Hukum kewarisan
Hukum Kewarisan ialah Hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) dari
pewaris kepada ahli waris, dan menentukan siapa-siapa yang dapat menjadi ahli
waris, dan menentukan berapa bagiannya masing-masing. Islam sebagai agama
samawi mengajarkan hukum kewarisan, disamping hukum-hukum lainnya, untuk
menjadi pedoman bagi umat manusia agar terjamin adanya kerukunan,
ketertiban, perlindungan dan ketentraman dalam kehidupan di bawah naungan dan
ridho Illahi. Aturan hukum kewarisan Islam diturunkan secara berangsur-angsur
sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kesadaran hukumnya sehingga menjadi
suatu system hukum kewarisan yang sempurna.
Sejarah Hukum Kewarisan Islam
Sejarah Hukum Kewrisan Islam tidak terlepas dari hukum
kewarisan zaman Jahiliyah. Ringkasnya, perkembangan Hukum Kewarisan Islam dapat
dipaparkan sebagai berikut ;
Hukum kewarisan adat Arab pada zaman
Jahiliyah menetapkan tatacara pembagian warisan dalam masyarakat yang
didasarkan atas hubungan nasab atau kekerabatan, dan hal itu pun
hanya diberikan kepada keluarga yang laki-laki saja, yaitu laki-laki yang sudah
dewasa dan mampu memanggul senjata guna mempertahankan kehormatan keluarga dan
melakukan peperangan serta merampas harta peperangan.
Perempuan dan anak-anak tidak
mendapatkan warisan, karena dipandang tidak mampu memangul senjata guna
mempertahankan kehormatan keluarga dan melakukan peperangan serta merampas
harta peperangan. Bahkan orang perempuan yaitu istri ayah dan/ atau istri
saudara dijadikan obyek warisan yang dapat diwaris secara paksa. Praktik ini
berakhir dan dihapuskan oleh Islam dengan yang melarang menjadikan wanita
dijadikan sebagai warisan. Dalam Ayat tersebut Allah SWT. Berfirman : orang
yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan …
Selain itu perjanjian bersaudara, janji
setia, juga dijadikan dasar untuk saling mewarisi. Apabila salah seorang dari
mereka yang telah mengadakan perjanjian bersaudara itu meninggal dunia maka
pihak yang masih hidup berhak mendapat warisan sebesar 1/6 (satu per enam) dari
harta peninggalan. Sesudah itu barulah sisanya dibagikan untuk para ahli
warisnya. Yang dapat mewarisi berdasarkan janji bersaudara inipun juga harus
laki-laki.
Pengangkatan anak yang berlaku di
kalangan Jahiliyah juga dijadikan dasar untuk saling mewarisi. Apabila anak
angkat itu telah dewasa maka ia mempunyai hak untuk sepenuhnya mewarisi harta
bapak angkatnya, dengan syarat ia harus laki-laki. Bahkan pada masa permulaan
Islam hal ini masih berlaku. Kemudian pada waktu Nabi Muhammad SAW. Hijrah ke
Madinah beserta para sahabatnya, Nabi mempersaudarakan antara Muhajirin dengan
kaum Anshor. Kemudian Nabi manjadikan hubungan persaudaraan karena hijrah
antara Muhajirin dengan Anshor sebagai sebab untuk saling mewarisi.
Dari paparan tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa dasar untuk dapat saling mewarisi pada Zaman Jahiliyah adalah
:
1. Adanya hubungan nasab/ kekerabatan
2. Adanya pengangkatan anak
3. Adanya janji setia untuk bersaudara
Ketiga jenis ahli waris tersebut disyaratkan
harus laki-laki dan sudah dewasa. Oleh karena itu, perempuan dan anak-anak
tidak dapat menjadi ahli waris. Kemudian pada masa permulaan Isalam di Madinah,
Rasulullah SAW. Mempersaudarakan Muhajirin dengan Anshor, persaudaraan karena
hijrah ini juga dijadikan dasar untuk saling mewarisi.
Dalam perkembangannya, dasar saling
mewarisi karena adanya pengangkatan anak, janji setia, dan persaudaraan karena
hijrah inipun dihapus. Untuk selanjutnya suatu ketentuan yang harus ditaati
oleh setiap muslim. Perempuan dan anak-anak yang semula tidak tidak dapat
mewarisi, kemudian oleh Hukum Islam diberikan hak (bagian) untuk mewarisi
seperti halnya ahli waris laki-laki. Mereka mempunyai hak yang sama dalam
mewarisi, baik sedikit maupun banyaknya menurut bagian yang ditetapkan Allah
SWT. Menegaskan ini dengan Firman-artinya sebagai berikut ; -laki ada hak
(bagian) dari hartapeninggalan ibu, bapak, dan kerabatnya; dan bagi orang
perempuan juga ada hak (bagian) dari harta peninggalan ibu, bapak, dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah
Berfirman yang artinya : (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu,
yaitu bahwa bagian seorang anak laki-laki.
Kemudian di dalam Surat Al Ahzab, ayat
40 ditegaskan pula bahwa : -kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di
antara kamu 11. Sedang mengenai kewarisan berdasarkan persaudaraan karena
hijrah antara Muhajirin dengan Anshor telah dihapuskan dengan Hadits Nabi
Muhammad SAW. Dalam sabdanya :
Artinya :
(HR. Bukhori dan Muslim)
Hal ini terjadi pada tahun ke-8 Hijriyah. Hadits
inilah yang dijadikan dasar penghapusan hubungan Muwarosah antara Muhajirin
dengan Anshor.
Ayat-ayat kewarisan itu turun secara
berangsur-angsur, sejak tahun ke-II sampai VII Hijriyah, selama Rasulullah
berada di Madinah, menggantikan hukum adat kewarisan Jahiliyah, sejalan dengan
yat-ayat yang mengatur hukum keluarga (perkawinan). Demikian pula praktik
pelaksanaan hukum kewarisan pun secara berangsur-angsur mengalami perubahan
demi perubahan yang kesemuanya itu menuju kesempurnaan, yaitu suatu tatanan
masyarakat yang tertib, adil, dan sejahtera denga susunan keluarga yang ersifat
bilateral.
Meskipun adalah sistem kekeluargaan
yang bersifat bilateral, akan tetapi ternyata pengaruh adat istiadat masyarakat
Arab jahiliyah yang Patrilineal itu sangatlah kuat sehingga mempengaruhi
pikiran dan praktik hukum keluarga dan Hukum Kewarisan pada masa sahabat dan
sesudahnya. Praktik kekeluargaan Patrilineal yang sangat menonjol tersebut
telah mempengaruhi praktik dan Ijtihad hukum kewarisan Islam pada masa lalu
sampai sekarang. Dan paham inilah yang masuk dan diajarkankepada ummat Islam di
Indonesia. Ketidakseimbangan telah terjadi karena hukum keluarga yang dianut
dan berkembang di Indonesia adalah kukum keluarga yang bersifat
bilateral, sementara hukum kewarisan yang diajarkan bersifat
patrilineal sehingga hukum kewarisan patrilineal tersebut kurang mendapat
sambutan secara tangan terbuka karena dirasa belum/ tidak pas untuk diterapkan
dalam praktik. Di sinilah diperlukan adanya kaji ulang dan ijtihad baru di
bidang hukum kewarisan. Dalam upaya menghapuskan perbudakan maka Rasulullah
SAW. Menetapkan bahwa orang yang memerdekakan budak, maka ia menjadi ahli
warisnya bila budak itu meninggal dunia. Akan tetapi pada masa kini perbudakan
secara yuridis sudah tiada lagi.
Hukum Kewarisan dan Hukum Perkawinan,
masing-masing merupakan Sub-sistem yang membentuk suatu Sistem Hukum, yaitu
hukum keluarga. Antara keduanya tidak dapat dipisahkan ibarat sekeping mata
uang, antara satu sisi dengan sisi lainnya. Oleh karenanya kedua hukum tersebut
harus mempunyai sifat, asas dan gaya yang sama sehingga dapat dilaksanakan
dengan enak dan selaras dalam dalam tata kehidupan keluarga, apabila terjadi
ketidakselarasan maka dapat dipastikan akan terjadi ketimpangan dalam kehidupan
keluarga. Demikian pula halnya dengan Hukum Kewarisan Islam sebagai sub-sistem
dari sistem hukum keluarga harus memiliki sifat, asas, dan gaya yang sama
dengan Hukum Perkawinan.
Selain itu dalam pengajaran Hukum Waris
pun terdapat berbagai Mahdzab, seperti halnya pada bidang-bidang lain.
Perbedaan ini terjadi karena faktor sejarah, tata berbeda-beda. Demikian pula
dalam perkembangan hukum kewarisan Islam di Indonesia, dan juga menimbulkan
disparitas nya putusan Pengadilan Agama.
Disamping itu, corak kehidupan
masyarakat Arab yang bersifat patrilineal sangat menonjol dan mempengaruhi
pemahaman terhadap Hukum Kewarisan Islam. Hukum Kewarisan Islam yang kita
pelajari selama ini adalah hukum kewarisan yang lebih bercorak patrilineal
karena beraal dari pemahaman masyarakat Arab tempo dulu sehingga sering kali
terasa janggal dan tidak adil karena corak kehidupan masyarakat kita adalah
bilateral, sementara hukum waris yang akan diterapkan bercorak Patrilineal. Keadaan
yang demikian ini sangat dirasakan oleh Mahkamah Agung RI. Sebagai Pengadilan
Negara tertinggi yang bertugas membina jalannya peradilan dari semua lingkungan
peradilan, termasuk disini adalah Peradilan Agama. Sejak dikeluarkannya
Undang-Undang No.7, Tahun 1989, tentang Peradilan Agama, dimana kekuasaan
Pengadilan Agama untuk memeriksa, mengadili, serta menyelesaikan sengketa waris
dipulihkan kembali, maka kebutuhan terhadap hukum waris yang jelas, rinci,
mudah dan pasti serta sesuai dengan tata kehidupan masyarakat Islam Indonesia
yang bilateral semakin terasa mendesak.
Pengertian Dan Istilah Hukum Waris Adat
Di Indonesia ada tiga sistim hukum yang mengatur masalah pewarisan, yaitu hukum islam, hukum barat dan hukum adat. Masing-masing sistim hukum tersebut mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri. Hukum waris adat mempunyai corak dan sifat-sifat yang khas bangsa Indonesia, sebagaimana yang dinyatakan oleh Hilman Hadikusuma :
Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat yang khas Indonesia, yang berbeda dari hukum islam maupun hukum barat. Sebab perbedaannya terletak dari latar belakang alam pikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang bhineka tunggal ika. Latar belakang itu pada dasarnya adalah kehidupan bersama yang bersifat tolong-menolong guna mewujudkan dan kedamaian di dalam hidup. ( Hilman Hadikusumah, 1983 : hlm.19)
Selain itu hukum waris adat merupakan suatu peraturan yang mengatur masalah pewarisan adat. Sebagaimana dinyatakan oleh Soepomo. Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak terwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya.( R.Soepomo, 1980 : hlm.81-82 ).
Di Indonesia ada tiga sistim hukum yang mengatur masalah pewarisan, yaitu hukum islam, hukum barat dan hukum adat. Masing-masing sistim hukum tersebut mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri. Hukum waris adat mempunyai corak dan sifat-sifat yang khas bangsa Indonesia, sebagaimana yang dinyatakan oleh Hilman Hadikusuma :
Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat yang khas Indonesia, yang berbeda dari hukum islam maupun hukum barat. Sebab perbedaannya terletak dari latar belakang alam pikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang bhineka tunggal ika. Latar belakang itu pada dasarnya adalah kehidupan bersama yang bersifat tolong-menolong guna mewujudkan dan kedamaian di dalam hidup. ( Hilman Hadikusumah, 1983 : hlm.19)
Selain itu hukum waris adat merupakan suatu peraturan yang mengatur masalah pewarisan adat. Sebagaimana dinyatakan oleh Soepomo. Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak terwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya.( R.Soepomo, 1980 : hlm.81-82 ).
Hukum waris tidak saja terdapat dalam hukum adat, tetapi
juga terdapat dalam hukum islam dan hukum barat. Hal ini bukan saja akibat
adanya pembagian dalam pasal 163 dan pasal 131 I.S., tetapi kenyataannya
sekarang masih terasa dan terdapat pembagian itu. Untuk membedakan hukum waris dalam satu
sistim hukum dengan hukum waris dalam sistim hukum lainnya, maka dalam hal ini
digunakan istilah hukum waris adat. Istilah waris belum ada kesatuan arti, baik
yang ditemui dalam kamus hukum maupun sumber lainnya. Istilah waris ada yang mengartikan
dengan “harta peninggalan, pusaka atau hutang piutang yang ditinggalkan oleh
seorang yang meninggal dunia seluruh atau sebagian menjadi hak para ahli waris
atau orang yang ditetapkan dalam surat wasiat”. Selain itu ada yang mengartikan
waris “yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal”.
Nampak ada
perbedaan, disatu pihak mengartikan istilah waris dengan harta peninggalan dan
dipihak lain mengartikan dengan orang yang berhak menerima harta peninggalan
tersebut. Adanya perbedaan pendapat ini menunjukkan belum adanya keseragaman
dalam bahasa hukum kita.
Untuk mendapatkan suatu pengertian yang jelas perlu adanya kesatuan pendapat tentang suatu istilah tersebut. Untuk mencapai itu, usaha yang dilakukan adalah menelusuri secara etimologi.
Istilah waris berasal dari bahasa Arab yang diambil alih menjadi bahasa Indonesia, yaitu berasal dari kata “warisa” artinya mempusakai harta, “waris artinya ahli waris, waris”. Waris menunjukkan orang yang menerima atau mempusakai harta dari orang yang telah meninggal dunia. Hal ini juga dapat dilihat dari “Sabda Nabi Muhammad SAW. : Ana warisu manla warisalahu artinya saya menjadi waris orang yang tidak mempunyai ahli waris (H.R Ahmad dan Abu Daud)”.
Untuk mendapatkan suatu pengertian yang jelas perlu adanya kesatuan pendapat tentang suatu istilah tersebut. Untuk mencapai itu, usaha yang dilakukan adalah menelusuri secara etimologi.
Istilah waris berasal dari bahasa Arab yang diambil alih menjadi bahasa Indonesia, yaitu berasal dari kata “warisa” artinya mempusakai harta, “waris artinya ahli waris, waris”. Waris menunjukkan orang yang menerima atau mempusakai harta dari orang yang telah meninggal dunia. Hal ini juga dapat dilihat dari “Sabda Nabi Muhammad SAW. : Ana warisu manla warisalahu artinya saya menjadi waris orang yang tidak mempunyai ahli waris (H.R Ahmad dan Abu Daud)”.
Dalam hukum adat istilah waris lebih luas artinya dari arti asalnya, sebab terjadinya waris tidak saja setelah adanya yang meninggal dunia tetapi selagi masih hidupnya orang yang akan meninggalkan hartanya dapat mewariskan kepada warisnya.
Hukum waris adat atau ada yang menyebutnya dengan hukum adat waris adalah hukum adat yang pada pokoknya mengatur tentang orang yang meninggalkan harta atau memberikan hartanya (Pewaris), harta waris (Warisan), waris (Ahli waris dan bukan ahli waris) serta pengoperan dan penerusan harta waris dari pewaris kepada warisnya.
Untuk mengetahui secara mendalam, berikut ini kemukakan pendapat dari para ahli hukum adat, seperti Ter Haar, Soepomo, Iman Sudiyat, Soerojo Wignyodipoero dan Hilman Hadikusuma.
Menurut Ter Haar BZN :
…hukum waris adat itu meliputi aturan-aturan hukum yang bertalian dengan proses dari abad ke abad yang menarik perhatian, ialah proses penerusan dan peralihan kekayaan material dan immateriel dari turunan keturunannya.
Menurut Soepomo :
Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang yang tidak terwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya.
Menurut Soerojo Wignyodipoero :
Hukum adat waris meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil yang manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta sekaligus juga mengatur saat, cara dan proses peralihannya.( Soerojo Wignyodpoero, 1985 : 161)
Menurut Iman Sudiyat :
Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerus / pengoperan dan peralihan /perpindahan harta kekayaan materiil dan immateriil dari generasi ke generasi.
Menurut Hilman Hadikusuma :
…hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistim dan azas-azas hukum waris tentang warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris.
Dari beberapa pendapat di atas terdapat suatu kesamaan bahwa, hukum waris adat yang mengatur penerusan dan pengoperan harta waris dari suatu generasi keturunannya. Hal ini menunjukkan dalam hukum adat untuk terjadinya pewarisan haruslah memenuhi 4 unsur pokok, yaitu :
1. adanya Pewaris;
2. adanya Harta Waris;
3. adanya ahli Waris; dan
4. Penerusan dan Pengoperan harta waris.
A.
Pengertian Ilmu Mawaris
Kata Al Mawarits adalah jamak dari kata Mirots, yaitu harta peninggalan dari orang yang meninggal untuk ahli warisnya.
Orang yang meninggalkan harta tersebut dinamakan Al Muwaaritsu, sedang ahli waris disebut dengan Al-Warits. Al Faraidh adalah kata jamak bagi al fariidhoh artinya bagian yang ditentukan kadarnya. Perkataan Al-Fardhu, sebagai suku kata dari lafad fariidhoh.Fara’idh dalam arti mawaris, hukum waris mewaris. Dimaksud sebagai bagian atau ketentuan yang diperoleh oleh ahli waris menurut ketentuan syara’.
Kata Al Mawarits adalah jamak dari kata Mirots, yaitu harta peninggalan dari orang yang meninggal untuk ahli warisnya.
Orang yang meninggalkan harta tersebut dinamakan Al Muwaaritsu, sedang ahli waris disebut dengan Al-Warits. Al Faraidh adalah kata jamak bagi al fariidhoh artinya bagian yang ditentukan kadarnya. Perkataan Al-Fardhu, sebagai suku kata dari lafad fariidhoh.Fara’idh dalam arti mawaris, hukum waris mewaris. Dimaksud sebagai bagian atau ketentuan yang diperoleh oleh ahli waris menurut ketentuan syara’.
Ilmu Fara’idh
dapat didefiniskan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang
ketentuan-ketentuan harta pusaka bagi ahli waris.
Definisi inipun berlaku juga bagi Ilmu Mawarits, sebab ilmu mawarits adalah nama lain bagi Ilmu Fara’idh.
Untuk mengetahui siapa-siapa yang memperoleh harta waris, maka perlu diteliti terlebih dahulu ahli-ahli waris yang ditinggalkan. Akemudian baru ditetapkan, siapa diantara mereka yang mendapat bagian dan yang tidak mendapat bagian.
Definisi inipun berlaku juga bagi Ilmu Mawarits, sebab ilmu mawarits adalah nama lain bagi Ilmu Fara’idh.
Untuk mengetahui siapa-siapa yang memperoleh harta waris, maka perlu diteliti terlebih dahulu ahli-ahli waris yang ditinggalkan. Akemudian baru ditetapkan, siapa diantara mereka yang mendapat bagian dan yang tidak mendapat bagian.
Sumber hukum
Islam tentang waris adalah asal hukum islam tentang waris. Sumber Hukum Islam
tersebut adalah :
1. Al Qur’an
2. As Sunah
3. Ijma’
4. ijtihad
.
A. Hukum Mempelajari dan Mengajarkan Ilmu Fara’idh Serta Kepentingannya Dalam Pembinaan Keluarga
1. Al Qur’an
2. As Sunah
3. Ijma’
4. ijtihad
.
A. Hukum Mempelajari dan Mengajarkan Ilmu Fara’idh Serta Kepentingannya Dalam Pembinaan Keluarga
Hukum
mempelajari Ilmu Fara’idh adalah fardhu kifayah, artinya bila sudah ada satu
orang yang mempelajarinya maka gugurlh kewajiban itu bagi orang lain. Begitu
juga dalam mengajarkannya. Begitu pentingnya Ilm Fara’idh, smpai dikatakan oleh
Nabi Muhammad SAW sebagai separoh ilmu. Disamping itu oleh Beliau diingatkan
bahwa ilmu inilah yang pertama kali akan dicabut. Artinya, pada kenyataannya
hingga sekarang tidak banyak orang yang mempelajari Ilmu Fara’idh, karene
memang sukar dan dikhawatirkan Ilmu ini lama kelamaan akan lenyap juga, karena
sedikit yang mempelajarinya . Lebih-lebih apabila orang akan membagi harta
warisannya berdsarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan dan tidak berdasarkan hukum
Alloh SWT.
Nabi Muhammad SAW bersabda :
Nabi Muhammad SAW bersabda :
Artinya :
“Pelajarilah Al-Fara’idh dan ajarkanlah ia kepada orang-orang. Sesungguhnya
ilmu fara’idh itu separoh ilmu, dan iapun akan dilupakan serta iapun merupakan
ilmu yang pertama kali akan dicabut di kalangan umatku. (HR. Ibnu Majah dan Ad
Daruquthniy).
Masalah harta
peninggalan biasanya menjadi sumber sengketa dalam keluarga. Terutama apabila
menentukan siapa yang berhak dan siapa yang tidak berhak menerima. Dan juga
seberapa banyak haknya. Hal ini mnimbulkan perselisihan dan akhirnya
menimbulkan keretakan kekeluargaan. Orang ingin berlaku seadil-adilnya, tetepi
belum tentu orang lain menganggap adil.
Oleh karena itu, didalam Islam memberikan ketentuan-ketentuan yang konkret mengenai hak waris. Sehingga apabila dilandasi ketaqwaan kepada Alloh SWT semuanya akan berjalan lancar dan tidak akan menimbulkan sengketa, bahkan kerukunan keluargapun akan tercapai. Ketentuan dari Alloh SWT itu sudah pasti. Bagian-bagian dari siapa yang mendapatkan sudah ditentukan . Semua kebijaksanaan dalam hal ini adalah dari Alloh SWT. Disamping itu, adalah kewajiban umat Islam untuk mengetahui ketentuan-ketentuan yang telah diberikan oleh Alloh SWT.
Nabi Muhammad SAW bersabda :
Oleh karena itu, didalam Islam memberikan ketentuan-ketentuan yang konkret mengenai hak waris. Sehingga apabila dilandasi ketaqwaan kepada Alloh SWT semuanya akan berjalan lancar dan tidak akan menimbulkan sengketa, bahkan kerukunan keluargapun akan tercapai. Ketentuan dari Alloh SWT itu sudah pasti. Bagian-bagian dari siapa yang mendapatkan sudah ditentukan . Semua kebijaksanaan dalam hal ini adalah dari Alloh SWT. Disamping itu, adalah kewajiban umat Islam untuk mengetahui ketentuan-ketentuan yang telah diberikan oleh Alloh SWT.
Nabi Muhammad SAW bersabda :
Artinya
:”Bagilah harta benda diantara ahli-ahli waris menurut Kitabulloh. (HR. Muslim
Dan Abu Dawud).
Disamping itu Alloh berfirman :
Disamping itu Alloh berfirman :
Artinya : “ Dan
siapa yang melanggar Alloh dan Rosul-Nya melampaui batas ketentuannya, Alloh
akan memasukannya kedalam api neraka, ia kekal disitu, dan iapun mendapatkan
siksa yang menghinakan. (QS. An-Nisa : 14).
Dengan demikian
semuanya termasuk apabila terdapat perselisihan, di kembalikan kepada Alloh SWT
dan Rosul-Nya. Sehingga tidak ada celah-celah untuk saling sengketa dan
bertengkar. Dan karena itu kekeluargaan dan hubungan kefamilian tetap terbina
dengan baik serta rukun dan tenteram. Di dalam hal ini, Islam memberikan
prinsip-prinsip antara lain :
1) Kepentingan dan keinginan orang yang meninggal (yang semula memiliki harta benda) diperhatikan selayaknya, dengan memberikan hak wasiat, biaya pemakaman dan sebagainya.
2) kepentingan keluargayang ditinggal. Terutama anak cucu mendapatkan perhatian lebih banyak, juga ayah ibu, disamping anggota keluarga yang lain. Seimbang dengan jauh dekatnya hubungan keluarga.
3) Keseimbangan kebutuhan nyata dan rata-rata dari tiap-tiap ahli waris mendapat perhatian yang seimbang pula, ahli waris pria yang nyatanya memerlukan lebih banyak biaya hidup bagi diri dan keluarganya mendapat bagian lebih banyak dari ahli waris wanita.
4) Beberapa hal yang berhubungan dengan kesalahan-kesalahan ahli waris dan yang berhubungan dengan itikad keagamaan, bisa menimbulkan akibat hilangnya hak waris, umpamanya pembunuhan, perbedaan agama dan sebagainya.
1) Kepentingan dan keinginan orang yang meninggal (yang semula memiliki harta benda) diperhatikan selayaknya, dengan memberikan hak wasiat, biaya pemakaman dan sebagainya.
2) kepentingan keluargayang ditinggal. Terutama anak cucu mendapatkan perhatian lebih banyak, juga ayah ibu, disamping anggota keluarga yang lain. Seimbang dengan jauh dekatnya hubungan keluarga.
3) Keseimbangan kebutuhan nyata dan rata-rata dari tiap-tiap ahli waris mendapat perhatian yang seimbang pula, ahli waris pria yang nyatanya memerlukan lebih banyak biaya hidup bagi diri dan keluarganya mendapat bagian lebih banyak dari ahli waris wanita.
4) Beberapa hal yang berhubungan dengan kesalahan-kesalahan ahli waris dan yang berhubungan dengan itikad keagamaan, bisa menimbulkan akibat hilangnya hak waris, umpamanya pembunuhan, perbedaan agama dan sebagainya.
Prinsip-prinsip tersebut dibuat dengan maksud :
a) Harta benda yang merupakan Rahmat Alloh itu diatur menurut ajaran-Nya.
b) Harta benda yang didapat dengan susah payah oleh almarhum tidak menimbulkan percekcokan keluarga yang hanya tinggal menerima saja.
c) Harta benda itu dapat dimanfaatkan dengan tenang, tenteram, sesuai dengan tuntunan Alloh SWT.
a) Harta benda yang merupakan Rahmat Alloh itu diatur menurut ajaran-Nya.
b) Harta benda yang didapat dengan susah payah oleh almarhum tidak menimbulkan percekcokan keluarga yang hanya tinggal menerima saja.
c) Harta benda itu dapat dimanfaatkan dengan tenang, tenteram, sesuai dengan tuntunan Alloh SWT.
Jadi, hukum
waris harus dilaksanakan, kecuali kalau semua ahli waris sepakat dengan
sukarela untuk membagi harta warisan berdasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan
tidak dengan maksud untuk menentang hukum Alloh SWT, tetapi ada sebab-sebab
lain, misalnya : harta waris diberikan kepada Ibu yang sudah tua dengan bagian
terbanyak, dan sebagainya. Meskipun demikian, Islam tidak menutup pintu
perdamaian antara seluruh ahli waris yang secara sepakat untuk mengatur
pembagian harta warisan berdasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan. Juga setiap
ahli waris berhak meminta atau menerima pembagian harta waris karena kesukarelaannya
sendiri.
Pembagian harta
warisan dalam masyarakat jahiliyah (sebelum Islam dating) didasarkan atas nasab
dan kekerabatan. Dan itu hanya diberikan kepada keluarga yang laki-laki saja,
yaitu lelaki yang sudah dapat memanggul senjata untuk mempertahankan kehormatan
keluarga, dan melakukan peperangan serta merampas harta peperangan. Orang-orang
perempuan dan anak-anak tidak mendapat warisan. Bahkan orang-orang perempuan,
yaiti isteri ayah atau isteri saudara dijadikan harta pusaka. Kekerabatan
lelaki inilah yang menjadi syarat bagi waris-mewaris dizaman jahiliyah.
Termasuk janji atau pengangkatan bersaudara dan juga pengangkatan anak.
Orang yang
telah melakukan perjanjian, apabila salah seorang meninggal, yang hidup berhak
seperenam dari harta pusakanya, dan baru sisany adibagi diantara ahli warisnya.
Orang mewarisi berdasarkan janji inipun adalah orang laki-laki. Sama seperti
waris-mewaris dikalangan kerabat sendiri. Waris-mewaris dari persaudaraan yang
seperti itu hanya untuk lelaki dan apabila sudah dewasa. Pengangkatan anak
berlaku dikalangan jahiliyah. dan apabila sudah dewasa, si anak angkat
mempunyai hak sepenuh-penuhnya sebagaimana disyaratkan oleh bapak yang
mengangkatnya. Dan karena itu apabila ba[pak angkat meninggal, maka anak ankat
mempunyai hak mawaris sepenuhpenuhnya atas harta benda bapak angkatnya.
Pengangkatan
anak pernah terjadi pada Nabi Muhammad SAW. Mengangkat Zaid bin Muhammad,
sebagai anak angkatnya setelah ia dibebaskan dari perbudakan. Karena angnkatnya
dianggap sama dengan anak kandung, pada saat itu penisbatananak angkat tidak
pada ayah yang sebenarnya, tetapi kepada ayah angkatnya. Itu sebabnya tidak
disebut Zaid bi Harits, tetapi Zaid bin Muhammad. Tetapi didalam
perkembangannya, masalah pengangkatan anak ini dihapus oleh Islam dan
pengangkatan anak tidak menyebabkan si anak angkat berkedudukan sebagai anak
kandung. Ia tetap sebagai orang lain.
C. Rukun
kewarisan, sebab-sebab kewarisan dan penghalang-penghalang kewarisan
a. Rukun-rukun waris
Rukun-rukun waris itu ada tiga :
1) Muwarrits
Yaitu orang yang mewariskan dan meninggal dunia. Baik meninggal dunia secara hakiki, atau akarena keputusan hakim dinyatakan mati berdasarkan beberapa sebab.
2) Mauruts
Yaitu harta peninggalan si mati yang akan dipusakai setelah dikurangi biaya perawatan , hutang-hutang, zakat dan setelah digunakan untuk melaksanakan wasiat. Harta pusaka disebut juga Mirots, Irts, Turots Dan Tarikah.
3) Warits
Yaitu orang yang akan mewarisi, yang akan mempunyai hubungan dengan si Muwarits, baik hubungan itu karena hubungan itu kekeluargaan atau perkawinan.
Mengenai rukun kewarisan, ada yang memerlukan penjelasan yang rinci, sehingga memudahkan memahami uraian selanjutnya.
a. Rukun-rukun waris
Rukun-rukun waris itu ada tiga :
1) Muwarrits
Yaitu orang yang mewariskan dan meninggal dunia. Baik meninggal dunia secara hakiki, atau akarena keputusan hakim dinyatakan mati berdasarkan beberapa sebab.
2) Mauruts
Yaitu harta peninggalan si mati yang akan dipusakai setelah dikurangi biaya perawatan , hutang-hutang, zakat dan setelah digunakan untuk melaksanakan wasiat. Harta pusaka disebut juga Mirots, Irts, Turots Dan Tarikah.
3) Warits
Yaitu orang yang akan mewarisi, yang akan mempunyai hubungan dengan si Muwarits, baik hubungan itu karena hubungan itu kekeluargaan atau perkawinan.
Mengenai rukun kewarisan, ada yang memerlukan penjelasan yang rinci, sehingga memudahkan memahami uraian selanjutnya.
Mauruts
(tirkah, tarikah, warisan) ialah sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang
meninggal dunia, yang dibenarkan dipusakai menurut ketentuan Hukm Islam. Harta
peninggalan itu harus dipahami dengan pengertian yang luas. Didalamnya tercakup
:
1. harta benda
yang mempunyai nilai kebendaan
kedalam kelompok ini termasuk benda-benda yang tetap, benda-benda bergerak, piutang-piutang Orang yang meninggal, surat-surat berharga, dan lain-lain yang dipandang sah menjadi miliknya.
kedalam kelompok ini termasuk benda-benda yang tetap, benda-benda bergerak, piutang-piutang Orang yang meninggal, surat-surat berharga, dan lain-lain yang dipandang sah menjadi miliknya.
2. hak-hak
kebendaan kedalam
kedalam kelompok ini termasuk hak monopoli untuk memungut hasil dari jalan lalu lintas, sumber air minum dan lain-lainnya.
kedalam kelompok ini termasuk hak monopoli untuk memungut hasil dari jalan lalu lintas, sumber air minum dan lain-lainnya.
3. Benda-benda
yang ada ditangan orang lain
Termasuk kedalam kelompok ini ialah seperti, barang gadaian dan barang yang sudah dibeli dari orang lain tetapi belum diserah terimaan kepada orang yang sudah meninggal itu.
Termasuk kedalam kelompok ini ialah seperti, barang gadaian dan barang yang sudah dibeli dari orang lain tetapi belum diserah terimaan kepada orang yang sudah meninggal itu.
4. Hak-hak yang
bukan benda
Termasuk kedalam kelompok adalah seperti hak syuf’ah (hak beli yang diutamakan bagi tetangga, serikat) dan memanfaatkan barang yang diwasiatkan atau yang diwakafkan.
Termasuk kedalam kelompok adalah seperti hak syuf’ah (hak beli yang diutamakan bagi tetangga, serikat) dan memanfaatkan barang yang diwasiatkan atau yang diwakafkan.
Mengenai harta
warisan ini, para ulama berbeda pendapat dalam memberi takrif (definisinya).
a. Fuqaha Hanafiyah
Dikalangan Fuqaha hanafiyah sendiri ada tiga pendapat :
1) Sebagian mereka berpendapat, bahwa harta peninggalan itu tidak mempunyai ha dengan orang lain. Dengan demikian, harta warisan menurut kelompok ini hanya kelompok harta benda yang mempunyai nilai kebendaan dan hak-hak kebendaan.
2) Sebagian mereka berpendapat bahwa harta warisan itu adalah sisa harta sesudah diambil biaya perawatan, jenazah dan pelunasan hutang.
3) Sebagian mereka berpendapat, bahwa harta warisa itu diartikan secara mutlak, yaitu apa saja yang dianggap menjadi milik orang yang meninggal itu.
b. Ibnu Hazm
Ibnu Hazm berpendapat bahwa harta yang dapat dijadikan warisan hanya harta benda saja, tidak termasuk hak-hak dari orang yang maeninggal itu.
c. Fuqaha Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanbaliyah
Ulama-ulama tersebut berpendapat bahwa semua peninggalan, baik berupa benda maupun bukan benda termasuk kedalam tirkah atau warisan.
a. Fuqaha Hanafiyah
Dikalangan Fuqaha hanafiyah sendiri ada tiga pendapat :
1) Sebagian mereka berpendapat, bahwa harta peninggalan itu tidak mempunyai ha dengan orang lain. Dengan demikian, harta warisan menurut kelompok ini hanya kelompok harta benda yang mempunyai nilai kebendaan dan hak-hak kebendaan.
2) Sebagian mereka berpendapat bahwa harta warisan itu adalah sisa harta sesudah diambil biaya perawatan, jenazah dan pelunasan hutang.
3) Sebagian mereka berpendapat, bahwa harta warisa itu diartikan secara mutlak, yaitu apa saja yang dianggap menjadi milik orang yang meninggal itu.
b. Ibnu Hazm
Ibnu Hazm berpendapat bahwa harta yang dapat dijadikan warisan hanya harta benda saja, tidak termasuk hak-hak dari orang yang maeninggal itu.
c. Fuqaha Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanbaliyah
Ulama-ulama tersebut berpendapat bahwa semua peninggalan, baik berupa benda maupun bukan benda termasuk kedalam tirkah atau warisan.
b. Sebab-sebab
kewarisan
Seseorng tidak mendapatkan warisan kecual karena salah satu sebab dari sebab-sebab berikut ini :
1) Nasab
Yaitu kekerabatan. Artinya, Ahli waris ialahayah dari pihak yang diwarisi atau anak-anaknya. Dan jalur sampingnya seperti saudara-saudara beserta anak-anak mereka dan paman-paman dari jalur ayah beserta anak-anak mereka, jarena Alloh SWT berfirman yang artinya : “ Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami menjadikan pewaris-pewarisnya.” (QS. An-Nisa : 33).
Seseorng tidak mendapatkan warisan kecual karena salah satu sebab dari sebab-sebab berikut ini :
1) Nasab
Yaitu kekerabatan. Artinya, Ahli waris ialahayah dari pihak yang diwarisi atau anak-anaknya. Dan jalur sampingnya seperti saudara-saudara beserta anak-anak mereka dan paman-paman dari jalur ayah beserta anak-anak mereka, jarena Alloh SWT berfirman yang artinya : “ Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami menjadikan pewaris-pewarisnya.” (QS. An-Nisa : 33).
2) Pernikahan
Yaitu akad yang benar terhadap isteri, kendati suaminya belum menggauli dan belum berduaan dengannya. Karena Alloh SWT berfirman yang artinya : “Dan bagi kalian (suami-suami) seperdua dari harta yang ditingalkan oleh isteri-isteri kalian.” (QS. An-Nisa : 12)
Yaitu akad yang benar terhadap isteri, kendati suaminya belum menggauli dan belum berduaan dengannya. Karena Alloh SWT berfirman yang artinya : “Dan bagi kalian (suami-suami) seperdua dari harta yang ditingalkan oleh isteri-isteri kalian.” (QS. An-Nisa : 12)
3) Wala’
Yaitu seseorang memerdekakan budak laki-laki atau perempuan. Dan dengan ia memerdekakannya, maka kekerabatan budak tersebut menjadi miliknya. Jadi, jika budak yang ia merdekakan meninggal dunia tanpa meninggalkan ahli waris, maka hartyanya diwariskan kepada orang yang memerdekakannya. Karena Rosululloh SAW bersabda :
Yaitu seseorang memerdekakan budak laki-laki atau perempuan. Dan dengan ia memerdekakannya, maka kekerabatan budak tersebut menjadi miliknya. Jadi, jika budak yang ia merdekakan meninggal dunia tanpa meninggalkan ahli waris, maka hartyanya diwariskan kepada orang yang memerdekakannya. Karena Rosululloh SAW bersabda :
“Wala’ itu
milik orang yang memerdekakannya.” (Muttafaq‘Alaih).
D. Penghalang-Penghalang Warisan
Bisa jadi, sebab-sebab warisan itu ada, namun sebab-sebab tersebut dihalang-halangi oleh penghalang hingga seseorang tidak dapat mewarisi dri pihak lain.
Penghalang-penghalang warisan tersebut adalah :
1) Kekafiran
Kerabat yang Muslim tidak bias mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak bias mewarisi kerabat yang Muslim. Rosululloh bersabda :
D. Penghalang-Penghalang Warisan
Bisa jadi, sebab-sebab warisan itu ada, namun sebab-sebab tersebut dihalang-halangi oleh penghalang hingga seseorang tidak dapat mewarisi dri pihak lain.
Penghalang-penghalang warisan tersebut adalah :
1) Kekafiran
Kerabat yang Muslim tidak bias mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak bias mewarisi kerabat yang Muslim. Rosululloh bersabda :
“Orang kafir
tidak bisa mewarisi orang Muslim dan orang Muslim tidak bisa mewarisi orang
kafir.” (Muttafaq ‘Alaih).
2) Pembunuhan
Pembunuh tidak bisa mewarisi orang yang dibunuhnya sebagai hukuman atas pembunuhannya tersebut. Dan itu jika pembunhan tersebut dilakukan dengan sengaja. Rosululloh SAW bersabda :
Pembunuh tidak bisa mewarisi orang yang dibunuhnya sebagai hukuman atas pembunuhannya tersebut. Dan itu jika pembunhan tersebut dilakukan dengan sengaja. Rosululloh SAW bersabda :
“Pembunuh tidak
berhak atas sesuatu apapun dari harta peninggalan orang yang dibunuhnya.”
(Diriwayatkan Ibnu Abdilbar dan Ia menshahihkannya)
Menurut ulama
Hanafiyah, pembunuhan yang menghalangi memperoleh harta warisan adalah pembunuhan
yang bersanksi Qishas dan yang bersanksi kaffaroh.
Pembunuhan yang bersanksi Qishas ialah pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja untuk membunuh dengan mempergunakan alat-alat yang mematikan.
Alloh berfirman :
Pembunuhan yang bersanksi Qishas ialah pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja untuk membunuh dengan mempergunakan alat-alat yang mematikan.
Alloh berfirman :
Artinya : “
Wahai orang-orang yang beriman, Alloh telah menentukan kepadamu sekalian
dipidana dengan Qishas atau pembunuhan………. (QS. Al Baqoroh :178).
Alloh juga
berfirman :
Artinya :
“Siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, balasannya adalah neraka
jahanam, kekal disana. (QS. An Nisa : 93 ).
Adapun pembunuhan bersanksi kaffaroh ialah pembunuhanyang dipidana berupa membebaskan budak yang islam atau berpuasa selama dua bulan berturut-turut.
Pembunuhan yang bersanksi kaffaroh ada tiga macam :
Ø Syibhul ‘amdi (serupa atau mirip dengan sengaja).
Ø Qatlul Khoto’i (membunuh karena keliru).
Ø Al-Jari majrol Khoto’i (membunuh yang dianggap keliru).
Ulama Syafi’iyah berpendapat tidak membeda-bedakan antara penbunuh dengan sengaja atau tidak sengaja sebagai penghalang memperoleh warisan. Segala macam pembunuhan dianggap sebagai penghalang untuk memperoleh warisa. Bahkan apabila si pembunuh lantaran melakukan tugas Qishas dan kepala Negara melakukan tugas itu, hakim yang memutuskan pidana mati, saksi yag menjadi saksi dan lantaran kesaksiannya terjadi pelenyepan nyawa seseorang. Semua keadaan dan perbuatan terssebut menjadi penghalang untuk memperoleh harta warisan.
Adapun pembunuhan bersanksi kaffaroh ialah pembunuhanyang dipidana berupa membebaskan budak yang islam atau berpuasa selama dua bulan berturut-turut.
Pembunuhan yang bersanksi kaffaroh ada tiga macam :
Ø Syibhul ‘amdi (serupa atau mirip dengan sengaja).
Ø Qatlul Khoto’i (membunuh karena keliru).
Ø Al-Jari majrol Khoto’i (membunuh yang dianggap keliru).
Ulama Syafi’iyah berpendapat tidak membeda-bedakan antara penbunuh dengan sengaja atau tidak sengaja sebagai penghalang memperoleh warisan. Segala macam pembunuhan dianggap sebagai penghalang untuk memperoleh warisa. Bahkan apabila si pembunuh lantaran melakukan tugas Qishas dan kepala Negara melakukan tugas itu, hakim yang memutuskan pidana mati, saksi yag menjadi saksi dan lantaran kesaksiannya terjadi pelenyepan nyawa seseorang. Semua keadaan dan perbuatan terssebut menjadi penghalang untuk memperoleh harta warisan.
Menurut Ulama
Hanbaliyah, semua pembunuhan yang mengakibatkan Qishas seperti pembunuhan yang
disengaja dan pembunuhan yang menyebabkan diyat, seperti pembunuhan yang tidak
disengaja dan serupa dengan sengaja. Demikian juga pembunuhan yang menyebabkan
kaffaroh, seperti pembunuhan keluarga muslim yang berjuang dalam barisan orang
kafir yang menjadi musuh perang umat islam tanpa diketahui kalau mereka itu
muslim, semua itu menghalangi untuk memperoleh warisan. Sedang pembunuhan yang
tidak menyebabkan sesuatu seperti pembunuhan yang dibenarkan oleh agama,
tidaklah menghalangi untuk memperoleh harta warisan.
Sedangkan
menurut Ulama Malikiyah hanya mengenal dua macam pembunuhan. Yaitu pembunuhan
yang disengaja dan yang tidak disengaja. Apabila si pembunuh berniat membunuh,
pembunuhan itu dikategorikan yang disengaja. Dan apabila tidak dimaksud untuk
membunuh, pembunuhan itu yang tidak disengaja. Jadi, maksud dan niat itulah
yang penting. Tidak peduli apakah pembunuhan itu langsung atau tidak langsung
(tasabbub), oleh orang yang berakaal maupun gila, dan ssebagainya. Asal memang
ada maksud, tentulah itu pembunuhan yang disengaja.
Pembunuhan yang
sengaja itu menghalangi seseorang untuk memperolah harta wariasan. Dan
pembunuhan tidak langsung, asal itu sudah ada niat juga menjadi penghalang
untuk memperolah warisan.
3) Perbudakan
Budak tidak bisa mewarisi dan tidak bisa diwarisi. Baik itu budak sempurna atau orang yang diperbudak sebagian seperti budak Mukatib (budak yang dalam proses kemerdekaan dirinya dengan membayar sejumlah uang kepada pemiliknya), atau ibu dari anak majikan (karena majikan menggauli budak wanita tersebut hingga melahirkan anak), karena mereka semua dalam cakupan perbudakan. Sebagian ulama mengecualikan orang yang diperbudak sebagian bahwa ia bisa mewarisi dan bisa diwarisi sesuai dengan kemerdekaan yang dimilikinya, berdasarkan hadits dari Abdulloh bin Al-Abbas RA bahwa Rosululloh SAW bersabda tentang budak yang dimerdekakan sebagiannya.
Budak tidak bisa mewarisi dan tidak bisa diwarisi. Baik itu budak sempurna atau orang yang diperbudak sebagian seperti budak Mukatib (budak yang dalam proses kemerdekaan dirinya dengan membayar sejumlah uang kepada pemiliknya), atau ibu dari anak majikan (karena majikan menggauli budak wanita tersebut hingga melahirkan anak), karena mereka semua dalam cakupan perbudakan. Sebagian ulama mengecualikan orang yang diperbudak sebagian bahwa ia bisa mewarisi dan bisa diwarisi sesuai dengan kemerdekaan yang dimilikinya, berdasarkan hadits dari Abdulloh bin Al-Abbas RA bahwa Rosululloh SAW bersabda tentang budak yang dimerdekakan sebagiannya.
“Ia berhak
mewarisi dan siwarisi sesuai dengan apa yang telah dimerdekakan darinya.”
4) Zina
Hasil zina tidak bisa mewarisi ayahnya dan tidak bisa diwarisi ayahnya. Ia hanya bisa mewarisi Ibunya dan diwarisi ibunya. Rosululloh SAW bersabda :
Hasil zina tidak bisa mewarisi ayahnya dan tidak bisa diwarisi ayahnya. Ia hanya bisa mewarisi Ibunya dan diwarisi ibunya. Rosululloh SAW bersabda :
“Anak itu milik
ranjang (maksudnya pemilik ranjang, yaitu suami) dan pezina berhak atas
kerugian.” (Muttafaq Alaih)
5) Li’an
Anak suami-isteri yang mengadakan Li’an itu tidak bisa mewarisi ayah yang tidak mengakuinya sebagai anak dan ayahnya juga tidak bisa mewarisinya. Ini diqiyaskan dengan anak hasil zina.
6) Tidak menangis waktu lahir
Anak yang dilahirkan ibunya dalam keadaan meninggal dunia dan tidak bisa menangis ketika lahir itu tidak bisa mewarisi dan tidak bisa diwarisi, karena tidak ada kehidupan yang disusul dengan kehidupan, kemudian warisan terjadi karenanya.
Anak suami-isteri yang mengadakan Li’an itu tidak bisa mewarisi ayah yang tidak mengakuinya sebagai anak dan ayahnya juga tidak bisa mewarisinya. Ini diqiyaskan dengan anak hasil zina.
6) Tidak menangis waktu lahir
Anak yang dilahirkan ibunya dalam keadaan meninggal dunia dan tidak bisa menangis ketika lahir itu tidak bisa mewarisi dan tidak bisa diwarisi, karena tidak ada kehidupan yang disusul dengan kehidupan, kemudian warisan terjadi karenanya.
Unsur-Unsur Dan Syarat Kewarisan
1. Tujuan Intruksional Khusus
Mahasiswa
dapat menjelaskan unsur-unsur kewarisan Islam.
Mahasiswa
dapat menjelaskan syarat-syarat yang berkaitan dengan unsur-unsur kewarisan.
2. Keterkitan materi dengan materi yang lain
Setelah mahasiswa mengetahui
sebab-sebab adanya hak kewarisan dalam Islam dan sebab-sebab yang menjadi
penghalang kewarisan. Maka materi selanjutnya yang relevan diberikan adalah
unsur-unsur dan syarat kewarisan yang sebelum diberikan materi kewajiban yang
berkaitan dengan harta warisan.
3. Pentingnya mempelajari isi bab
Unsur-unsur kewarisan beserta
syarat-syaratnya sangat perlu dipahami oleh mahasiswa, karena istilah-istilah
yang berkaitan dengan unsur terebut harus dipahami oleh mahasiswa seperti
muwaris, maurus dan lainya.
4. Petunjuk mempelajari isi bab
Unsur-unsur kewarisan Islam menggunakan istilah bahasa
arab, seperti muwaris, maurus dan sebagainya, sehingga akan lebih baik jika
mahasiswa membawa dan membuka kamus bahasa arab untuk memudahkan pemahaman.
Selain itu, unsur maurus sangat berkaitan dengan fikih muamalah dalam materi
benda dan hak-hak kebendaan, hendaknya mahasiswa membaca materi tersebut dalam
fikih muamalah untuk memudahkan pemahaman.
Unsur Dan Syarat Kewarisan
Dalam kewarisan
Islam terdapat tiga unsur (rukun), yaitu :
a. Maurus.
b. Muwaris.
c. Waris.
Maurus atau
miras adalah harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan
jenazah, pelunasan hutang dan pelaksanaan wasiat. Dalam hal ini yang
diamaksdukan hal tersebut adalah :
a. Kebendaan
yan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan. Misalnya benda-benda tetap,
benda-benda bergerak, piutang-piutang si mati, diyat wajibah (denda wajib) yang
dibayarkan kepadanya.
b. Hak-hak
kebendaan, seperti monopoli untuk mendayagunakan dan menarik hasil dari suatu
jalan lalu lintas, sumber air minum, irigasi dan lain sebagainya.
c. Benda-benda
yang bukan kebendaan, seperti hak khiyar dan hak syuf’ah, hak memanfaatkan barang yang diwasiatkan dan
sebagainya.
d. Benda-benda
yang bersangkutan dengan hak orang lain, seperti benda yang sedang digadaikan,
benda yang telah dibeli oleh si mati sewaktu masih hdup yang sudah dibayar tetapi
barang belum diterima.
Terhadap maurus
tersebut terdapat perbedaan pendapat sebagai berikut ;
a. Fuqaha
Hanafiyah
Menurut mereka
maurus adalah harta benda yang ditinggalkan si mati, yang tidak mempunyai
hubungan hak dengan orang lain. Sehingga yang dikatakan maurus menurut mereka
hanya apa-apa yang termasuk dalam nomor 1 dan 2 saja.
b. Ibnu Hazm
Ibnu Hazm
sependapat dengan fuqaha Hanafiyah yang menyatakan bahwa harta peninggalan yang
harus diwarisi adalah berupa aharta benda. Sedangkan yang berupa hak-hak tidak
dapat diwarisi.
c. Ulama
Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah.
Menurut mereka,
maurus adalah segala yang ditinggalkan oleh si mati, berupa harta benda maupun
hak-hak. Baik hak-hak tersebut berupa kebendaan maupun bukan kebendaan.
Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya
atau orang yang mewariskan hartanya.
Waris, adalah orang yang berhak mewarisi harta
peninggalan muwaris karena mempunyai hubungan kekerabatan baik karena hubungan
darah, hubungan sebab perkawinan atau akibat memerdekakan hamba sahaya.
Adapun
syarat-syarat terjadinya pembagian harta warisan dalam Islam adalah ;
a. Matinya
muwaris.
b. Hidupnya
waris.
c. Tidak adanya
penghalang-penghalang mewarisi.
Pertama,
Matinya muwaris
Kematian
muwaris dibedakan kepada tiga macam yaitu :
a. Mati haqiqy.
b. Mati hukmy.
c. Mati taqdiry
(menurut dugaan).
Mati haqiqy,
ialah kematian seseorang yang dapat disaksikan oleh panca indra dan dapat
dibuktikan dengan alat pembuktian.
Mati hukmy, ialah suatu kematian disebabkan adanya vonis
hakim. Misalnya orang yang tidak diketahui kabar beritanya, tidak diketahui
domisilinya, maka terhadap orang yang sedemikian hakim dapat memvonis telah
mati. Dalam hal ini harus terlebih dahulu mengupayakan pencarian informasi
keberadaannya secara maksimal.
Mati taqdiry, yaitu orang yang dinyatakan mati
berdasarkan dugaan yang kuat. Semisal orang yang tenggelam dalam sungai dan
tidak diketem,ukan jasadnya, maka orang tersebut berdasarkan dugaan kuat
dinyatakan telah mati. Contoh lain, orang yang pergi kemedan peperangan, yang
secara lahiriyah mengancam jiwanya. Setelah sekian tahun tidak diketahui kabar
beritanya, maka dapat melahirkan dugaan kuat bahwa ia telah meninggal.
Kedua, hidupnya waris.
Dalam hal ini, para ahli waris yang benar-benar hiduplah
disaat kematian muwaris, berhak mendapatkan harta peninggalan. Berkaiatan
dengan bayi yang masih berada dalam kandungan akan dibahas secara khusus.
Ketiga, Tidak ada penghalang kewariosan, sebagaimana yang
telah dijelaskan dalam hal-hal yang menjad penghalang kewarisan.
Rangkuman
Dalam kewarisan Islam, sebab-sebab yang menjadi
penghalang kewarisan adalah :
1. Unsur-unsur dalam kewarisan Islam
adalah muwaris, maurus dan waris.
2. Muwaris adalah orang yang meninggal
dan hartanya akan diwarisi. Kematian tersebut bisa didasarkan pada kematian
hakiki, hukmy atau taqdiri.
3. Maurus adalah harta yang
ditinggalkan yang diwarisi oleh ahli warisnya. Dalam hal ini terjadinya
perbedaan pendapat dalam kaitan hak-hak kebendaan atau harta yang berkaitan
dengan orang lain.
4. Waris adalah orang yang menerima
warisan atau disebut sebagai ahli waris. Dalam hal ini ahli waris yang masih
hiduplah yang berhak mendapat warisan. Sedangkan bayi dalam kandungan akan
dibahas pada fikih mawaris 2.
Ahli waris adalah
orang-orang yang mempunyai hak untuk mendapatkan bagian dari harta peninggalan
ornag yang telah meninggal. Ahli waris dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan.
Ahli waris laki-laki ada 15 orang, yaitu sebagai berikut :
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke bawah
3. Bapak
4. Kakek dari bapak dan terus ke atas
5. Saudara laki-laki sekandung
6. Saudara laki-laki sebapak
7. Saudara laki-laki seibu
8. Anak laki-laki saudara laki-laki kandung
9. Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak
10. Paman yang sekandung dengan bapak
11. Paman yang sebapak dengan bapak
12. Anak laki-laki paman yang sekandung dengan bapak
13. Anak laki-laki paman yang sebapak dengan bapak
14. Suami
15. Laki-laki yang memerdekakan pewaris.
Jika lima belas orang itu ada, maka yang dapat menerima hanya tiga, yaitu anak laki-laki, suami dan bapak
Ahli waris perempuan ada sepuluh yaitu sebagai berikut
1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan dari anak laki-laki
3. Ibu
4. Nenek dari ibu
5. Nenek dari bapak
6. Saudara perempuan kandung
7. Saudara perempuan bapak
8. Saudara perempuan seibu
9. Istri
10. Wanita yang memerdekakan pewaris
Ahli waris laki-laki ada 15 orang, yaitu sebagai berikut :
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke bawah
3. Bapak
4. Kakek dari bapak dan terus ke atas
5. Saudara laki-laki sekandung
6. Saudara laki-laki sebapak
7. Saudara laki-laki seibu
8. Anak laki-laki saudara laki-laki kandung
9. Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak
10. Paman yang sekandung dengan bapak
11. Paman yang sebapak dengan bapak
12. Anak laki-laki paman yang sekandung dengan bapak
13. Anak laki-laki paman yang sebapak dengan bapak
14. Suami
15. Laki-laki yang memerdekakan pewaris.
Jika lima belas orang itu ada, maka yang dapat menerima hanya tiga, yaitu anak laki-laki, suami dan bapak
Ahli waris perempuan ada sepuluh yaitu sebagai berikut
1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan dari anak laki-laki
3. Ibu
4. Nenek dari ibu
5. Nenek dari bapak
6. Saudara perempuan kandung
7. Saudara perempuan bapak
8. Saudara perempuan seibu
9. Istri
10. Wanita yang memerdekakan pewaris
Jika 10 orang itu ada, maka
yang mendapat warisan hanya lima orang, yaitu istri, anak perempuan, ibu, cucu
perempuan, dan saudara perempuan kandung).
Jika 25 ahli waris itu ada, maka yang bisa menerimanya hanya 5 orang, yaitu suami, istri, ibu, bapak, anak laki-laki dann anak perempuan.
Jika 25 ahli waris itu ada, maka yang bisa menerimanya hanya 5 orang, yaitu suami, istri, ibu, bapak, anak laki-laki dann anak perempuan.
Pengertian Wasiat
Wasiat ialah suatu hasrat atau
keinginan yang dizahirkan secara lisan atau bertulis oleh seseorang mengenai
hartanya untuk diuruskan selepas berlaku kematiannya. Tetapi wasiat yang dibuat
secara lisan adalah terdedah kepada fitnah akibat arahan yang tidak jelas dan
boleh dipertikaikan di kalangan ahli waris.
Dalil Wasiat
Wasiat adalah dibenarkan di dalam Islam. Wasiat
disyariatkan melalui dalil Al-Quran, Sunnah Nabi s.a.w., amalan sahabat dan
ijma' ulama'.
Dalam Al-Quran, ALLAH berfirman:
(Pembahagian itu) ialah sesudah diselesaikan wasiat oleh
simati dan sesudah dibayarkan hutangnya.
- Surah An-Nisa': 11
Dalam
Sunnah, Rasulullah s.a.w. bersabda:
Seseorang Muslim yang mempunyai sesuatu
yang boleh diwasiatkan tidak sepatutnya tidur dua malam berturut-turut
melainkan dia menulis wasiat disisinya.
- Hadis riwayat
Bukhari dan Muslim
Hadis ini menyebut kalimah 'tidak
sepatutnya' menunjukkan bahawa langkah persediaan perlu diambil oleh setiap
seorang Muslim dengan menulis wasiatnya kerana dia tidak mengetahui bila
ajalnya akan tiba. Kemungkinan kelalaiannya akan mengakibatkan segala hajatnya
tergendala dan tidak terlaksana.
Rasulullah
s.a.w. turut besabda:
Orang yang
malang ialah orang yang tidak sempat berwasiat.
- Hadis riwayat
Ibnu Majah
Sabda
Rasulullah s.a.w. lagi:
Sesiapa yang
meninggal dunia dengan meninggalkan wasiat maka dia mati di atas jalan Islam
dan mengikut sunnah. Dia mati dalam keadaan bertaqwa, bersyahadah dan dalam
keadaan diampunkan.
- Hadis riwayat
Ibnu Majah
Ciri-Ciri Wasiat Islam
Terdapat
beberapa ciri dan prinsip wasiat Islam yang perlu dipatuhi:
1. Harta
yang hendak diwasiatkan mestilah tidak lebih daripada sepertiga (1/3) daripada
harta pusaka bersih kecuali mendapat persetujuan daripada ahli-ahli waris.
2.
Penerimanya hendaklah bukan waris iaitu mereka yang tiada hak faraid ke atas
pusaka simati kecuali mendapat persetujuan daripada ahli-ahli waris yang lain.
3. Jika
penerima wasiat meninggal dunia semasa hayat pewasiat, maka wasiat tersebut
adalah terbatal.
4. Jika
penerima wasiat meninggal dunia selepas menerima wasiat dan selepas kematian
pewasiat, maka haknya boleh diwarisi oleh waris penerima.
5.
Selepas kematian pewasiat, perlu ditolak dahulu kos perbelanjaan pengkebumian
dan pembayaran hutang simati.
6. Wasiat
boleh ditarikbalik pada bila-bila masa kerana ia hanya berkuatkuasa selepas
kematian pewasiat dan wasiat tersebut perlulah dibuat secara sukarela.
ok bangat
ReplyDelete