Hukum Den Haag Dan Hukum Jenewa
(Cabang Hukum Humaniter)
A. HUKUM DEN HAAG
Hukum Den Haag merupakan ketentuan hukum humaniter
yang mengatur mengenai cara an alat berperang. Membicarakan Hukum Den Haag
berarti kita akan membicarakan hasil-hasil konferensi Perdamaian I yang
diadakan pada tahun 1899 dan konferensi perdamaian II yang diadakan pada tahun
1907.
1. Konvensi Den Haag 1899
Konvensi-konvensi
Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian I di Den Haag (18
Mei-29 Juli 1899). Konferensi ini merupakan prakarsa Tsar Nicolas II dari
Russia yang berusaha mengulangi usaha pendahulunya Tsar Alexander I yang
menemui kegagalan dalam mewujudkan suatu Konferensi Internasional di Brussel
pada tahun 1874. Ide fundamental untuk menghidupkan lagi Konferensi
Internasional yang gagal itu adalah Rencana Konsepsi Persekutuan Suci (Holy
Alliance tanggal 26 September 1815 antara Austria, Prussia dan Russia. Seperti
diketahui bahwa Quadruple Alliance yang ditandatangani oleh Austria, Prussia
dan Inggris tanggal 20 November 1815 merupakan kelanjutan dari Kongres Wina
september 1814-Juni 1815 untuk mengevaluasi kembali keadaan di Eropa setelah
Napoleon Bonaparte dikalahkan di Waterloo pada tanggal 18 Juni 1815. Untuk
melaksanakan kehendak Tsar Nicolas II itu maka pada tahun 1898 menteri Luar
Negeri Russia Count Mouravieff mengedarkan surat kepada semua kepala Perwakilan
Negara-negara yang diakreditir di St. Petersburg berupa ajakan Tsar untuk
berusaha mempertahankan perdamaian Dunia dan mengurangi persenjataan.
Konferensi
yang dimulai pada tanggal 20 Mei 1899 itu berlangsung selama 2 bulan
menghasilkan tiga konvensi dan tiga deklarasi pada tanggal 29 Juli 1899. Adapun
tiga konvensi yang dihasilkan adalah :
1. Konvensi I tentang Penyelesaian
Damai Persengketaan Internasional
2. Konvensi II TENTANG Hukum dan
Kebiasaan Perang di Darat
3. Konvensi III tentang Adaptasi Azas-azas Konvensi
Jenewa Tanggal 22 Agustus 1864 tentang hukum perang di laut.
Sedangkan tiga
deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut:
1. Melarang penggunaan peluru-peluru
dum-dum (peluru-peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutupi bagian dalam
sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia).
2. Peluncuran proyektil-proyektil dan bahan-bahan peledak
dari balon, selama jangka lima tahun yang berakhir di tahun 1905 juga
dilarang.
3. Penggunaan proyektil-proyektil yang
menyebabkan gas-gas cekik dan beracun dilarang.
2. Konvensi Den Haag 1907
Konferensi
perdamaian yang kedua diadakan pada tahun 1907. Konferensi ini secara umum
gagal dan hanya menghasilkan beberapa keputusan. Namun, bertemunya negara-negara
besar dalam konferensi ini menjadi model bagi upaya-upaya kerja sama
internasional yang dilakukan di kemudian hari di abad ke-20. Konferensi yang
kedua ini sebenarnya telah diserukan akan diadakan pada tahun 1904, atas saran
Presiden Theodore Roosevelt, tetapi ditunda karena terjadinya perang antara Rusia dan Jepang.
Konferensi Perdamaian Kedua tersebut kemudian diadakan dari tanggal 15 Juni
sampai dengan 18 Oktober 1907 untuk memperluas isi Konvensi Den Haag yang
semula, dengan mengubah beberapa bagian dan menambahkan sejumlah bagian lain,
dengan fokus yang lebih besar pada perang laut. Pihak Inggris mencoba
mengegolkan ketentuan mengenai pembatasan persenjataan, tetapi usaha ini
digagalkan oleh sejumlah negara lain, dengan dipimpin oleh Jerman, karena
Jerman khawatir bahwa itu merupakan usaha Inggris untuk menghentikan
pertumbuhan armada Jerman. Jerman juga menolak usulan tentang arbitrase wajib.
Namun, konferensi tersebut berhasil memperbesar mekanisme untuk arbitrase
sukarela dan menetapkan sejumlah konvensi yang mengatur penagihan utang, aturan
perang, dan hak serta kewajiban negara netral.
Perjanjian
Final ditandatangani pada tanggal 18 Oktober 1907 dan mulai berlaku pada
tanggal 26 Januari 1910. Perjanjian ini terdiri dari tiga belas seksi, yang dua
belas di antaranya diratifikasi dan berlaku:
- I -
Penyelesaian Damai atas Sengketa Internasional
- II -
Pembatasan Penggunaan Kekuatan untuk Penagihan Utang Kontrak
- III -
Pembukaan Permusuhan
- IV -
Hukum dan Kebiasaan Perang Darat
- V - Hak
dan Kewajiban Negara dan Orang Netral Bilamana Terjadi Perang Darat
- VI -
Status Kapal Dagang Musuh Ketika Pecah Permusuhan
- VII -
Konversi Kapal Dagang Menjadi Kapal Perang
- VIII -
Penempatan Ranjau Kontak Bawah Laut Otomatis
- IX -
Pemboman oleh Pasukan Angkatan Laut di Masa Perang
- X -
Penyesuaian Prinsip-prinsip Konvensi Jenewa terhadap Perang Laut
- XI -
Pembatasan Tertentu Menyangkut Pelaksanaan Hak Menangkap dalam Perang Laut
- XII - Pendirian
Pengadilan Hadiah Internasional (Tidak diratifikasi]
- XIII -
Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang Laut
Selain itu
ditandatangani pula dua deklarasi:
- Deklarasi
I - yang isinya memperluas isi Deklarasi II dari Konferensi 1899 untuk
mencakup jenis-jenis lain dari pesawat terbang.
- Deklarasi
II - mengenai arbitrase wajib.
Delegasi
Brazil dipimpin oleh negarawan Ruy Barbosa, yang kontribusinya sangat penting
bagi dipertahankannya prinsip kesetaraan hukum negara-negara. Delegasi Inggris
beranggotakan antara lain 11th Lord Reay (Donald James Mackay), Sir Ernest Satow, dan Eyre Crowe. Delegasi Rusia dipimpin oleh Fyodor Martens.
Protokol
Jenewa untuk Konvensi Den Haag Meskipun tidak dirundingkan di Den Haag, Prokol
Jenewa untuk Konvensi Den Haag dianggap sebagai tambahan untuk Konvensi tersebut.
Protokol yang ditandatangani pada tanggal 17 Juni 1925 dan mulai berlaku pada
tanggal 8 Februari 1928 ini secara permanen melarang penggunaan segala bentuk
cara perang kimia dan cara perang biologi. Protokol yang hanya mempunyai satu
seksi ini berjudul “Protokol Pelarangan atas Penggunaan Gas Pencekik, Gas
Beracun, atau Gas-gas Lain dalam Perang dan atas Penggunaan Cara-Cara Berperang
dengan Bakteri” (Protocol for the Prohibition of the Use in War of
Asphyxiating, Poisonous or Other Gases, and of Bacteriological Methods of
Warfare). Protokol ini disusun karena semakin meningkatnya kegusaran publik
terhadap perang kimia menyusul dipergunakannya gas mustard dan agen-agen serupa
dalam Perang Dunia I dan karena
adanya kekhawatiran bahwa senjata kimia dan senjata biologi bisa menimbulkan
konsekuensi-konsekuensi mengerikan dalam perang di kemudian hari. Hingga hari
ini, protokol tersebut telah diperluas dengan Konvensi Senjata Biologi (''Biological
Weapons Convention'') (1972) dan
Konvensi Senjata Kimia (''Chemical Weapons
Convention'') (1993).
Dalam
hubungannnya dengan ratifikasi Indonesia atas Konvensi-konvensi Deen Haag pada
tahun 1907 itu maka F.Sugeng Istanto menjelaskan bahwa pada waktu
berlangsungnya Konferensi itu Indonesia masih bernama Hindia Belanda yang
merupakan jajahan Kerajaan Belanda sehingga ratifikasi yang ditetapkan oleh
Kerajaan Belanda dengan Undang-Undang (Wet) tanggal 1 Juli 1909 dan
keputusan Raja tanggal 22 Februari 1919 berlaku pula bagi Hindia Belanda.
Ketika
terjadi pengakuan kedaulatan oleh Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia
Serikat pada tnaggal 27 Desember 1949, maka hak dan kewajiban Hindia Belanda
beralih kepada Republik Indonesia Serikat melalui Persetujuan Peralihan yang
merupakan Lampiran Induk Perjanjian KMB di Den Haag.
Ketika
susunan Negara mengalami perubahan dari Republik Indonesia Serikat menjadi
Republik Indonesia Kesatuan, maka ketentuan peralihan UUDS 1950 telah menjadi
jembatan penghubung tetap sahnya ratifikasi itu, demikian juga ketika UUD 1945
berlaku kembali melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1969, Pasal II Aturan Peralihan
telah menampung hal-hal yang belum diatur oeh UUD 1945 termasuk Ratifikasi
terhadap konvensi Den Haag tersebut.
B. HUKUM JENEWA
Konvensi-konvensi Jenewa meliputi empat perjanjian
(treaties) dan tiga protokol tambahan yang menetapkan standar dalam hukum
internasional (international law) mengenai perlakuan kemanusiaan bagi korban
perang. Istilah Konvensi Jenewa, dalam bentuk tunggal, mengacu pada
persetujuan-persetujuan 1949, yang merupakan hasil perundingan yang dilakukan
seusai Perang Dunia II. Persetujuan-persetujuan tersebut berupa diperbaharuinya
ketentuan-ketentuan pada tiga perjanjian yang sudah ada dan diadopsinya
perjanjian keempat. Rumusan keempat perjanjian 1949 tersebut ekstensif, yaitu
berisi pasal-pasal yang menetapkan hak-hak dasar bagi orang yang tertangkap
dalam konflik militer, pasal-pasal yang menetapkan perlindungan bagi korban
luka, dan pasal-pasal yang menyikapi masalah perlindungan bagi orang sipil yang
berada di dalam dan di sekitar kawasan perang. Keempat perjanjian 1949 tersebut
telah diratifikasi, secara utuh ataupun dengan reservasi, oleh 194 negara.
Konvensi-konvensi Jenewa tidak berkenaan dengan
penggunaan senjata perang, karena permasalahan tersebut dicakup oleh
Konvensi-konvensi Den Haag 1899 dan 1907 dan Protokol Jenewa.
"Orang
yang dilindungi berhak, dalam segala keadaan, untuk memperoleh penghormatan
atas dirinya, martabatnya, hak-hak keluarganya, keyakinan dan ibadah
keagamaannya, dan kebiasaan serta adat-istiadatnya. Mereka setiap saat
diperlakukan secara manusiawi dan dilindungi, terutama terhadap segala bentuk
kekerasan atau ancaman kekerasan dan terhadap penghinaan dan keingintahuan
publik. Perempuan dilindungi secara istimewa terhadap setiap penyerangan atas
martabatnya, terutama terhadap pemerkosaan, pelacuran paksa, atau setiap bentuk
penyerangan tidak senonoh (indecent assault). Tanpa merugikan
ketentuan-ketentuan mengenai keadaan kesehatan, usia, dan jenis kelamin, semua
orang yang dilindungi diperlakukan dengan penghormatan yang sama oleh Peserta
konflik yang menguasai mereka, tanpa pembeda-bedaan merugikan yang didasarkan
pada, terutama, ras, agama, atau opini politik. Namun, Peserta konflik boleh
mengambil langkah-langkah kontrol dan keamanan menyangkut orang-orang yang
dilindungi sebagaimana yang mungkin diperlukan sebagai akibat dari perang yang
bersangkutan." (Pasal 27, Konvensi Jenewa Keempat)Bahwa Hukum Den Haag dan
Hukum Jenewa merupakan dua aturan pokok dalam Humaniter, sebagaiman dikemukakan
oleh Jean Pictet bahwa :
“Humanitarian
Law has two branches, one bearing the name of Geneva, and the other name of the
Hague”. Hukum Jenewa, yang mengatur mengenai perlindungan korban perang,
terdiri atas beberapa perjanjian pokok. Perjanjian tersebut adalah keempat
Konvensi Jenewa 1949, yang masing-masing adalah :
I.
Konvensi
Jenewa Pertama (First Geneva Convention), mengenai Perbaikan Keadaan Anggota
Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Darat, 1864 (Geneva Konvention
for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces
in the Field);
II.
Konvensi
Jenewa Kedua (Second Geneva Convention), mengenai Perbaikan Keadaan Anggota
Angkatan Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di Laut, 1906 (Geneva
Convention for the Amelioration of the condotion of the Wounded, Sick and
Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea);
III.
Konvensi
Jenewa Ketiga (Third Geneva Convention), mengenai PerlakuanTawanan Perang, 1929
(Geneva Convention Relative to the Treatment of Prisoners of War);
IV.
Konvensi
Jenewa Keempat (Fourth Geneva Convention), mengenai Perlindungan Orang Sipil di
Masa Perang, 1949 (Geneva Convention Relative to the Protection of Civilian
Persons in Time of War).
Keempat konvensi Jenewa tahun 1949 tersebut dalam
tahun 1977 ditambahkan lagi dengan Protokol Tambahan 1977 yakni disebut dengan:
1. Protokol
Additional to the Jeneva Covention of 12 August 1949, and Relating to the
Protection of Victims of International Armed Conflict (Protocol I); dan
2. Protocol
Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating to the
Protection of Victims of Non International Armed Conlicts (Protocol II).
Konvensi-konvensi
dan persetujuan-persetujuannya
Konvensi-konvensi
Jenewa terdiri dari berbagai aturan yang berlaku pada masa konflik bersenjata,
dengan tujuan melindungi orang yang tidak, atau sudah tidak lagi, ikut serta
dalam permusuhan, antara lain:
- kombatan
yang terluka atau sakit
- tawanan
perang
- orang
sipil
- personel
dinas medis dan dinas keagamaan
Konvensi
Dalam ranah
diplomasi, istilah konvensi mempunyai arti yang lain dari artinya yang biasa,
yaitu pertemuan sejumlah orang. Dalam diplomasi, konvensi mempunyai arti
perjanjian internasional atau traktat. Ketiga Konvensi Jenewa yang terdahulu
direvisi dan diperluas pada tahun 1949, dan pada tahun itu juga ditambahkan
Konvensi Jenewa yang keempat.
- Konvensi
Jenewa Pertama (First Geneva Convention), mengenai Perbaikan Keadaan
Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Darat, 1864
- Konvensi
Jenewa Kedua (Second Geneva Convention), mengenai Perbaikan Keadaan
Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di Laut, 1906
- Konvensi
Jenewa Ketiga (Third Geneva Convention), mengenai PerlakuanTawanan Perang,
1929
- Konvensi
Jenewa Keempat (Fourth Geneva Convention), mengenai Perlindungan Orang
Sipil di Masa Perang, 1949
Satu
rangkaian konvensi yang terdiri dari empat konvensi ini secara keseluruhan
disebut sebagai “Konvensi-konvensi Jenewa 1949” atau, secara lebih
sederhana, “Konvensi Jenewa”.
Protokol
Konvensi-konvensi
Jenewa 1949 telah dimodifikasi dengan tiga protokol amandemen, yaitu:
- Protokol
I (1977), mengenai Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional
- Protokol
II (1977), mengenai Perlindungan Konflik Bersenjata Non-internasional
- Protokol
III (2005), mengenai Adopsi Lambang Pembeda Tambahan
Aplikasi
Konvensi-konvensi
Jenewa berlaku pada masa perang dan konflik bersenjata, yaitu bagi pemerintah
yang telah meratifikasi ketentuan-ketentuan konvensi tersebut. Ketentuan rinci
mengenai aplikabilitas Konvensi-konvensi Jenewa diuraikan dalam Pasal 2 dan 3
Ketentuan yang Sama. Masalah aplikabilitas ini telah menimbulkan sejumlah
kontroversi. Ketika Konvensi-konvensi Jenewa berlaku, maka pemerintah harus
merelakan sebagian tertentu dari kedaulatan nasionalnya (national sovereignty)
untuk dapat mematuhi hukum internasional. Konvensi-konvensi Jenewa bisa saja
tidak sepenuhnya selaras dengan konstitusi atau nilai-nilai budaya sebuah
negara tertentu. Meskipun Konvensi-konvensi Jenewa menyediakan keuntungan bagi
individu, tekanan politik bisa membuat pemerintah menjadi enggan untuk menerima
tanggung jawab yang ditimbulkan oleh konvensi-konvensi tersebut.
Pasal 2
Ketentuan yang Sama, mengenai Konflik Bersenjata Internasional
Pasal ini
menyatakan bahwa Konvensi-konvensi Jenewa berlaku pada semua kasus konflik
internasional di mana sekurang-kurangnya satu dari negara-negara yang berperang
telah meratifikasi Konvensi-konvensi tersebut. Terutama:
- Konvensi-konvensi
Jenewa berlaku pada semua kasus perang yang dideklarasikan (declared
war) antara negara-negara penandatangan. Pengertian ini merupakan
pengertian yang asli tentang aplikabilitas dan mendahului pengertian versi
1949.
- Konvensi-konvensi
Jenewa berlaku pada semua kasus konflik bersenjata antara dua negara
penandatangan atau lebih, pun tanpa adanya deklarasi perang. Pengertian
ini ditambahkan pada tahun 1949 untuk mengakomodasi situasi-situasi yang
mempunyai seluruh karakteristik perang walaupun tanpa deklarasi perang
yang formal, misalnya aksi polisional (police action).
- Konvensi-konvensi
Jenewa berlaku bagi negara penandatangan walaupun negara lawan bukan
penandatangan, tetapi hanya jika negara lawan tersebut “menerima dan
menerapkan ketentuan-ketentuan” Konvensi-konvensi ini.
Pasal 1
Protokol I lebih lanjut mengklarifikasi bahwa konflik bersenjata melawan
dominasi penjajah atau pendudukan asing juga berkualifikasi sebagai konflik
internasional. Bila kriteria tentang konflik internasional terpenuhi, maka
perlindungan yang disediakan oleh Konvensi-konvensi tersebut dianggap berlaku
sepenuhnya.
Pasal 3
Ketentuan yang Sama, mengenai Konflik Bersenjata Non-internasional
Pasal ini
menyatakan bahwa aturan-aturan minimum tertentu tentang perang sebagaimana
terdapat di dalamnya juga berlaku pada konflik bersenjata yang tidak
berkarakter internasional tetapi berlangsung di dalam batas-batas wilayah
sebuah negara. Aplikabilitas pasal ini bersandar pada penafsiran tentang
istilah konflik bersenjata. Misalnya, pasal tersebut berlaku pada konflik
antara pasukan Pemerintah dan pasukan pemberontak atau antara dua pasukan
pemberontak atau pada konflik lain yang mempunyai seluruh karakteriastik perang
tetapi berlangsung di dalam batas-batas wilayah sebuah negara. Sekelompok kecil
individu yang melakukan penyerangan terhadap markas kepolisian tidak dianggap
sebagai konflik bersenjata yang tunduk pada pasal ini, tetapi sebagai konflik
bersenjata yang tunduk hanya pada hukum nasional negara yang bersangkutan.
Dalam
konflik bersenjata non-internasional, yang berlaku dari Konvensi-konvensi
Jenewa bukanlah seluruh ketentuannya tetapi hanya ketentuan dalam jumlah
terbatas sebagaimana terdapat dalam redaksi Pasal 3 dan, di samping itu, dalam
redaksi Protokol II. Alasan pembatasan tersebut ialah bahwa banyak pasal dari
Konvensi-konvensi Jenewa akan bertentangan dengan hak-hak Negara Berdaulat.
Ringkasnya:
1. Orang yang
tidak ambil bagian aktif dalam permusuhan diperlakukan secara manusiawi
(termasuk anggota militer yang sudah tidak ambil bagian aktif lagi karena
sakit, cedera, atau tertawan).
2. Korban luka dan korban sakit dikumpulkan dan dirawat
serta diperlakukan dengan respek.
Penegakan:
- Kuasa
Perlindungan
Istilah
kuasa perlindungan (protecting power) mempunyai arti spesifik
berdasarkan Konvensi-konvensi ini. Kuasa perlindungan ialah sebuah negara yang
tidak ikut serta dalam sebuah konflik bersenjata tetapi setuju untuk mengurus
kepentingan sebuah negara lain yang menjadi peserta konflik tersebut. Kuasa
perlindungan berfungsi sebagai mediator yang memungkinkan terjadinya komunikasi
antara pihak-pihak peserta konflik. Kuasa perlindungan juga berfungsi memantau
implementasi Konvensi-konvensi ini, misalnya dengan cara mengunjungi kawasan
konflik dan tawanan perang. Kuasa perlindungan harus bertindak sebagai
pendamping (advocate) bagi tawanan, korban luka, dan orang sipil.
- Pelanggaran
berat
Tidak semua
pelanggaran atas Konvensi-konvensi Jenewa diperlakukan setara. Kejahatan yang
paling serius disebut dengan istilah pelanggaran berat (grave breaches)
dan secara hukum ditetapkan sebagai kejahatan perang (war crime).
Pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa Kedua dan Ketiga antara lain adalah
tindakan-tindakan berikut ini jika dilakukan terhadap orang yang dilindungi
oleh konvensi tersebut:
- pembunuhan
sengaja, penyiksaan, atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk eksperimen
biologi
- dengan
sengaja menyebabkan penderitaan besar atau cedera serius terhadap jasmani
atau kesehatan
- memaksa
orang untuk berdinas di angkatan berrsenjata sebuah negara yang bermusuhan
- dengan
sengaja mencabut hak atas pengadilan yang adil (right to a fair trial)
dari seseorang
Tindakan berikut
ini juga dianggap sebagai pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa Keempat:
- penyanderaan
- penghancuran
dan pengambilalihan properti secara ekstensif yang tidak dapat dibenarkan
berdasarkan prinsip kepentingan militer dan dilaksanakan secara melawan hukum
dan secara tanpa alasan.
- deportasi,
pemindahan, atau pengurungan yang melawan hukum
Negara yang
menjadi peserta Konvensi-konvensi Jenewa harus memberlakukan dan menegakkan
peraturan perundang-undangan yang menghukum setiap kejahatan tersebut.
Negara-negara juga berkewajiban mencari orang yang diduga telah melakukan
kejahatan tersebut, atau yang diduga telah memerintahkan dilakukannya kejahatan
tersebut, serta mengadili orang tersebut, apapun kebangsaan orang tersebut dan
di mana pun kejahatan tersebut dilakukan. Prinsip yurisdiksi universal ini juga
berlaku bagi penegakan hukum atas pelanggaran berat. Untuk tujuan itulah maka
Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda (International Criminal Tribunal
for Rwanda) dan Mahkamah Pidana Internasional untuk eks-Yugoslavia (International
Criminal Tribunal for the former Yugoslavia) dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk
melakukan penuntutan atas berbagai pelanggaran yang diduga telah terjadi.
Konvensi-konvensi
Jenewa dewasa ini
Meskipun
peperangan telah mengalami perubahan dramatis sejak diadopsinya
Konvensi-konvensi Jenewa 1949, konvensi-konvensi tersebut masih dianggap
sebagai batu penjuru Hukum Humaniter Internasional
kontemporer. Konvensi-konvensi tersebut melindungi kombatan yang berada dalam
keadaan hors de combat (tidak dapat ikut bertempur lagi) serta melindungi orang
sipil yang terjebak dalam kawasan perang. Perjanjian-perjanjian tersebut
menjalankan fungsinya dalam semua konflik bersenjata internasional yang belum
lama ini terjadi, termasuk Perang Afghanistan (2001- sekarang), Invasi Irak 2003, invasi Chechnya (1994-sekarang), dan Perang di
Georgia (2008). Peperangan moderen terus mengalami perubahan, dan dewasa ini
proporsi konflik bersenjata yang bersifat non-internasional semakin meningkat
[misalnya: Perang Saudara di Sri Lanka, Perang Saudara di Sudan, dan Konflik
Bersenjata di Kolombia. Pasal 3 Ketentuan yang Sama menangani situasi-situasi
tersebut, dengan dilengkapi oleh Protokol II (1977). Pasal dan protokol
tersebut menguraikan standar hukum minimum yang harus diikuti untuk konflik
internal.
Mahkamah internasional, terutama Mahkamah Pidana Internasional untuk eks-Yugoslavia, telah membantu mengklarifikasi hukum internasional di bidang tersebut. Dalam putusannya mengenai kasus Jaksa Penuntut v. Dusko Tadic tahun 1999, Mahkamah Pidana Internasional untuk bekas Yugoslavia menetapkan bahwa pelanggaran berat berlaku tidak hanya pada konflik internasional, tetapi juga pada konflik bersenjata internal. Lebih lanjut, Pasal 3 Ketentuan yang Sama dan Protokol II dianggap sebagai hukum internasional kebiasaan (customary international law), yang memungkinkan dilakukannya penuntutan atas kejahatan perang yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang belum secara formal menerima ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa.
Mahkamah internasional, terutama Mahkamah Pidana Internasional untuk eks-Yugoslavia, telah membantu mengklarifikasi hukum internasional di bidang tersebut. Dalam putusannya mengenai kasus Jaksa Penuntut v. Dusko Tadic tahun 1999, Mahkamah Pidana Internasional untuk bekas Yugoslavia menetapkan bahwa pelanggaran berat berlaku tidak hanya pada konflik internasional, tetapi juga pada konflik bersenjata internal. Lebih lanjut, Pasal 3 Ketentuan yang Sama dan Protokol II dianggap sebagai hukum internasional kebiasaan (customary international law), yang memungkinkan dilakukannya penuntutan atas kejahatan perang yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang belum secara formal menerima ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa.
C. SUMBER-SUMBER HUKUM LAINNYA
Selain sumber
hukum humaniter internasional pokok, yang berupa Hukum Den Haag dan Hukum
Jenewa, terdapat sumber hukum humaniter yang lainnya sebagai berikut:
1. Deklarasi Paris (16 April 1865)
1. Deklarasi Paris (16 April 1865)
Deklarasi
Paris 1865 mengatur tentang Perang di Laut yang dirumuskan berdasarkan
pengalaman Perang Krim tahun 1864, di mana dua negara yang bersekutu yaitu
Inggris dan Perancis menerapkan prinsip-prinsip hukum perang di laut yang
berbeda. Untuk mencegah terulangnya kejadian tersebut maka Deklarasi Paris
memuat beberapa asas.
Asas-asas Deklarasi Paris:
a. Bahwa
pembajakan dihapus dan akan tetap dihapus
b. bendera
netral melindungi barang-barang musuh, kecuali kontraband perang;
c.
barang-barang netral di bawah bendera musuh tidak boleh disita, kecuali
kontraband perang;
d. supaya
mengikat, blokade harus efektif. Artinya dilakukan oleh suatu kekuatan yang
mencukupi untuk benar-benar mencegah mendekatnya kapal ke pantai musuh.
2. Deklarasi
St. Petersburg (29 November-11 Desember 1868)
Deklarasi
St. Petersburg diprakarsai oleh Tsar Alexander II dari Russia karena
diketemukannya sejenis peluru yang jika permukaannya mengenai benda yang keras
tutupnya dapat meledak. Tujuan Deklarasi St. Petersburg adalah untuk melarang
penggunaan peluru-peluru semacam itu.
3. Rancangan
Peraturan Den Haag tentang Perang di Udara (1923)
Ketentuan
khusus mengenai perang di udara dirancang pada bulan Desember 1922 sampai bulan
Februari 1923 oleh komisi para ahli hukum di Den Haag, sebagai realisasi
Konferensi Washington 1922. Tujuan pokok komisi ini sebenarnya hanya mengatur
penggunaan radio dalam pertempuran. Rancangan ketentuan ini dipergunakan
sebagai pedoman dalam pertempuran udara. Substansinya mengatur penggunan
pesawat udara di dalam pertempuran dengan segala peralatan yang dimiliki.
4. Protokol
Jenewa (17 Juni 1925) tentang Pelarangan Penggunaan Gas Cekik dan Macam-Macam
Gas Lain dalam Peperangan
Larangan
penggunaan gas-gas tersebut mencakup larangan penggunaan gas air mata dalam
perang dan pemakaian herbasida untuk ketentuan perang. Protokol ini dirumuskan
dan ditandatangani dalam suatu Konferensi untuk mengawasi perdagangan
internasional senjata dan amunisi.
5. Protokol
London (6 November 1936) tentang Peraturan Penggunaan Kapal Selam dalam
Pertempuran
Protokol ini
merupakan penegasan dari Deklarasi tentang hukum perang di laut yang dibentuk
di London tanggal 26 Februari 1989 dan belum pernah diratifikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Akehurst,
Michael,1978,A Modern Introduction to International Law, George Allen
and Unwin, London-Boston-Sydney,1978.
ICRC. 1994.International
Law Concerning the Conduct of Hostilities.Geneva.ICRC.
Chairil
Anwar.1989.Hukum Internasional, Pengantar Hukum Bangsa-bangsa.Djambatan:Jakarta.
Haryomataram.1984.Hukum
Humaniter.Rajawali:Jakarta.
Koeswara
E.1988.Agresi Manusia.Eresco:Bandung
Haryomataram.1996.Pertikaian
Bersenjata Internasional,Makalah,Penataran Hukum Humaniter dan Hak Asasi
Manusia.PSHH-FH USAKTI-ICRC:Cipayung.
Parthiana, I
Wayan.1990.Pengantar Hukum Internasional.Mandar Maju:Bandung.
Internet
http://forkompmr.blogspot.com/2010/05/hukum-jenewa-sebagai-sumber-hukum.html diakses
pada tanggal 07 Maret 2012 pukul 20.17 WITA
http://id.wikipedia.org/wiki/Konvensi_Jenewa diakses
pada tanggal 07 Maret 2012 pukul 21.49 WITA
0 Response to "Hukum Den Haag Dan Hukum Jenewa"
Post a Comment