Hukum Laut Internasional
A. Pengertian
Hukum Laut Internasional adalah
kaidah-kaidah hukum yang mengatur hak dan kewenangan suatu negara atas kawasan
laut yang berada dibawah yurisdiksi nasionalnya (national jurisdiction).
Sejarah Hukum
Laut Internasional
Lahirnya konsepsi hukum laut
internasional tersebut tidak dapat dilepaskan dari sejarah pertumbuhan hukum
laut internasional yang mengenal pertarungan antara dua konsepsi, yaitu : a.
Res Communis, yang menyatakan bahwa laut itu adalah milik bersama
masyarakat dunia, dan karena itu tidak dapat diambil
atau dimiliki oleh masing-masing negara; b. Res Nulius, yang menyatakan
bahwa laut tidak yang memiliki, dan karena itu dapat diambil dan dimiliki oleh
masing-masing negara. Pertumbuhan dan perkembangan kedua doktrin tersebut
diawali dengan sejarah panjang mengenai penguasaan laut oleh Imperium Roma.
Kenyataan
bahwa Imperium Roma menguasai tepi Lautan Tengah dan karenanya menguasai
seluruh lautan tengah secara mutlak. Dengan demikian menimbulkan suatu keadaan
di mana lautan tengah menjadi lautan yang bebas dari gangguan bajak-bajak laut,
sehingga semua orang dapat mempergunakan lautan tengah dengan aman dan
sejahtera yang dijamin oleh pihak Imperium Roma. Pemikiran umum bangsa Romawi
trhadap laut didasarkan atas doktrin res communis omnium ( hak bersama
seluruh umat manusia), yang memandang penggunaan laut bebas atau terbuka bagi
setiap orang. Asas res communis omnium di samping untuk kepentingan
pelayaran, menjadi dasar pula untuk kebebasan menangkap ikan.
Bertitik tolak dari perkembangan doktrin res communius omnium tersebut diatas, tamapk bahwa embrio kebebasan laut lepas sebagai prinsip kebebasan di laut lepas telah diletakkan jauh sejak lahirnya masyarakat bangsa-bangsa. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa doktrin ini dalam sejarah hukum laut internasional pada masa-masa berikutnya.
Di sisi lain, dalam melaksanakan kekuasaannya di laut, banyak tanda-tanda yang menunjukkan bahwa dalam pandangan orang Romawi laut itu dapat dimiliki, di mana dalam zaman itu hak penduduk pantai untuk menangkap ikan di perairan dekat pantainya telah diakui. Pemilikan suatu kerajaan dan negara atas laut yang berdekatan dengan pantainya didasrkan atas konsepsi res nelius
Menurut konsepsi res nelius , laut bisa dimiliki apabila yang berhasrat memilikinya bisa menguasai dan mendudukinya. Pendudukan ini dalam hukum perdata romawi dikenal sebagai konsepsi okupasi (occupation). Keadaan yang dilakukiskan di atas berakhir dengan runtuhnya Imperium Romawi dan munculnya pelbagai kerajaan dan negara di sekitar lautan Tengah yang masing-masing merdeka dan berdiri sendiri yang satu lepas dari yang lain. Walaupun penguasaan mutlak Lautan Tengah oleh Imperium Romawi sendiri telah berakhir, akan tetapi pemilikan lautan oleh negara-negara dan kerajaan tetap menggunakan asas-asas hukum Romawi.
Berdasarkan uraian diatas, jelas kiranya bahwa bagi siapa pun yang mengikuti perkembangan teori perkembangan hukum internasional, asas- asas hukum Romawi yang disebutkan diatas memang mengilhami lahirnya pemikiran hukum laut internasional yang berkembang dikemudian hari.
Daptlah dikatakan bahwa kedua konsepsi hukum laut Romawi itu merupakan hukum laut internasional tradisional yang menjadi embrio bagi dua pembagian laut yang klasik, laut teritorial dan laut lepas.
Dalam konteks kedaulatan negara atas laut, pertumbuhan dan perkembangan hukum laut internasional setelah runtuhnya Imperium Romawi diawali degan munculnya tuntutan sejumlah negara atau kerajaan atas sebagian laut yang berbatasan dengan pantainya berdasarkan alasan yang bermacam-macam. Misalnya, Venetia mengklaim sebagian besar dari laut Adriatik, suatu tuntutan yang diakui oleh Paus Alexander III pada tahun 1177. Berdasarkan kekuasaanya atas laut Adriatik ini, Venetia memungut bea terhadap setiap kapal yang berlayar di sana. Genoa juga mengklaim kekuasaan atas Laut Liguria dan sekitarnya serta melakukan tindakan-tindakan untuk melaksanakannya. Hal yang sama dilakukan oleh Pisa yang mengklaim dan melakukan tindakan-tindakan atas Laut Thyrrhenia. Kekuasaan yang dilaksanakan oleh negara-negara atau kerajaan-kerajaan tersebut dengan laut yang berbatasan dengan pantainya dilakukan dengan tujuan yang di zaman sekarang barangkali dapat disebut kepentingan: (karantina); (2) bea cukai; (3) pertahanan dan netralitas
Dalam pertumbuhan hukum laut internasional berikutnya, sejarah perkembangan hukum laut internasional telah mencatat sutu peristiwa penting, yaitu pengakuan Paus Alexander VI pada tahun 1493 atas tuntutan Spanyol dan Portugal, yang membagi samudera di dunia untuk kedua negara itu dengan batasnya garis meridian 100 leagues (kira-kira 400 mil laut) sebelah barat Azores. Sebelah barat dari meridian tersebut (yang mencakup Samudera Atlantik barat, Teluk Mexico dan Samudera Pasifik) menjadi milik Spanyol, sedangkan sebelah timurnya (yang mencakup Samudra Atlantik sebelah selatan Marokko dan Samudera India) menjadi milik Potugal . Pembagian Paus Alexander VI tersebut diatas kemudian diperkuat oleh Perjanjian Todesillas antara Spanyol dan Portugal pada tahun 1494, tetapi dengan memindahkan garis perbatasannya menjadi 370 leagues sebelah barat pulau-pulau Cape Verde di pantai barat Afrika. Sedangkan negara-negara lain, seperti Denmark telah pula menuntut Laut Baltik dan Laut Utara antar Norwegia dan Iceland, dan Inggris telah menuntut pula laut di sekitar kepulauan Inggris (Mare Anglicanum) sebagai milik masing-masing.
Pembagian dua laut dan Samedera di dunia untuk Spanyol dan Portugal dengan menuntup laut-laut tertentu bagi pelayaran internasional, merupakan awal dari era penjajahan kedua kerajaan tersebut di Amerika Selatan.
Perkembangan selanjutnya memperlihatkan bahwa ternyata pembagian dua laut dan samudera, serta klaim keempat kerajaan di Eropa Barat mengenai konsepsi laut tertutup (mare clausum) mendapat tantangan dari belanda yang memperjuangkan asas kebebasan berlayar (freedom of navigation) yang didasarkan atas pendirian bahwa lautan itu bebas untuk dilayari oleh siapapun. Belanda yang diwakili oleh Hugo Grotius (selanjutnya disebut Grotius), yaitu bapak Hukum Laut Internasional yang memperjuangkan asas kebebasan lautdengan cara yang paling gigih walaupun bangsa Inggris dengan Ratu Elisabeth- nya lebih dikenal sebagai perintis asas kebebasan laut ini. Perjuangan armada-armada Belanda dan Inggris melawan armada-armada Spanyol dan Portugal di lautan akhirnya manjadi asas kebebasab pelayaran ini menjadi suatu kenyataan. Perkembangan penting dalam hukum laut internasional yang perlu dicatat adalah pertarungan antara penganut doktrin laut bebas (mare liberium) dan laut tertutup (mare clausum)
Doktrin laut bebas (lepas) yang diwakili oleh Grotius, didasarkan pada teori mengenai lautan bahwa pemilikan, termasuk atas laut hanya bisa terjadi melalui pessession ini hanya bisa terjadi melalui okupasi, dan okupasi hanya bisa terjadi atas barang-barang yang dapat dipegah teguh. Untuk dapat dipegang teguh maka barang-barang tersebut harus ada batasnya.Laut adalah sesuatu yang mempunyai batas, sehingga laut tidak dapat di okupasi sebab ia cair dan tidak terbatas. Barang cair hanya bisa dimiliki dengan memasukkanya ke dalam sesuatu yang lebih padat. Dengan demikian, maka tuntutan atas laut yang didasarkan pada penemuan, penguasaan tidaklah dapat diterima karena semua itu bukanlah alasan utuk memperoleh pemilikan atas laut. Meskipun demikian Grotius mengakui bahwa anak-anak laut dan sungai-sungai, sekalipun cair, dapat dimiliki karena ada batas -batas nya di mana tepinya dapat dianggap sebagai sesuatu yang lebih padat.
Prinsip kebebasan laut yang dikemukakan oleh Grotius dalam bukunya Mare Liberium, di bidang pelayaran telah digunakan oleh Belanda untuk menerobos masuk ke Samudra India dalam usahanya memperluas perdagangan ke Nusantara. Peristiwa ini membuka jalan bagi Belanda untuk menguasai dan menjajah Indonesia selama tiga ratus lima puluh tahun. Oleh karena itu, sama hal nya dengan penguasaan negara atas laut yang dilakukan oleh Spanyol dan Portugal, Belanda juga mempunyai agenda dan tujuan politik untuk menguasai negara-negara lainya, khususnya Indonesia.
Bertitik tolak dari perkembangan doktrin res communius omnium tersebut diatas, tamapk bahwa embrio kebebasan laut lepas sebagai prinsip kebebasan di laut lepas telah diletakkan jauh sejak lahirnya masyarakat bangsa-bangsa. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa doktrin ini dalam sejarah hukum laut internasional pada masa-masa berikutnya.
Di sisi lain, dalam melaksanakan kekuasaannya di laut, banyak tanda-tanda yang menunjukkan bahwa dalam pandangan orang Romawi laut itu dapat dimiliki, di mana dalam zaman itu hak penduduk pantai untuk menangkap ikan di perairan dekat pantainya telah diakui. Pemilikan suatu kerajaan dan negara atas laut yang berdekatan dengan pantainya didasrkan atas konsepsi res nelius
Menurut konsepsi res nelius , laut bisa dimiliki apabila yang berhasrat memilikinya bisa menguasai dan mendudukinya. Pendudukan ini dalam hukum perdata romawi dikenal sebagai konsepsi okupasi (occupation). Keadaan yang dilakukiskan di atas berakhir dengan runtuhnya Imperium Romawi dan munculnya pelbagai kerajaan dan negara di sekitar lautan Tengah yang masing-masing merdeka dan berdiri sendiri yang satu lepas dari yang lain. Walaupun penguasaan mutlak Lautan Tengah oleh Imperium Romawi sendiri telah berakhir, akan tetapi pemilikan lautan oleh negara-negara dan kerajaan tetap menggunakan asas-asas hukum Romawi.
Berdasarkan uraian diatas, jelas kiranya bahwa bagi siapa pun yang mengikuti perkembangan teori perkembangan hukum internasional, asas- asas hukum Romawi yang disebutkan diatas memang mengilhami lahirnya pemikiran hukum laut internasional yang berkembang dikemudian hari.
Daptlah dikatakan bahwa kedua konsepsi hukum laut Romawi itu merupakan hukum laut internasional tradisional yang menjadi embrio bagi dua pembagian laut yang klasik, laut teritorial dan laut lepas.
Dalam konteks kedaulatan negara atas laut, pertumbuhan dan perkembangan hukum laut internasional setelah runtuhnya Imperium Romawi diawali degan munculnya tuntutan sejumlah negara atau kerajaan atas sebagian laut yang berbatasan dengan pantainya berdasarkan alasan yang bermacam-macam. Misalnya, Venetia mengklaim sebagian besar dari laut Adriatik, suatu tuntutan yang diakui oleh Paus Alexander III pada tahun 1177. Berdasarkan kekuasaanya atas laut Adriatik ini, Venetia memungut bea terhadap setiap kapal yang berlayar di sana. Genoa juga mengklaim kekuasaan atas Laut Liguria dan sekitarnya serta melakukan tindakan-tindakan untuk melaksanakannya. Hal yang sama dilakukan oleh Pisa yang mengklaim dan melakukan tindakan-tindakan atas Laut Thyrrhenia. Kekuasaan yang dilaksanakan oleh negara-negara atau kerajaan-kerajaan tersebut dengan laut yang berbatasan dengan pantainya dilakukan dengan tujuan yang di zaman sekarang barangkali dapat disebut kepentingan: (karantina); (2) bea cukai; (3) pertahanan dan netralitas
Dalam pertumbuhan hukum laut internasional berikutnya, sejarah perkembangan hukum laut internasional telah mencatat sutu peristiwa penting, yaitu pengakuan Paus Alexander VI pada tahun 1493 atas tuntutan Spanyol dan Portugal, yang membagi samudera di dunia untuk kedua negara itu dengan batasnya garis meridian 100 leagues (kira-kira 400 mil laut) sebelah barat Azores. Sebelah barat dari meridian tersebut (yang mencakup Samudera Atlantik barat, Teluk Mexico dan Samudera Pasifik) menjadi milik Spanyol, sedangkan sebelah timurnya (yang mencakup Samudra Atlantik sebelah selatan Marokko dan Samudera India) menjadi milik Potugal . Pembagian Paus Alexander VI tersebut diatas kemudian diperkuat oleh Perjanjian Todesillas antara Spanyol dan Portugal pada tahun 1494, tetapi dengan memindahkan garis perbatasannya menjadi 370 leagues sebelah barat pulau-pulau Cape Verde di pantai barat Afrika. Sedangkan negara-negara lain, seperti Denmark telah pula menuntut Laut Baltik dan Laut Utara antar Norwegia dan Iceland, dan Inggris telah menuntut pula laut di sekitar kepulauan Inggris (Mare Anglicanum) sebagai milik masing-masing.
Pembagian dua laut dan Samedera di dunia untuk Spanyol dan Portugal dengan menuntup laut-laut tertentu bagi pelayaran internasional, merupakan awal dari era penjajahan kedua kerajaan tersebut di Amerika Selatan.
Perkembangan selanjutnya memperlihatkan bahwa ternyata pembagian dua laut dan samudera, serta klaim keempat kerajaan di Eropa Barat mengenai konsepsi laut tertutup (mare clausum) mendapat tantangan dari belanda yang memperjuangkan asas kebebasan berlayar (freedom of navigation) yang didasarkan atas pendirian bahwa lautan itu bebas untuk dilayari oleh siapapun. Belanda yang diwakili oleh Hugo Grotius (selanjutnya disebut Grotius), yaitu bapak Hukum Laut Internasional yang memperjuangkan asas kebebasan lautdengan cara yang paling gigih walaupun bangsa Inggris dengan Ratu Elisabeth- nya lebih dikenal sebagai perintis asas kebebasan laut ini. Perjuangan armada-armada Belanda dan Inggris melawan armada-armada Spanyol dan Portugal di lautan akhirnya manjadi asas kebebasab pelayaran ini menjadi suatu kenyataan. Perkembangan penting dalam hukum laut internasional yang perlu dicatat adalah pertarungan antara penganut doktrin laut bebas (mare liberium) dan laut tertutup (mare clausum)
Doktrin laut bebas (lepas) yang diwakili oleh Grotius, didasarkan pada teori mengenai lautan bahwa pemilikan, termasuk atas laut hanya bisa terjadi melalui pessession ini hanya bisa terjadi melalui okupasi, dan okupasi hanya bisa terjadi atas barang-barang yang dapat dipegah teguh. Untuk dapat dipegang teguh maka barang-barang tersebut harus ada batasnya.Laut adalah sesuatu yang mempunyai batas, sehingga laut tidak dapat di okupasi sebab ia cair dan tidak terbatas. Barang cair hanya bisa dimiliki dengan memasukkanya ke dalam sesuatu yang lebih padat. Dengan demikian, maka tuntutan atas laut yang didasarkan pada penemuan, penguasaan tidaklah dapat diterima karena semua itu bukanlah alasan utuk memperoleh pemilikan atas laut. Meskipun demikian Grotius mengakui bahwa anak-anak laut dan sungai-sungai, sekalipun cair, dapat dimiliki karena ada batas -batas nya di mana tepinya dapat dianggap sebagai sesuatu yang lebih padat.
Prinsip kebebasan laut yang dikemukakan oleh Grotius dalam bukunya Mare Liberium, di bidang pelayaran telah digunakan oleh Belanda untuk menerobos masuk ke Samudra India dalam usahanya memperluas perdagangan ke Nusantara. Peristiwa ini membuka jalan bagi Belanda untuk menguasai dan menjajah Indonesia selama tiga ratus lima puluh tahun. Oleh karena itu, sama hal nya dengan penguasaan negara atas laut yang dilakukan oleh Spanyol dan Portugal, Belanda juga mempunyai agenda dan tujuan politik untuk menguasai negara-negara lainya, khususnya Indonesia.
B. Garis Pangkal
Garis
pangkal merupakan titik” air terendah yang penetapanya disesuaikan dengan cara
penarikan garis” pangkal tersebut.
1. Garis pangkal biasa yaitu garis air terendah sepanjang pantai pada waktu air sedang surut, yang mengikuti liku/morfologi pantai pada mulut sungai teluk yang lebar mulutnya tidak lebih dari 24 mil dan pelabuhan garis air terendah tersebut dapatditarik sebagai suatu garis lurus.
syaratnya:
- mulut sungai
-teluk yang lebar tidak lebih mulutnya dari 24 mil
-pelabuhan
2. Garis pangkal lurus yaitu garis air terendah yang menghunungkan titik” pangkal berupa titik terluar dari pantai gugusan pulau didepannya
syaaratnya dari negara:
- garis pantai yang menikung jauh kedalam
- ada daratan /gugusan pula yang ada didekatnya
- ada delta
- kondisi alam lainnya yang menyebabkan garis pantai tidak tetap
- adanya kepentingan ekonomi khusus bagi negara tersebut
1. Garis pangkal biasa yaitu garis air terendah sepanjang pantai pada waktu air sedang surut, yang mengikuti liku/morfologi pantai pada mulut sungai teluk yang lebar mulutnya tidak lebih dari 24 mil dan pelabuhan garis air terendah tersebut dapatditarik sebagai suatu garis lurus.
syaratnya:
- mulut sungai
-teluk yang lebar tidak lebih mulutnya dari 24 mil
-pelabuhan
2. Garis pangkal lurus yaitu garis air terendah yang menghunungkan titik” pangkal berupa titik terluar dari pantai gugusan pulau didepannya
syaaratnya dari negara:
- garis pantai yang menikung jauh kedalam
- ada daratan /gugusan pula yang ada didekatnya
- ada delta
- kondisi alam lainnya yang menyebabkan garis pantai tidak tetap
- adanya kepentingan ekonomi khusus bagi negara tersebut
Garis pangkal
lurus :
- tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari umum suatu pantai
- tidak boleh ditarik dari evaluasi surut.
3. Garis pangkal lurus kepulauan yaitu garis” air terendah yang menghubungkan titik” terluar pada pulau /karang kering yang terluar dari wilayah negara tersebut.
syaratnya:
- harus meliputi pulau utama suatu negara
- perbandingan luas /wilayah air/daratan harus berkisar 1 banding 1 sampai 1 banding 4
- tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari umum suatu pantai
- tidak boleh ditarik dari evaluasi surut.
3. Garis pangkal lurus kepulauan yaitu garis” air terendah yang menghubungkan titik” terluar pada pulau /karang kering yang terluar dari wilayah negara tersebut.
syaratnya:
- harus meliputi pulau utama suatu negara
- perbandingan luas /wilayah air/daratan harus berkisar 1 banding 1 sampai 1 banding 4
C. Perairan
Pedalaman
Dalam
pasal 8 ayat (1) United Nations Conventions on the Law of the Sea
(UNCLOS 1982) disebutkan bahwa yang dinamakan Perairan Pedalaman adalah
perairan pada sisi darat garis pangkal laut teritorial. Pasal tersebut
selengkapnya berbunyi, “perairan pada sisi darat garis pangkal laut territorial
merupakan bagian perairan pedalaman negara tersebut”. Sedangkan dalam pasal 3
(4) UU No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia disebutkan bahwa, “Perairan
Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari
garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamnya semua
bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis
penutup sebagaimana dimaksud dalam pasal 7. Perairan Pedalaman Indonesia
terdiri atas: laut pedalaman, dan perairan darat.
Selanjutnya,
laut pedalaman menurut pengertian undang-undang ini adalah bagian laut
yang terletak pada sisi darat dari garis penutup, pada sisi laut dan gari air
rendah. Sedangkan Perairan Darat adalah segala perairan yang terletak pada sisa
darat dari garis air rendah, kecuali pada mulut sungai perairan darat adalah
segala perairan yang terletak pada sisi darat dari garis penutup mulut sungai.
Perincian
dari Perairan Indonesia berdasarkan ketentuan-ketentuan dari UU No. 4/Prp tahun
1960 (sekarang UU No. 6 Tahun 1996),hukum
laut secara tradisional mengadakan pembagian laut atas laut lepas, laut wilayah dan perairan pedalaman. Di laut lepas, terdapat rezim kebebasan berlayar bagi semua kapal, dilaut wilayah berlaku rezim lintas damai bagi kapal-kapal asing dan diperairan pedalaman hak lintas damai ini tidak ada. Sedangkan bagi Indonesia, karena adanya bagian-bagian laut lepas atau laut wilayah yang menjadi laut pedalaman karena penarikan garis dasar lurus dari ujung ke ujung, pembagian perairan Indonesai agak sedikit berbeda dengan negara-negara lain. Sesuai dengan UU No. 4 /Perp Tahun 1960 tersebut, perairan Indonesia terdiri dari laut wilayah dan perairan Pedalaman. Perairan pedalaman ini dibagi pula atas laut pedalaman dan perairan daratan.
laut secara tradisional mengadakan pembagian laut atas laut lepas, laut wilayah dan perairan pedalaman. Di laut lepas, terdapat rezim kebebasan berlayar bagi semua kapal, dilaut wilayah berlaku rezim lintas damai bagi kapal-kapal asing dan diperairan pedalaman hak lintas damai ini tidak ada. Sedangkan bagi Indonesia, karena adanya bagian-bagian laut lepas atau laut wilayah yang menjadi laut pedalaman karena penarikan garis dasar lurus dari ujung ke ujung, pembagian perairan Indonesai agak sedikit berbeda dengan negara-negara lain. Sesuai dengan UU No. 4 /Perp Tahun 1960 tersebut, perairan Indonesia terdiri dari laut wilayah dan perairan Pedalaman. Perairan pedalaman ini dibagi pula atas laut pedalaman dan perairan daratan.
Mengenai hak
lintas damai di laut wilayah, tidak ada persoalan karena telah merupakan
suatu ketentuan yang telah diterima dan dijamin oleh hukum internasional.
Dilaut wilayah perairan Indonesia, kapal semua negara baik berpantai atau tidak
berpantai, menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial (pasal 17
konvensi). Selanjutnya, Indonesia membedakan perairan pedalaman (perairan
kepulauan atas dua golongan), yaitu:
1. Perairan pedalaman yang sebelum berlakunya Undang-Undang No. 4/Prp Tahun 1960 merupakan laut wilayah atau laut bebas. Perairan
pedalaman ini disebut laut pedalaman atau internal seas.
2. Perairan pedalaman yang sebelum berlakunya UU No. 4/Prp Tahun 1960 ini merupakan laut pedalaman yang dahulu, selanjutnya dinamakan perairan daratan atau coastal waters.
1. Perairan pedalaman yang sebelum berlakunya Undang-Undang No. 4/Prp Tahun 1960 merupakan laut wilayah atau laut bebas. Perairan
pedalaman ini disebut laut pedalaman atau internal seas.
2. Perairan pedalaman yang sebelum berlakunya UU No. 4/Prp Tahun 1960 ini merupakan laut pedalaman yang dahulu, selanjutnya dinamakan perairan daratan atau coastal waters.
Di laut pedalaman ini, pemerintah Indonesia
menjamin hak lintas damai kapal-kapal asing. Sebagaimana kita ketahui, laut
pedalaman ini dulunya adalah bagian-bagian laut lepas atau laut wilayah dan
sudah sewajarnya kita berikan hak lintas damai kepada kapal-kapal asing. Ketentuan
yang juga dinyatakan oleh Konvensi Jenewa, dan yang ditegaskan pula oleh
pasal 8 Konvensi 1982. Di perairan daratan tidak ada hak lintas damai.
Ini adalah suatu hal yang wajar karena kedekatannya dengan pantai seperti
anak-anak laut, muara-muara sungai, teluk-teluk yang mulutnya kurang dari 24
mil, pelabuhan-pelabuhan, dan lain-lainnya.Sebagai tambahan, pemerintah
Indonesia pada tahun 1985 telah meratifikasi UNCLOS III/1982 ini dengan
mengeluarkan UU No 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention
on the Law of the Sea yang ketiga.
D. Laut Territorial
Laut
teritorial atau perairan teritorial (bahasa
Inggris: Territorial sea) adalah wilayah kedaulatan suatu
negara pantai selain wilayah daratan dan perairan
pedalamannya; sedangkan bagi suatu negara kepulauan seperti Indonesia,
Jepang,
dan Filipina,
laut teritorial meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya
perairan kepulauannya dinamakan perairan internal termasuk dalam laut
teritorial pengertian kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas laut
teritorial serta dasar laut dan tanah di bawahnya dan, kedaulatan atas laut
teritorial dilaksanakan dengan menurut ketentuan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law
of the Sea) lebar sabuk perairan pesisir ini dapat diperpanjang paling
banyak dua belas mil laut (22,224 km) dari garis dasar (baseline-sea).
wilayah laut
dengan batas 12 mil dari titik ujung terluar pulau-pulau di Indonesia pada saat
pasang surut ke arah laut. Perlu kalian tahu, bahwa jarak antara satu negara
dengan negara lain ada yang tidak terlalu jauh. Bagaimanakah bila dua negara
menguasai satu laut yang lebarnya tidak sampai 24 mil? Bila hal itu terjadi
maka wilayah laut teritorial ditentukan atas kesepakatan dua negara yang
bersangkutan. Batas laut teritorialnya ditentukan dengan garis di tengah-tengah
wilayah laut kedua negara yang bersangkutan.
Pulau yang ada di wilayah Indonesia berjumlah lebih dari 17.500 pulau baik yang besar maupun yang kecil. Dengan banyaknya jumlah pulau menyebabkan Indonesia memiliki garis pantai yang panjang. Panjang garis pantai di Indonesia sejauh 81.000 km dan merupakan salah satu garis pantai yang terpanjang di dunia. Adanya garis pantai yang panjang akan menguntungkan bagi negara itu, sebab kekayaan yang terkandung di dalamnya menjadi hak milik negara. Oleh karena itu, batas-batas wilayah laut di Indonesia harus diakui oleh dunia internasional.
Pulau yang ada di wilayah Indonesia berjumlah lebih dari 17.500 pulau baik yang besar maupun yang kecil. Dengan banyaknya jumlah pulau menyebabkan Indonesia memiliki garis pantai yang panjang. Panjang garis pantai di Indonesia sejauh 81.000 km dan merupakan salah satu garis pantai yang terpanjang di dunia. Adanya garis pantai yang panjang akan menguntungkan bagi negara itu, sebab kekayaan yang terkandung di dalamnya menjadi hak milik negara. Oleh karena itu, batas-batas wilayah laut di Indonesia harus diakui oleh dunia internasional.
E. Selat
Selat adalah sebuah wilayah perairan yang
relatif sempit yang menghubungkan dua bagian perairan yang lebih besar, dan
karenanya pula biasanya terletak di antara dua permukaan daratan. Selat buatan disebut terusan atau kanal. Selat disebut juga Laut Sempit di antara
dua daratan.
Daftar selat di Indonesia
F.
Kepulauan
Kepulauan adalah rantai atau gugus kumpulan
dari pulau-pulau, kepulauan yang terbentuk tektonik. Kata kepulauan
berasal dari Yunani ἄρχι- - arkhi-
("kepala") dan πέλαγος - pelagos ("laut") yang
berasal dari rekonstruksi linguistik bahasa Yunani abad pertengahan ἀρχιπέλαγος tepatnya nama
untuk Laut Aegea dan, kemudian, dalam penggunaan
bergeser untuk merujuk pada Kepulauan Aegean atau merujuk pada jumlah kumpulan yang besar pulau-pulau. Sekarang
digunakan secara umum yang mengacu pada setiap kelompok besar pulau seperti
yang tersebar pada Laut Aegea.
Daftar pulau
di Indonesia
Tahun
1972, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memublikasikan sebanyak 6.127 nama pulau-pulau di Indonesia. Pada tahun 1987 Pusat
Survei dan Pemetaan ABRI (Pussurta ABRI) menyatakan bahwa jumlah pulau di
Indonesia adalah sebanyak 17.508, di mana 5.707 di antaranya telah memiliki
nama, termasuk 337 nama pulau di sungai. Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), pada tahun 1992 menerbitkan
Gazetteer Nama-nama Pulau dan Kepulauan Indonesia yang mencatat sebanyak 6.489
pulau bernama, termasuk 374 nama pulau di sungai. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Pada tahun 2002 berdasarkan
hasil kajian citra satelit menyatakan bahwa jumlah pulau di Indonesia adalah
sebanyak 18.306 buah.
Data
Departemen Dalam Negeri berdasarkan laporan dari para gubernur dan bupati/wali
kota, pada tahun 2004 menyatakan bahwa 7.870 pulau yang bernama, sedangkan
9.634 pulau tak bernama. Dari sekian banyaknya pulau-pulau di Indonesia, yang
berpenghuni hanya sekitar 6.000 pulau. Di bawah ini disajikan pulau-pulau utama
Indonesia:
Sulawesi Tengah
Nusa Tenggara Barat
Maluku Utara
Maluku
G. Zona Tambahan
Menurut J.G Starke, zona tambahan
adalah suatu jalur perairan yang berdekatan dengan batas jalur maritim atau
laut teritorial, tidak termasuk kedaulatan negara pantai, tetapi dalam zona
tersebut negara pantai dapat melaksanakan hak-hak pengawasan tertentu untuk
mencegah pelaggaran peraturan perundang-undangan saniter, bea cukai, fiskal,
pajak dan imigrasi di wilayah laut teritorialnya. Sepanjang 12 mil atau tidak
melebihi 24 mil dari garis pangkal.
Zona tambahan didalam pasal 24
(1) UNCLOS III dinyatakan bahwa suatu zona dalam laut lepas yang bersambungan
dengan laut teritorial negara pantai tersebut dapat melaksanakan pengawasannya
yang dibutuhkan untuk:
1. Mencegah pelanggaran-pelanggaran
perundang-undangannya yang berkenaan dengan masalah bea cukai (customs),
perpajakan (fiskal), keimigrasian (imigration), dan kesehatan atau
saniter.
2. Menghukum pelanggaran-pelanggaran atau
peraturan-peraturan perundang-undangannya tersebut di atas.
Didalam ayat 2 ditegaskan tentang
lebar maksimum dari zona tambahan tidak boleh melampaui dari 12 mil laut diukur
dari garis pangkal. Hal ini berarti bahwa zona tambahan itu hanya mempunyai
arti bagi negara-negara yang mempunyai lebar laut teritorial kurang dari 12 mil
laut (ini menurut konvensi Hukum Laut Jenewa 1958), dan sudah tidak berlaku
lagi setelah adanya ketentuan baru dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Menurut
pasal 33 ayat 2 Konvensi Hukum Laut 1982, zona tambahan itu tidak boleh
melebihi 24 mil laut, dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial itu
diukur. Berikut ini beberapa hal guna memperjelas tentang letak zona tambahan
itu:
- Pertama, Tempat atau garis dari mana lebar
jalur tambahan itu harus diukur, tempat atau garis itu adalah g aris pangkal.
- Kedua, Lebar zona tambahan itu tidak boleh
melebihi 24 mil laut, diukur dari garis pangkal.
- Ketiga, Oleh karena zona laut selebar 12
mil laut diukur dari garis pangkal adalah merupakan laut teritorial, maka
secara praktis lebar zona
tambahan itu adalah 12 mil (24-12) mil laut, itu diukur dari garis atau batas luar laut territorial, dengan kata lain zona tambahan selalu terletak diluar dan berbatasan dengan laut teritorial.
tambahan itu adalah 12 mil (24-12) mil laut, itu diukur dari garis atau batas luar laut territorial, dengan kata lain zona tambahan selalu terletak diluar dan berbatasan dengan laut teritorial.
- Keempat, Pada zona tambahan, negara pantai
hanya memiliki yurisdiksi yang terbats seperti yang ditegaskan dalam pasal 33
ayat 1 Konvensi Hukla 1982. Hal ini tentu saja berbeda dengan laut teritorial
dimana negara pantai di laut teritorial memiliki kedaulatan sepenuhnya dan hanya
dibatasi oleh hak lintas damai.
Sampai saat ini Indonesia belum
mengumumkan zona tambahannya maupun memiliki peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang penetapan batas terluar, maupun tentang penetapan garis batas
pada zona tambahan yang tumpang tindih atau yang berbatasan dengan zona
tambahan negara lain. Badan Pembinaan Hukum Nasional dari Departemen Kehakiman
dan HAM pernah melakukan pengkajian dan menghasilkan suatu naskah akademik dan
RUU tentang Zona Tambahan, namun sampai saat ini belum menjadi Undang-Undang.
Menurut ketentuan Pasal 47 ayat 8
dan 9 dari UNCLOS, garis-garis pangkal yang telah ditetapkan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan tersebut harus dicantumkan dalam peta atau peta-peta dengan
skala atau skala-skala yang memadai untuk menegaskan posisinya. Sebagai
gantinya dapat dibuat daftar koordinat geografis titik-titik yang secara jelas
memerinci datum geodetik.
Wilayah laut Indonesia dibagi
menjadi 3 bagian yakni laut teritorial sejauh 12 mil, Zona Tambahan sejauh 24
mil dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil, untuk melindungi hak
berdaulat atas kekayaan dan yuridiksi yang dimiliki oleh Indonesia terhadap
wilayah perairannya maka dibutuhkan suatu peraturan, dalam hal ini peraturan
yang mengatur tentang Zona Tambahan, yang mana Indonesia mempunyai Yuridiksi
pengawasan di Zona Tambahan untuk mencegah dan menindak pelanggaran Bea Cukai,
Imigrasi, Fiskal dan saniter. Zona Tambahan Indonesia adalah perairan yang
berdampingan dengan Laut Teritorial Indonesia yang dapat diukur selebar 24 mil
laut dari Garis Pangkal Lurus Kepulauan.
Pendapat pakar hukum laut, Hasyim
Djalal, mengenai Zona Tambahan (contiguous zone) adalah sepanjang
yang berkaitan dengan batas contiguous zone, belum ada satupun
batas yang ditetapkan dengan Negara-negara tetangga. Malah Indonesia sampai
sekarang belum lagi mengundangkan ketentuannya mengenai zona ini. Walaupun
seluruh Negara tetangga Indonesia telah mengundangkannya. Disinilah kelalaian
Indonesia yang sangat menonjol. Karena itu sangat penting bagi Indonesia untuk
menetapkan ketentuan perundang-undangan mengenai ketentuan contiguous
zone ini dan kemudian merundingkan batas-batasnya dengan Negara-negara
terkait, khususnya dengan Thailand, Malaysia, Philipina, dan Australia.
Beberapa alternatif penyusunan
pengaturan hukum di Zona Tambahan, yakni alternatif pertama dibuatkan
undang-undang tersendiri mengenai Zona Tambahan Indonesia, alternatif kedua
menyempurnakan RUU tentang Kelautan dengan menambahkan pengaturan-pengaturan
hukum tentang Zona Tambahan Indonesia, alternatif ketiga menyempurnakan
Undang-undang Nomor 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
dengan menambahkan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia, alternatif
keempat menyempurnakan Undang-undang di bidang-bidang Kepabeanan (Bea Cukai),
Imigrasi, Perpajakan (fiskal), saniter (kesehatan/karantina) dan cagar budaya,
dengan menambahkan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia, dan
alternatif yang kelima menyempurnakan Undang-undang nomor 6 tahun 1996 tentang
perairan Indonesia dengan menambahkan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan
Indonesia.
Alternatif yang paling tepat
adalah alternatif kelima yakni menyempurnakan Undang-undang nomor 6 tahun 1996
tentang Perairan Indonesia dengan menambahkan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan
Indonesia, dengan alasan judul pengaturan dalam UNCLOS 1982 adalah: “TERRITORIAL
SEA AND CONTIGUOUS ZONE” maka lebih praktis menyempurnakan
Undang-undang nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dengan menambahkan
pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia. Konsep pengaturan hukum di
Zona Tambahan Indonesia, yang dibagi kedalam 4 pasal, yaitu pasal 1 ayat (1) di
zona yang berbatasan denga Laut Teritorial Indonesia, selanjutnya disebut Zona
Tambahan Indonesia, Aparat Penegak Hukum yang berwenang, dapat melakukan
pengawasan yang perlu untuk : a. Mencegah pelanggaran atas peraturan
perundang-undangan di bidang kepabeanan, ke fiskalan, keimigrasian, dan
kekarantinaan dalam wilayah darat atau wilayah perairan Indonesia, b. Menindak
pelanggaran atas peraturan perundang-undangan tersebut dalam huruf a yang
dilakukan di dalam wilayah atau laut teritorial Indonesia. Ayat (2) zona
tambahan tidak dapat melebihi 24 mil laut diukur dari garis pangkal untuk
mengatur lebar Laut Teritorial. Pasal 2 pengangkatan benda purbakala atau benda
sejarah dari zona tambahan Indonesia hanya dapat dilakukan dengan ijin
pemerintah. Pasal 3 ayat (1) dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 2,
pengangkatan dan pemanfaatan kerangka kapal, benda berharga atau muatan kapal yang
tenggelam (BMKT) dari zona tambahan, hanya dapat dilakukan dengan ijin
pemerintah. Ayat (2) kerangka kapal atau barang berharga asal muatan kapal yang
tenggelam sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), yang dalam waktu 30 (tiga
puluh) tahun setelah tenggelam tidak diangkat dari dasar laut, dianggap telah
ditinggalkan oleh pemiliknya, dan oleh karena itu menjadi milik Negara. Pasal 4
berisi sanksi atas pelanggaran hukum yang berlaku di wilayah Negara Republik
Indonesia berlaku terhadap pelanggaran hukum atas ketentuan-ketentuan di zona
tambahan Indonesia.
Ada 2 hal yang belum diatur dan
membutuhkan peraturan perundang-undangan yakni Zona Tambahan dan Landas
Kontinen. Sebaiknya pengaturan hukum zona tambahan dimasukkan kedalam RUU
Kelautan yang sedang berjalan di DPR, hal ini dimaksudkan agar pengaturan hukum
zona tambahan dapat berjalan dengan menghemat waktu dan biaya,
dibandingkan dengan harus membuat UU sendiri. Banyak pendapat lebih condong
untuk memasukan pengaturan hukum zona tambahan kedalam UU ZEE atau RUU
kelautan.
Sebagai kesimpulan, mengerucut
kepada dua alternatif yakni menyempurnakan RUU Kelautan atau merevisi UU nomor
6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
Agar kesepakatan penentuan
penambahan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia dari 2 alternatif
terpilih (RUU Kelautan atau UU No.6 th. 1996 tentang Perairan Indonesia), perlu
dicermati berdasarkan azas efektif dan efisien serta target yang harus
dicapai pada akhir 2010, mengingat masih terjadinya perdebatan cukup “alot”
dari kementerian dan Institusi terkait mengenai tindak lanjut
RUU Kelautan. Selanjutnya, perlu juga di perhatikan peraturan2 yang sudah ada
di seluruh kementerian atau lembaga serta institusi terkait agar tidak terjadi
tumpang tindih, tidak bertentangan namun menambah kewenangan.
H. Landas kontine
Landas
kontinen adalah suatu Negara berpantai meliputi dasar laut dan tanah di
bawahnya yang terletak di laur laut teritorialnya sepanjang merupakan
kelanjutan alamiah wilayah daratannya. Jaraknya 200 mil laut dari garis pangkal
atau dapat lebih dari itu dengan tidak melebihi 350 mil, tidak boleh melebihi
100 mil dari garis batas kedalaman dasar laut sedalam 2500 mil.
Landas Kontinen (BLK) adalah daerah di bawah laut yang meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah dibawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggiran laut tepi kontinen, sehingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut. Garis batas luar kondisi kontinen pada dasar laut, tidak boleh melebihi 350 mil laut dari garis pangkal atau tidak melebihi 100 mil laut dari garis kedalaman (isobath) 2500m, kecuali untuk elevasi dasar laut yang merupakan bagian alamiah tepian kontinen, seperti pelataran (plateau), tanjakan (rise), puncak (caps), ketinggian yang datar ( banks) dan puncak gunung yang bulat (spurs).
Landas Kontinen (BLK) adalah daerah di bawah laut yang meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah dibawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggiran laut tepi kontinen, sehingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut. Garis batas luar kondisi kontinen pada dasar laut, tidak boleh melebihi 350 mil laut dari garis pangkal atau tidak melebihi 100 mil laut dari garis kedalaman (isobath) 2500m, kecuali untuk elevasi dasar laut yang merupakan bagian alamiah tepian kontinen, seperti pelataran (plateau), tanjakan (rise), puncak (caps), ketinggian yang datar ( banks) dan puncak gunung yang bulat (spurs).
I.
Zona Ekonomi Eklusif
Pada tanggal 21 Maret
1980 Indonesia mengumumkan ZEE. Batas Zona Ekonomi Eksklusif adalah wilayah
laut Indonesia selebar 200 mil yang diukur dari garis pangkal laut wilayah
Indonesia. Apabila ZEE suatu negara berhimpitan dengan ZEE negara lain maka
penetapannya didasarkan kesepakatan antara kedua negara tersebut. Dengan adanya
perundingan maka pembagian luas wilayah laut akan adil. Sebab dalam batas ZEE
suatu negara berhak melakukan eksploitasi, eksplorasi, pengolahan, dan
pelestarian sumber kekayaan alam yang berada di dalamnya baik di dasar laut
maupun air laut di atasnya. Oleh karena itu, Indonesia bertanggung jawab untuk
melestarikan dan melindungi sumber daya alam dari kerusakan.
J. Laut lepas
Berdasarkan
pasal 86 konvensi PBB tentang hukum laut menyatakan bahwa laut lepas
merupakan semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonoi
eksklusif, dalam laut teritorial atau dalam perairan pedalaman suatu negara,
atau dalam perairan kepulauan suatu negara kepulauan. Jadi sesuai definisi
ini laut lepas terletak di bagian luar zona ekonomi eksklusif.adapun prinsip
hukum yang mengatur rezim dilaut lepas adalah prinisip kebebasan.. oleh
karena itu pada dulunya negara-negara anglo-saxon menamai laut lepas itu open
sea. Namun demikian prinsip kebebasan ini harus pula dilengkapi dengan
tindakan-tindakn pengawasan, kerena kebebasan tanpa pengawasan dapat mengacau
kebebasan itu sendiri.
Prisip kebebasan di laut lepas
Secara
umum dan sesuai dengan pasal 87 konvensi, kebebasan dilaut lepas berarti bahwa
laut lepas dapat digunakan oleh negara manapun. Menurut pasal 87 konvensi tersebut
diatas kebebasan-kebebasan tersebut antara lain :
- kebebasan berlayar,
- kebebasan penerbangan,
- kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah
laut, dengan mematuhi ketentuan-ketentuan bab VI konvensi,
- kebebasan untuk membangun pulau buatan dan
instalasi-instalasi lainnya yang diperbolehkan berdasarkan hukum
internasional dengan tunduk kepada babVI,
- kebebasan menangkap ikan dengan tunduk pada
persyaratan yang tercantum dalam sub bab II,
- kebebasan riset ilmiah, dengan tunduk pada bab VI
dan bab XIII.
Kebebasan ini berarti juga bahwa tidak satupun negara yang dapat menundukkan
kegiatan apapun di laut lepas di bawah kedaulatannya dan laut lepas hanya dapat
digunakna untuk tujuan-tujuan damai sebagaimana yang telah ditetapkan dalam
pasal-pasal 88 dan 89 konvensi.
Sekarang
ini penggunaan laut lepas untuk keperluan khusus bersifat nasional seperti
percobaan nuklir sering menimbulkan permasalahan dengan keseluruhan kebebasan
laut lepas yang telah diakui oleh masyarakat dunia. Dibuatnya suatu parameter
yang melarang navigasi kapal-kapal waktu pelaksanaan ujicoba nuklir misalnya
mendapat tantangan dari banyak negara karena mengurangi kebebasan dilaut lepas.
Kritikan terhadap penggunaan laut lepas untuk ujicoba nuklir tertsebut
terutamadidasarkan atas ketentuan pasal 88 dalam konvensi yang menyatakan laut
diperuntukan untuk tujuan-tujuan damai. Didirikannya suatu zona terlarang
selama berlangsungnya ujicoba tentu saja bertentangan dengan prinsip kebebasan
berlayar dan kebebasan terbang diatasnya. Sehubungan dengan ini banyak negara
membuat konvensi yang mengharuskan perundang-undangan nasionalnya berisikan
ketentuan untuk membayarkan ganti rugi pada negara-negara lain dalam
peleksanaan kebebasan –kebebasan tertentu dilaut lepas.
Pengawasan di laut lepas
Pengawasan
di laut lepas dirasakan perlu untuk menjamin kebebasan penggunaan laut.
Pengawasan ini dilakukan oleh kapal-kapal perang. Pengawasan yang dilakukan di
laut lepas tersebut dibagi atas dua bagian yaitu pengawasan umum dan
pengawasan khusus.
terimakasih atas informasinya. Silahkan berkunjung ke blog saya dan baca artikel yang berjudul hukum laut internasional
ReplyDeleteSebelumnyan Kita Memintak Maaf Atas Keterlambatan Kita dalam Membalas Komentar Mas Toha UIN, dikarnakan ada sedikit kendala dalam Blog Kita ini.
DeleteTerimakasih juga telah berkunjung ke blog Kita, semoga ilmu yang ada disini bisa bermanfaat buat kita semua. ia Mas, insya Allah akan Kita kunjungi Blog Mas.
mas , tulisannya kok masih ada yang salah? coba pada bagian nama-nama pulau Indonesia...mana ada Pulau Aceh, dstnya...
ReplyDeletemas , tulisannya kok masih ada yang salah? coba pada bagian nama-nama pulau Indonesia...mana ada Pulau Aceh, dstnya...
ReplyDeletethank, sudah shere
ReplyDeleteHallo terimakasih informasinya, silakan mampir ke blog saya jg membahas tentang hukum laut internasional
ReplyDeleteKalau boleh tau ini refrensinya dari buku apa ya
ReplyDelete