfie, yaitu karena pada
hakikatnya al-shihhah adalah pembo1ehan dari Syâri’ untuk memanfaatkan sesuatu,
seperti pembolehan memanfaatkan mabî’ (barang yang dijual) oleh pihak pembeli.
Sebaliknya al-buthlân adalah keharaman memanfaatkan sesuatu, seperti larangan
memanfaatkan mabî’ jika akad jual beli batal atau tidak sah.
Contoh Hukum Wad’I
Contoh hukum wad’I menurut firman Allah swt.dan sunah Rasulullah
saw.berikut
1. Khitab Allah swt.yang Menunjukan
Sesuatu Menjadi Sebab yang Lain
Allah swt.berfirman dalam Surah al-Isra’ Ayat 78
( أقم الصلاة لدلوك الشمس (الإسراء: 78)
Artinya: “Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir.” (QS. Al-Isrâ`: 78)
Artinya: “Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir.” (QS. Al-Isrâ`: 78)
Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa condongnya matahari menjadi al-sabab
adanya kewajiban salat dzuhur.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا
وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ
وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ
كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا
طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ
لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ
نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya :“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub
maka mandilah, dan jika kamu sakit [403] atau dalam perjalanan atau kembali
dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh [404] perempuan, lalu kamu tidak
memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah
mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu,
tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni'mat-Nya bagimu,
supaya kamu bersyukur”
2. Khitab Allah swt.yang Menunjukan Sesuatu
Menjadi Syarat yang Lain
Allah berfirman dalam Surah an-Nisa Ayat 6
Setelah memperhatikan contoh di
atas, di sana tidak ditemukan kesesuaian yang tampak antara adanya al-sabab dan
munculnya suatu hukum syariat, kecuali yang diketahui oleh Syâri’ sendiri.
Dalam hal seperti ini para ulama ushûl menyebutnya sebagai al-sabab dan
al-‘illah, namun ada sebagian ulama yang menyebutnya al-sabab saja dan bukan
al-‘illah, karena menurut pandangan mereka al-‘illah adalah yang mempunyai
kesesuaian yang cocok antara hukum syariat dan al-‘illah.
3. Khitab Rasullulah saw.yang Menunjukan Sesuatu
Menjadi Penghalang (Mani’).
Rasulullah saw.bersabda dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud yang artinya :
“Tidak ditulis sebagai dosa dari
tiga hal, yaitu dari orang gila sampai ia sembuh (berakal), dari orang tidur
sampai bangun, dan dari anak kecil sampai dia dewasa. ( H.R. Abu Dawud dari
Ibnu Abbas : 3823)”
Hadits diatas menggambarkan bahwa
gila menjadi penghalang terhadap pembebanan suatu hukum dan menjadi penghalang
(Man’i) terhadap perbuatan yang sah. Selain hadits diatas, terhadap pula hadits
yang lain, yang artinya :
“Orang islam tidak mewarisi orang
fakir dan orang kafir tidak mewarisi harta orang islam. ( H.R. al-Bukhari dari
Usamah bin Zaid : 6267 dan Muslim : 3027)”
Berlainan agama antara orang yang
mewariskan hartanya dan orang yang mewarisi menjadi penghalang seseorang untuk
menerima harta waris.
Berdasarkan
ketentuan dan contoh-contoh tersebut, hukum wad’I pada dasarnya sebagai
petunjuk dalam melaksanankan hukum taklifi. Mengenai hukum wad’I para ulama
berpendapat bahwa hukum wad’I tidak hanya mengandung lima hal diatas, tetapi
juga mengandung rukhsah (kemurahan), dan sihah (sah).
E. Perubahan Hukum dalam Islam
(Nasakh)
Secara umum dari sisi
etimologi, bahwa nasakh berarti mengangkat atau menghilangkan, di samping juga
ada pengertian nasakh yang berarti menyalin (nasakh tu kitab = saya menyalin
kitab). Tapi secara umum, terutama berkaitan dengan permasalahan ini, nasakh
berarti mengubah, mengangkat, atau mengganti ketentuan yang ada. Sehingga,
nasakh di dalam persepsi kajian Ilmu Fiqh adalah mengganti hukum-hukum yang
sudah ada dengan hukum baru yang datang setelah itu. Karena itu, untuk
mengetahui nasakh dan mansukh ini, maka harus diketahui mana ayat-ayat yang
dianulir dan mana ayat-ayat yang ditetapkan untuk menggantikan posisi ayat yang
pertama. Dalam hal ini, persyaratan yang menggantikan itu harus yang datang
kemudian. Karena itulah, juga harus diketahui kapan ayat tersebut turun.
Pada prinsipnya, nyaris menjadi suatu
kesepakatan seluruh Umat Islam sejak zaman Rasulullah hingga kini, bahwa di
dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang sudah kadaluwarsa (mansukh). Dalam hal
ini, kecuali satu orang yang tidak menyetujui, yaitu Abu Muslim Al-Isfahani.
Beliau ini menentang habis-habisan terjadinya nasakh dan mansukh di dalam
ayat-ayat Al-Qur’an. Menurutnya, kalau ada suatu ayat, kemudian ayat tersebut
dinyatakan kadaluwarsa, berarti ada hukum Allah yang memang tidak layak pakai.
Dan Allah sangat mustahil menentukan sebuah ketentuan yang tidak layak pakai.
Seberapapun hujjah dalil yang disampaikan
Abu Muslim Al-Isfahani, tetapi realita menjelaskan kepada kita, bahwa banyak
ayat-ayat yang masa berlakunya sudah tidak lagi ditetapkan sebagai hukum Islam
sejak Rasulullah masih ada. Nasakh dan mansukh ini bukanlah persoalan logika,
bukan hasil dari pemikiran manusia, bukan pula hasil pemikiran sahabat, bahkan
juga bukan hasil pemikiran Rasulullah, tetapi memang Allah lah yang
menyampaikan bahwa suatu ayat tersebut hanya sampai ketika itulah berlakunya,
kemudian diganti dengan ayat yang lain. Persoalannya adalah, apakah gunanya
nasakh dan mansukh ini? Apakah Allah itu sama dengan manusia, yang Dia tidak
mengerti bahwa sekarang ini kondisinya begini, nantinya ketika kondisi tersebut
berbeda, maka peraturan tersebut akan diganti? Padahal semua yang terjadi ini,
bahkan sebelum alam ini terjadi, Allah sudah menentukan, bahwa nanti akan
begini, dan nantinya lagi akan begini.
Lantas mengapa Allah menentukan, seolah-olah
Allah tidak mengetahui akan terjadi perubahan nantinya? Hal ini tentunya
persoalan yang layak untuk kita cari jawabannya. contoh Nasakh Ayat mengenai
pembagian warisan (mawaris): Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih
dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua
orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang
ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfa`atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (12) Dan bagimu (suami-suami)
seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak
mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka
buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.
Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika
kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati,
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih
dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris).
(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari`at yang
benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (Q.S.
An-Nisaa: 11-12) Berkaitan dengan contoh ini, bahwa dalam masyarakat jahiliyah
ketika itu, ternyata harta pusaka tidaklah dibagi menurut paraturan yang adil
dan bijaksana, Karena hanya anak tertua (anak pertama) lah yang berhak
memperoleh harta pusaka. Atau terkadang diwasiatkan kepada orang yang disukai
oleh pemilik harta pusaka tersebut. Wanita sama sekali tidak berhak menerima
harta pusaka. Oleh karena itu, mula-mula Alquran mewajibkan berwasiat bagi
pemilik harta pusaka kepada kedua orang tua dan sanak famili (kerabat) tanpa
terkecuali (Surah Al-Baqarah ayat 180).
Kemudian setelah kewajiban wasiat tersebut diterima dan dilaksanakan
dengan baik, maka turunlah ayat mawaris yang mengatur pembagian harta pusaka
dengan hukum faraidh yang adil (Surah An-Nisaa ayat 11-12). Di samping itu juga
memberikan hak kepada kerabat dari ibu untuk menerima harta pusaka, sebagaimana
yang diberikan kepada kerabat dari pihak ayah, meskipun bagian yang diterima
oleh kerabat dari pihak ayah lebih besar daripada yang diterima oleh kerabat
dari pihak ibu, sebagaimana firman Allah yang berbunyi: Bagi laki-laki ada hak
bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak
bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (Q.S. An-Nisaa: 7)
Contoh lainnya adalah mengenai meminum minuman keras (khamar) dan
judi (maisir). Pada umumnya, orang Arab ketika itu (ketika masa Rasulullah)
merasa bangga dan tinggi status sosialnya bila berjudi dan meminum khamar.
Karena kedua hal tersebut dapat mendorong seseorang untuk bersikap pemberani
dan rela berkorban. Berhubung kepercayaan (semboyan) tersebut telah mendarah
daging dalam diri mereka, maka mula-mula agama Islam tidak mengharamkan kedua
perbuatan tersebut, tapi hanya memberikan isyarat bahwa kedua hal tersebut
tidak baik. Allah memberikan isyarat tentang tidak baiknya khamar seperti yang
termaktub di dalam Alquran: Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman
yang memabukkan dan rezki yang baik.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda
(kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan. (Q.S. An-Nahl: 67) Dengan
membandingkan antara khamar yang memabukkan dengan rezeki yang baik, Allah
memberikan isyarat, bahwa khamar yang memabukkan itu tidak baik. Kemudian Allah
menjelaskan tentnag bahaya meminum khamar dan berjudi dengan ungkapan yang
lebih jelas dalam ayat berikut ini: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan
judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa`at
bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa`atnya”.
Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah:
“Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu supaya kamu berfikir, (Q.S. Al-Baqarah: 219) Ayat ini telah mengarah
pada penetapan haramnya kedua perbuatan tersebut. Karena setiap perbuatan yang
bahayanya lebih banyak daripada manfaatnya, maka perbuatan tersebut merupakan
perbuatan yang terlarang. Hanya saja larangan dalam ayat ini belum diungkapkan
dengan jelas. Oleh karena itu, para tokoh sahabat yang bertaqwa telah
meninggalkan minuman keras (khamar) berdasarkan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Dalam tahap berikutnya, khamar telah dilarang pada waktu-waktu tertentu.
Seperti yang dijelaskan oleh Allah dalam ayat berikut ini: Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu
mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam
keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.
Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari
tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah
mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema`af lagi Maha Pengampun. (Q.S.
An-Nisaa: 43) Berdasarkan ayat ini, sebagian orang mukmin (sahabat) telah
meninggalkan minuman keras (khamar) pada waktu siang dan sebagian waktu malam.
Sedang sebagian yang lain mengetahui bahwa khamar diharamkan secara mutlak,
sehingga mereka telah meninggalkannya sama sekali sebagaimana pada tahap
terakhir, Allah mengharamkan khamar secara pasti (qath’i) dengan firman-Nya
yang berbunyi: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan. (Q.S. Al-Maidah: 90) Setelah ayat tersebut dibacakan
oleh Rasulullah, maka para sahabat yang bertaqwa menjawab dengan suara yang
keras: “Kami telah berhenti dari perbuatan itu”.
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa hukum syara’ itu ditetapkan
secara bertahap, sesuai dengan situasi dan kondisi. Semula suatu perbuatan itu
dibiarkan hukumnya sesuai dengan hukum yang sudah ada. Kemudian barulah
diharamkan dan mengganti (menasakh) hukum yang dahulu dengan hukum yang datang
kemudian. Setelah syariat Islam turun dengan sempurna, maka hukum yang telah
ditetapkan tersebut berlaku hingga hari kiamat. Sedang syariat Islam telah
sempurna dengan turunnya firman Allah yang berbunyi: Diharamkan bagimu
(memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama
selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang
diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan
(diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga)
mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah
kefasikan.
Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan)
agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku.
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka
barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al-Maidah: 3) Termasuk juga
nasakh jenis ini adalah membatalkan sesuatu yang sebelumnya dilarang, yaitu
seperti sebelumnya Rasulullah melarang ziarah kubur, tetapi kemudian Rasulullah
memperbolehkannya, seperti dalam suatu hadis disebutkan: (Dahulu) aku telah
melarang kalian berziarah kubur.
Oleh karena itu (sekarang)berziarahlah ke kuburan. (Al-Hadits) ***
Sebenarnya terdapat beberapa perbedaan pendapat tentang naskh ayat Al-Quran.
Sebagian dari pendapat itu ada betul-betul menolak secara total adanya nasakh,
sebagian lagi justru sebaliknya, nyaris semua ayat Quran bisa di-nasakh oleh
mereka, lalu ada pendapat yang pertengahan, di mama konsep nasakh itu diterima,
namun tidak bisa sembarangan dalam menetapkannya.
1. Para penentang nasakh Yang paling gigih dalam menentang adanya
nasakh adalah Kaum Yahudi. Mereka berpendapat bahwa adanya naskh dalam syariat
Islam menyebabkan munculnya kesimpulan,`Bahwa sesuatu itu ada setelah
ketiadaannya`. Yang menurut mereka berarti naskh ada karena kurangnya
kebijaksanaan (dan hal ini mustahil bagi Allah), atau naskh ada karena adanya
kebijaksanaan yang mucul atau tampak setelah ketiadaannya di waktu sebelumnya
dan hal ini akan memberikan kesimpulan bahwa Allah itu tadinya tidak tahu (dan
hal ini pun mustahil bagi Allah).
Dan jawaban bagi mereka yang berpendapat seperti ini adalah bahwa
apa yang mereka katakan itu tidaklah benar adanya, karena Allah itu Maha
Mengetahui apa yang terbaik untuk para hamba-Nya, dan semua itu terjadi juga
untuk mashlahat manusia itu sendiri. Adapun sanggahan bagi pendapat mereka yang
sebenarnya datang dari mereka sendiri adalah bahwa mereka pun meyakini bahwa
sebagian syari’at Musa pun datang menghapuskan syari’at nabi-nabi sebelumnya.
Dan begitu juga telah ada naskh dalam kitab Taurat mereka, sebagai contoh,
telah diharamkan bagi mereka beberapa jenis hewan yang sebelumnya merupakan makanan
yuang halal bagi mereka. Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan
makanan yang Israil haramkan untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan,
Katakanlah (jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum
diturunkannya taurat) maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah ia jika kamu adalah
orang-orang yang benar. (QS Ali Imran: 93) Dan di dalam Taurat pun telah
disebutkan bahwa Nabi Adam a.s. telah menikahkan anak laki-lakinya dengan anak
perempuannya sendiri, dan hal ini telah diharamkan dalam syari`at Nabi Musa
a.s, dan masih banyak lagi hal lain sebagai bukti lemahnya dalil yang mereka
ajukan.
2. Golongan orang-orang yang telalu berlebihan dalam membolehkan
nasakh Mereka adalah golongan rawafidhah, di mana mereka terlalu berlebihan dalam
membolehkan sekaligus menetapkan adanya naskh dalam syari’at Islam. Mereka 180
derajat berseberangan pendapat dengan kaum Yahudi. Mereka mengambil dalil dari
perkataan-perkataan yang dinisbatkan pada Ali r.a. yang sebenarnya kata-kata
itu tidak pernah datang dari beliau. Allah menghapuskan apa yang dia kehendaki
dan menetapkan (apa yang dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat
Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh). (QS Ar-Ra`d: 39)
3. Pendapat Pertengahan Yaitu pendapat sebagian besar ulama atau
diistilahkan dengan jumhur ulama. Mereka mengatakan bahwa naskh itu
memungkinkan terjadinya secara akal dan juga dalam syari`at Islam.
Dalil mereka adalah:
a. Bahwa semua hal yang dilakukan oleh Allah tidak dihalangi oleh
tujuan-tujuan tertentu, tapi Allah Maha Kuasa untuk melakukan apa saja yang Dia
kehendaki, bahkan dalam satu waktu sekalipun, dan Dialah Yang Maha Tahu mana
yang terbaik untuk hamba-Nya.
b. Nash-nash dalam Al-Qur’an dan hadits telah menunjukkan
kemungkinan tejadinya naskh. Di antaranya adalah: Dan apabila kami letakkan
suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih
mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata`Sesungguhnya kamu adalah
orang yang mengada-adakan saja`. bahkan kebanyakan mereka tiada Mengetahui. (QS
An-Nahl: 101) Ayat mana saja yang kami nasakh-kan, atau kami jadikan (manusia)
lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu (QS Al-Baqarah: 106) Selain itu ada Abu Muslim al-Ashfahani
berpendapat bahwa terjadinya naskh itu dibenarkan oleh akal, namun tidak oleh
syari`at.
d. Dlilnya dalam pendapatnya ini adalah firman Allah berikut: Yang
tidak datang kepadanya (Al-Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari
belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
(QS. Al-Fushilat:42) Hikmah Adanya Naskh Perhatian Allah Ta`ala pada
kemashlahatan hamba-Nya, sehingga naskh hanya akan Allah turunkan ketentuannya
bila hal itu memang yang terbaik bagi mereka. Perubahan syari’at yang selalu
menuju kearah kesempurnaan sesuai dengan perkembangan dakwah dan juga
perkembangan kehidupan manusia.
Sebagai ujian bagi manusia apakah ia akan tunduk pada aturan yang
telah ditentukan oleh Allah ataukah ia akan membangkang-Nya. Semuanya adalah
merupakan kehendak Allah untuk memberikan apa yang terbaik bagi hamba-Nya yang
sekaligus memberikan kemudahan dalam menjalankannya. Kesimpulan
1. Naskh adalah hal yang diperbolehkan keberadaannya dalam agama
Islam. Hal ini sesuai dengan dalil yang telah datang dari Alqur’an dan sunnah
Rasulullah SAW.
2. Demi menjaga kemashlahatan hamba-Nya, Allah telah menghapus
sebagian hukum dalam syari`at Islam. Bila ternyata hukum penggantinya itu lebih
ringan, maka itu adalah kemudahan yang diberikan oleh Allah di dunia ini secara
langsung, namun apabila ternyata penggantinya lebih berat, maka tidak lain hal
ini akan melipat gandakan pahala pelaksananya sebagai balasan atas ketaatannya
pada aturan Allah Ta`ala.
3. Bahwa Allah Ta`ala adalah raja segala raja yang hanya Dia-lah
yang berkuasa membuat peraturan bagi hamba-hamba-Nya. Maka dari itu hendaknya
kita selalu tunduk pada aturan-aturan yang datang dari-Nya, yang berupa
perintah maupun larangan.
Daftar Rujukan
Al-Jailany Al-Marini, Al-Qowaid
Al-Ushuliyah wa tatbiqotiha ‘inda Ibn Quddamah fi kitab Al-Mugni, Kairo :
Dar Ibn Affan, cetakan pertama tahun 2002 M
Amir syrifuddin,Ushul fiqh,Jakarta:fajar
interpratama offset.
Badaruddin Az-Zarkasyi, Al-Bahrul Muhit,
jilid 1, 1994.
Dr. Abdul Karim Zaidan, 2006, Al-Wajiz
fi Syarhi Al-Qowaid Al-Fiqhiyah fi As-Syari’ah Al-Islamiyah, Beirut-Libanon:
Muassasah Ar Risalah Nasyirun
Dr. Aiman Abdul Hamid Al-Badrain,
2005, Nadzoriyyah At-Taq’id Al-Ushuly, Kairo: Dar Ibn Hajm
Dr. Muhammad Dzuhaily, 2004, Al-Qowaid
Al-Fiqhiyyah ala Al-Madzhab Al-Hanafy wa As-Safi’I, Kuwait: Majlis Al-Nasr
Al-’Ilmy
Muhammad bin Muhammad Abu Hamid
Al-Ghazali, Al-Mustashfa fi ilm Al-Ushul, Beirut : Dar El-Kutub
El-Ilmiyah, cetakan tahun 1413 H
Syabir, Muhammad Utsman, Al-Qowaid
al-Kulliyah wa ad-Dhowabit Al-Fiqhiyah, Yordania : Dar El-Furqon, cetakan
pertama, tahun 2000
www.rumahfiqih.com
Fiqihpedia n http://thenafi.wordpress.com
0 Response to "Kaidah-Kaidah Hukum Islam"
Post a Comment