Hukum Perkawinan
A. Pengertian
Pengertian perkawinan menurut peraturan perundang-
undangan menurut pasal 1 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan di dalam ketentuan pasal-pasal KUHPerdata,
tidak memberikan pengertian perkawinan itu. Tetapi menyatakan bahwa perkawinan
adalah suatu 'perikatan' (verbindtenis). Dalam hal ini marilah kita lihat
kemabali dalam pada pada 26 KUH Perdata. Jadi Kitab Undang-undang Hukum Perdata
memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata. Hal
ini berarti bahwa undang-undang hanya mengakui perkawinan perdata sebagai
perkawinan yang sah, berarti perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedang syarat-syarat serta
peraturan agama tidak diperhatikan atau dikesampingkan.
Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 bahwa perkawinan
menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan
gholiidhzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.
Menurut
hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan berarti sebagai
"perikatan perdata" tetapi juga merupakan "perikatan adat"
dan sekaligus merupakan "perikatan kekerabatan dan ketetanggaan".
Jadi, terjadinya perikatan perkawinan bukan saja semata-mata membawa akibat
terhadap hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami isteri,
harat bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juuga
menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat, kewarisan kekeluargaan,
kekerabatan, dan ketetanggan, serta menyangkut upacara-upacara adat dan
keagamaan. Begitu juga menyangkut kewajiban mentaati perintah dan larangan
keagamaan, baik dalam hubungan dengan manusia dengan Tuhannya(ibadah) maupun
hubungan sesama manusia (mu'amalah) dalam pergaulan hidupagar selamat dunia dan
akhirat.
B. Prinsip-prinsip
Perkawinan
1.
Menurut UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974
a. Tujuan
perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami
istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat
mengembangkan pribadinya, membantu dalam mencapai kesejahteraan spiritual dan
material.
b.
Dalam Undang-Udang ini dinyatakan bahwa suatu
perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat
menurut perturan perundang-undangan yang belaku, pencatatan tiap-tiap
perkawinan adalah sama halnya denagn pencatatan peristiwa-peristiwa penting
dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam
surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar
pencatatan.
c.
Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya
apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang
bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang.
Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri,
meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat
dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh
Pengadilan Agama.
d. Undang-Udang
ini mengatur prinsip, bahwa calon sumai istri itu harus siap jiwa raganya untuk
dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan
secara baik tanpa berakhir dengan perceraian, dan mendapat keturunan yantg baik
dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri
yang masih dibawah umur, karena perkawinan itu mempunyai hubungan dengan
masalah kependudukan, maka untuk mengerem lajunya kelahiran yang lebih tinggi,
harus dicegah terjadinya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah
umur. Sebab batas umur yang lebuh rendah bagi seorang wanita untuk kawin,
mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan batas
umur yang lebih tinggi, berhubungan dengan itu, maka Undang-Udang Perkawinan
ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah
19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
e. Karena
tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dan
sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar tejadinya
perceraian. Untuk memungkin perceraian harus ada alasan-alasan tertentu (pasal
19 Peraturan Pemerintah N. 9 tahun 1975) serta harus dilakukan di depan sidang
Pengadilan Agama bagi orang Islam dan Pengadilan Negeri bagi golongan luar
Islam.
f. Hak dan
kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat, sehingga dengan
demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama
suami istri.
2. Menurut Hukum Islam
Dalam ajaran Islam ada beberapa prinsip-prinsip dalam
perkawinan, yaitu:
a.
Harus ada persetujuan secara suka rela dari
pihak-pihak yang mengadakan perkawinan. Caranyanya adalah diadakan peminangan
terlebuh dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk
melaksanakan perkawinan atau tidak.
b.
Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria,
sebab ada ketentuan larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita yang
harus diindahkan.
c.
Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun
yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.
d.
Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu
keluarga atau rumah tangga tentram, damai, dan kekal untuk selam-lamanya.
e.
Hak dan kewajiban suami istri adalah seimbang dalam
rumah tangga, dimana tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami.
Kalau kita bandingkan prinsip-prinsip dalam perkawinan
menurut Hukum Islam dan menurut Undang-Udang Perkawinan, maka dapat dikatakan
sejalan dan tidak ada perbedaan yang prinsipil atau mendasar.
C. Perbedaan
tujuan perkawinan UU Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI
Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 mendefenisikan
perkawinan yaitu ” perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Berdasarkan UU Perkawinan tersebut, dapat diartikan
bahwa tujuan perkawinan menurut UU tersebut adalah untuk mencapai bahagia dan
kekal berdasrkan Ketuhan Yang Maha Esa. Arti bahagia sebenarnya bukan konsep
fikih (Hukum Islam). Hal ini sejalan dengan defenisi Sayuti Thalib yaitu
perkawinan adalah perjanjian kokoh dan suci antara seorang perempuan dan
laki-laki sebagai suami istri untuk membentuk rumah tangga yang bahagia, kasih
mengasihi, tentram dan kekal. Sedangkan defenisi kekal itu diambil adari ajaran
Katolik Roma, yang mengartikan perkawinan itu adalah sehidup semati. Namun bisa
juga diartikan bahwa perkawinan itu harus ada kesetian antara pasangan suami
dan istri.
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) tujuan
perkawinan dijelaskan pada pasal 3 KHI yaitu ” Perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan rumah tangga sakinah, mawaddah dan wa rahmah. ” Artinya tujuan
perkawinan sesuai dengan konsep Hukum Islam. Perbedaan KHI dan UU Nomor 1 Tahun
1974 juga tampak pada penerapan sahnya perkawinan. Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun
1974 menjelaskan ” Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu”. Artinya perkawinan yang dilakukan menurut
hukum agama Islam, Kristen, Budha, Hindu adalah sah menurut UU Perkawinan.
Hal ini berbeda menurut pasal 4 KHI yaitu ” perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat 1
UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan”. Artinya KHI lebih menekankan
perkawinan dalam konsep hukum Islam, namun tetap didasarkan pada UU Nomor 1
Tahun 1974.
D. Hakikat,
Asas, Syarat, Tujuan Perkawinan menurut Peraturan Perundang-Undangan
1.
Hakikat Perkawinan
Menurut UU No. 1/1974 pasal 1, hakikat perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri. Jadi hakikat perkawinan bukan sekedar ikatan formal belaka,
tetapi juga ikatan batin antara pasangan yang sudah resmi sebagai suami dan
isteri.
Dalam KHI pasal 2 hakikat perkawinan adalah untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakanya merupakan ibadah.
Sedangkan menurut KUHPerdata hakikat perkawinan adalah
merupakan hubungan hukum antara subyek-subyek yang mengikatkan diri dalam
perkawinan. Hubungan tersebut didasarkan pada persetujuan di antara mereka dan
dengan adanya persetujuan tersebut mereka menjadi terikat.
2.
Asas Perkawinan
Menurut UU No. 1/1974 pasal 3 adalah asas monogami
relatif, artinya boleh sepanjang hukum dan agamanya mengizinkan. Asas tersebut
sejalan dengan apa yang dimaksud dengan KHI. Sedangkan KUHPerdata menganut asas
monogami mutlak karena ini berdasarkan kepada doktrin Kristen (Gereja).
3. Syarat Sahnya Perkawinan
Menurut pasal 2 UU No. 1/1974 bahwa perkawinan adalah
sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Setiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini
sejalan dengan KHI, dalam pasal 4 KHI bahwa perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut Hukum Islam. Dan dalam pasal 5 KHI bahwa setiap perkawinan
harus dicatat agar terjamin ketertiban perkawinan. Kemudian dalam pasal 6 KHI
bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatatan nikah
tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pada pasal 6 s/d 12 UU No. 1/1974 syarat-syarat
perkawinan, yaitu adanya persetujuan kedua calon mempelai, ada izin orang tua
atau wali bagi calon yang belum berusia 21 tahun, usia calon pria berumur 19
tahun dan perempuan berumur 16 tahun, tidak ada hubungan darah yang tidak boleh
kawin, tidak ada ikatan perkawinan dengan pihak lain, tidak ada larangan kawin
menurut agama dan kepercayaannya untuk ketiga kalinya, tidak dalam waktu tunggu
bagi wanita yang janda.
Sedangkan syarat perkawinan menurut KUHPerdata adalah
syarat material absolut yaitu asas monogami, persetujuan kedua calon mempelai,
usia pria 18 tahun dan wanita 15 tahun, bagi wanita yang pernah kawin harus 300
hari setelah perkawinan yang terdahulu dibubarkan. Sedang syarat material
relatif, yaitu larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat di dalam
kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan, larangan untuk kawin dengan orang
yang pernah melakukan zina, larangan memperbaharui perkawinan setelah adanya
perceraian jika belum lewat waktu 1 tahun. Menurut pasal 14 KHI dalam
melaksanakan perkawinan harus ada calon suami dan isteri, wali nikah, dua orang
saksi serta sighat akad nikah.
4.
Tujuan Perkawinan
Dalam pasal 1 UU No. 1/1974 adalah untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan
dalam KUHPerdata tidak ada satu pasalpun yang secara jelas-jelas mencantumkan
mengenai tujuan perkawinan itu. Dalam pasal 3 Kompilasi Hukum Islam tujuan
perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan berumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah.
Sedangkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang
soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.
E. Kedudukan Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, maka teori resepsi seperti yang
diajarkan di Zaman Hindia Belanda menjadi hapus dengan sendirinya. Teori
resepsi adalah teori yang menyatakan bahwa Hukum Islam baru berlaku di
Indonesia untuk penganut agama Islam apabila sesuatu Hukum Islam telah
nyata-nyata diresapi oleh dan Hukum adat, maka dengan pasal-pasal tertentu
dalam Undang-Undang Perkawinan ini tidak ada keragua-raguan untuk menerima
dalil bahwa Hukum Islam telah langsung menjadi sumber hukum tanpa memerlukan
bantuan atau peraturan Hukum Adat. Disamping pendapat tersebut diatas, ada juga
pendapat yang dikemukakan bahwa sebetulnya teori resepsi itu baik sebagai teori
maupun sebagai ketetapan dalam pasal 134 ayat 2 Indisce Staatsregeling telah
terhapus dengan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945.
Hal ini bisa kita lihat dalam Undang-Undang Dasar 1945
pasal 19 ayat 2 yang memuat ketentuan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamnya dan kepercayaannya. Dari ketentuan pasal 29 ayat 2 tersebut diatas.
Maka pemerintah berhak untuk mengatur persoalan-persoalan tertentu berdasarkan
Hukum Islam, sejauh mana peraturan-peraturan itu diperuntukan bagi warga negara
yang beragama Islam. Jadi berlakunya Hukum Islam bagi warga negara Indonesia
yang beragam Islam tidak usah melihat apakah hukum Islam telah menjadi hukum
adat atau belum.
Mengenai berlakunya Hukum Islam di Indonesia dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan
Pemerintah nomor 9 tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaanya, apabila ditinjau
secara sepintas dapat dianggap tidak berlaku lagi, karena dengan berlakuknya
peraturan perundang-undangan tersebut diatas, maka sejak 1 Oktober tahun 1975
hanya ada satu peraturan perkawinan yang berlaku untuk seluruh wargan negara
Indonesia tanpa melihat golongannya masing-masing. Hal ini dengan tegas disebut
dalam pasal 66 Undang-Undang perkawinan yang menentukan bahwa dengan berlakunya
Undang-undang ini maka ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Perdata (Burgerlijk Wetbook), Ordonansi Perkawinan Indonesia
Kristen (Huwelijk Ordonantie Christen Indonesier Stb. 1933 Nopember. 74),
Peraturan Ordonantie Campuran, Gereling op Desember Gemengde Huwelijk Stb. 1898
Nopember. 158, dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan
sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Anggapan yang menyatakan bahwa dengan berlakunya
Undang-Undang Perkawinan ini, hukum perkawinan Islam tidak berlku lagi adalah
tidak tepat, sebab menurut ketentuan dalal pasal 66 tersebut diatas yang
dianggap tidak berlaku bukanlah peraturan-peraturan tersebut diatas secara
keseluruhan melainkan hanyalah hal-hal yang mengatur tentang perkawinan sejauh
telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan ini, dalam hal-hal yang belum atau
tidak diatur dalam Undang-undang Perkawinan ini masih tetap berlaku.
Disamping ketentuan tersebut diatas tentang masih
tetap berlakunya hukum Perkawinan Islam bagi mereka yang beragama Islam, secara
tegas disebutkan dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan yang menentukan
bahwa perkawinan adalah sah pabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya. Dengan demikian maka hal-hal yang belum diatur dan
tidak bertentangan dengan Undang-undang Perkawinan ini. tetap berlaku menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, maka bagi warga negara
Indonesia yang beragam Islam yang hendak melakukan perkawinan supaya sah harus
dilaksanakan menurut ketentuan hukum perkawinan Islam.
Dengan demikian maka maka pasal 2 ayat 1 Undang-undang
Perkawinan ini dapat dipakai sebagai dasar hukum berlakuknya hukum perkawinan
Islam di Indonesia sebagai peraturan-peraturan khusus disamping
peraturan-peraturan umum yang telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan,
untuk wargan negara Indonesia yang beragama Islam.
F. Kedudukan
Hukum Perkawinan dalam Agama Islam.
Hukum Perkawinan dalam agama Islam mempunyai kedudukan
yang sangat penting, oleh karena itu peraturan-peraturan tentang perkawinan ini
diatur dan diterangkan dengan jelas dan terperinci. Hukum Perkawinan Islam pada
dasarnya tidak hanya mengatur tatacara pelaksanaan perkawinan saja, melainkan
juga segala persoalan yang erat hubungannya dengan perkawinan, misalnya:
hak-hak dan kewajiban suami istri, pengaturan harta kekayaan dalam perkawinan,
cara-cara untuk memutuskan perkawinan, biaya hidup yang harus diadakan sesudah
putusnya perkwinan, Pemeliharaan anak, nafkah anak, pembegian harta perkawinan
dan lain-lain.
G. Pentingnya
perkawinan bagi kehidupan manusia, khusus bagi orang Islam adalah sebagai
berikut:
a.
Dengan melakukan perkawinan yang sah dan dapat
terlaksana pergaulan hidup manusia baik secara individual maupun kelompok
antara pria dan wanita secara terhormat dan halal, sesuai dengan kedudukan
manusia sebagai makhluk yang terhormat diantara makhluk-makhluk Tuhan yang
lain.
b.
Dengan melaksanakan perkawinan dapat terbentuk suatu
rumah tangga dimana dalam kehidupan rumah tangga dapat terlaksana secara damai
dan tentram suami istri.
c.
Dengan melaksanakan perkawinan yang sah, dapat
diharapkan memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat sehingga kelangsungan
hidup dalam keluarga dan keturunannya dapat berlangsung terus jelas dan bersih.
d.
Dengan terjadimnya perkawinan, maka timbulah sebuah
keluarga yang merupakan inti dari pada hiduip bermasyarakat, sehingga dapat
diharapkan timbul suatu kehidupan masyarakat yang teratur dan berada dalam
suasana damai.
e.
Melaksanakan perkawinan dengan mengikuti
ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, adalah
merupakan salah satu ibadah bagi umat Islam.
I.
Bentuk-bentuk Perkawinan Adat
Menurut cara
terjadinya atau persiapan perkawinan bentuk- bentuk perkawinan adat dibedakan
menjadi:
- Perkawinan Pinang
Yaitu bentuk
perkawinan dimana persiapan pelaksanaan perkawinan dilaksanakan dengan cara
meminang atau melamar. Pinangan pada umumnya dari pihak pria kepada wanita
untuk menjalin perkawinan.
- Perkawinan Lari Bersama
Yaitu
perkawinan dimana calon suami dan istri berdasarkan atas persetujuan kedua
belah pihak untuk enghindarkan diri berbagai keharusan sebagai akibat
perkawinan mereka berdua lari kesuatu tempat untuk melangsungkan perkawinan.
- Kawin Bawa Lari
Yaitu bentuk perkawinan dimana
seorang laki- laki melarikan seorang wanita secara paksa.
Berdasarkan
atas tata susunan kekerabatan perkawinan dibedakan menjadi 3 bentuk, yaitu:
1) Bentuk perkawinan pada masyarakat Patrilineal
dibedakan menjadi :
- Perkawinan Jujur
Suatu bentuk perkawinan yang
dilakukan dengan memberikan jujur. Oleh pihak laki- laki kepada pihak
perempuan, sebagai lambang diputuskannya kekeluargaan sang istri dengan orang
tua, kerabat, dan persekutuannya. Perkawinan yang dilakukan dengan pembayaran
“jujur” dari pihak pria kepada pihak wanita. Dengan diterimanya uang atau
barang jujur, maka berarti setelah perkawinan si wanita akan mengalihkan
kedudukannya menjadi keanggotaan kerabat suami. Wanita tersebut mengikatkan
diri pada perjanjian untuk ikut di pihak suami, baik pribadi maupun harta benda
yang dibawa akan tunduk pada hukum adat suami, kecuali ada ketentuan lain.
Setelah isteri ada di tangan suami, maka isteri dalam segala perbuatan hukumnya
harus berdasarkan persetujuan suami atau atas nama suami atau atas persetujuan
kerabat suami. Isteri tidak boleh bertindak sendiri oleh karena ia adalah
pembantu suami dalam mengatur kehidupan rumah tangga, baik dalam hubungan
kekerabatan maupun dalam hubungan kemasyarakatan.
- Perkawinan Mengabdi
Yaitu perkawinan yang disebabkan
karena pihak pria tidak dapat memenuhi syarat- syarat dari pihak wanita.
Mak perkawinan dilaksanakan dengan
pembayaran perkawinan dihutang atau ditunda. Dengan perkawinan mengabdi maka
pihak pria tidak usah melunasi uang jujur. Pria mengabdi pada kerabat mertuanya
sampai utangnya lunas.
- Perkawinan Mengganti/ Levirat
Yaitu perkawinan antara seorang
janda engan saudara laki-laki almarhum suaminya.
Bentuk perkawinan ini adalah sebagai
akibat adanya anggapan bahwa seorang istri telah dibeli oleh pihak suami dengan
telah membayar uang jujur. Perkawinan mengganti di Batak disebut “paraekhon”,
di Palembang dan Bengkulu disebut dengan “ganti tikar” dan di Jawa
dikenal dengan “medun ranjang”.
- Perkawinan Meneruskan/ Sorotan
Yaitu bentuk perkawinan seorang balu
(duda) dengan saudara perempuan almarhum istrinya. Perkawinan ini tanpa
pembayaran yang jujur yang baru, karena istri kedua dianggap meneruskan fungsi
dari istri pertama.
Tujuan perkawinan ini :
Terjalinnya keutuhan keluarga
(hubungan kekeluargaan) agar kehidupan anak-anak yang lahir dari perkawinan
yang lalu tetap terpelihara juga untuk menjaga keutuhan harga kekayaan (harta
perkawinan). Di Jawa disebut dengan perkawinan “Ngarang wulu”
- Perkawinan Bertukar
Bentuk perkawinan dimana
memperbolehkan sistem perkawinan timbal balik (symetris connubium).
Sehingga pembayaran jujur yang
terhutang secara timbal balik seakan-akan dikompensikan, pembayaran jujuar bertimbal
balik diperhitungkan satu dengan yang lain, sehingga keduanya menjadi hapus.
Dalam masyarakat Patrilineal dikenal
perkawinan yang dilakukan “tanpa pembayaran perkawinan (uang jujur)”
- Perkawinan Ambil Anak
Yaitu perkawinan yang dilakukan
tanpa pembayaran jujur, yaitu dengan menganggkat si suami sebagai anak
laki-laki mereka, sehingga si istri tetap menjadi anggota clan semula. Si suami
telah menjadi anak laki-laki dari ayah si istri, sehingga anak-anak yang lahir
kelak akan menarik garis keturunan ayahnya.
Alasan dilakukannya perkawinan Ambil
Anak karena dalam masyarakat Patrilineal tidak mempunyai anak laki-laki,
sehingga hubungan patrilinealnya akan punah.
Maka menantu laki-laki diangkat
sebagai anak, sebagai cucu-cucunya dapat meneruskan garis kekeluargaannya yang
dapat patrilineal.
Perkawinan ambil anak dapat berbentuk :
- Perkawinan ambil anak :
Yaitu perkawinan antara seorang
pemuda dari luar persekutuan , dengan anak gadis seorang pejabat si pemuda
diadopsi menjadi anak angkat, agar menantu laki-laki yang telah diadopsi dapat
meneruskan kebesaran dan menerima warisan
Contoh :
Perkawinan Semedo Tambil Anak ( di
daerah Lampung ).
Dimana seorang pejabat kebesaran
adat hanya mempunyai anak perempuan dari bini baru (istri tuanya) , maka untuk
mempertahankan kebesarannya dalam kerabatnya yang patrilineal, dilakukan
perkawinan ambil anak.
- Perkawinan Tegak-Tegik
Yaitu perkawinan antara anak
perempuan dari clan yang bersistem patrilineal dengan kemenakan laki-laki yang
dijadikan anak angkat, agar menantu laki-laki yang dijadikan anak angkat
laki-laki itu, dapat menerima warisan yang kelak diteruskan kepada cucunya.
- Perkawinan Jeng Mirul
Yaitu perkawinan yang menyebabkan
suami beralih menjadi anggota kerabat istri karena suami dijadikan anak angkat.
Sehingga suami menjadi wakil mutlak bagi anak-anak nya untuk mengawasi harta
peninggalan.
- Perkawinan meminjam Jago
Yaitu perkawinan dimana suami tidak
beralih kedalam clan si istri.Suami hanya ditoleransikan sebagai penyambung
keturunan. Suami berkedudukan sebagai orang menumpang, Anak anaknya masuk clan
ibu nya
2) Bentuk perkawinan pada masyarakat Matrilineal
Yaitu sistem perkawinan di mana
diatur menurut tat tertib garis ibu, sehingga setelah dilangsungkan perkawinan
si istri tetap tinggal dalam clannnya yang matrilineal.
Perkawinan menganut ketentuan
eksogami, si suami tetap tinggal dalam clannya sendiri, diperkenankan bergaul
dengan kerabat istri sebagai “urung sumando” atau ipar.
Anak-anak yang akan dilahirkan
termasukdalam clan ibunya yang matrilineal.
- Perkawinan
semanda
Perkawinan
semanda adalah bentuk perkawinan tanpa pembayaran jujur dari pihak pria kepada
pihak wanita. Setelah perkawinan si pria harus menetap di pihak kekerabatan
isteri atau bertanggungjawab meneruskan keturunan wanita di pihak isteri.
Adakalanya walaupun tidak ada pembayaran jujur, namun pihak pria harus memenuhi
permintaan uang atau barang dari pihak wanita.
Perkawinan semanda dalam arti
sebenarnya ialah perkawinan di mana suami setelah perkawinan menetap dan
berkedudukan dipihak isteri dan melepaskan hak dan kedudukannya di pihak
kerabatnya sendiri. Di Minangkabau pihak wanita yang meminang pria harus
memberikan uang atau barang “panjapui” yang jumlahnya menurut tingkat kedudukan
dari si pria. Kadang jumlahnya cukup tinggi dikarenakan kedudukan pria lebih
tinggi dari wanita.
3) Bentuk perkawinan pada masyarakat
Parental
Yaitu bentuk perkawinan yang
mengakiatkan bahwa pihak suami maupun pihak istri, masing- masing menjadi
anggota kerabat dari kedua belah pihak. Demikian juga anak- anaknya yang lahir
kelak dan seterusnya
Sistem Perkawinan
1. Sistem endogami
Orang hanya diperbolehkan kawin
dengan orang dari suku keluarganya sendiri, seperti di Toraja, namun lambat
laun akan hilang karena hubungan daerah satu dengan daerah lain kini makin
mudah, selain itu di Toraja susunan keluarganya adalah parental.
2. Sistem exogami
Orang diharuskan kawin dengan orang
di luar suku keluarganya, seperti di Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau,
Sumatera Selatan.
3. Sistem eleutherogami.
Sistem ini tidak mengenal larangan
seperti endogami dan exogami. Larangan yang terdapat dalam sistem ini adalah
bertalian dengan ikatan kekeluargaan, yaitu karena:
- Nasab
(turunan yang dekat) = seperti kawin dengan ibu, nenek, anak kandung,
cucu, juga dengan saudara kandung, saudaranya bapak atau saudaranya ibu.
- Musyaharah
(per-iparan) = seperti kawin dengan ibu tiri, menantu,mertua, atau anak
tiri.
Jenis perkawinan lainnya seperti :
-
Perkawinan Mentas
Bentuk perkawinan dimana kedudukan suami isteri dilepaskan dari tanggung
jawab orang tua keluarga kedua pihak, untuk dapat berdiri sendiri membangun
keluarga rumah yang bahagia dan kekal. Orang tua / keluarga dalam perkawinan
mentas ini hanya bersifat membantu, memberikan bekal hidup dengan pemberian
harta kekayaan secara pewarisan berupa rumah atau tanah pertanian sebagai
barang bawaan kedalam perkawinan mereka. Dalam pelaksanaan perkawinan mentas
yang penting adalah adanya persetujuan ke dua orang tua atau wali dari pria dan
wanita bersangkutan, begitu pula adanya persetujuan antara pria dan wanita yang
akan melakukan perkawinan itu. Didalam persetujuan perkawinan tidak ada sangkut
paut masalah hubungan kekerabatan, bahkan jika perlu cukup dengan hubungan ketetanggan.
Dalam perkawinan mentas yang lebih menentukan adalah harta kekayaan atau
kebendaan.
-
Perkawinan Anak – Anak
Di beberapa lingkungan masyarakat adat, tidak saja
pertunangan yang dapat berlaku sejak masa bayi, tetapi dapat juga perkawinan
antara pria dan wanita yang masih belum dewasa, atau antara pria yang sudah
dewasa dengan wanita yang masih anak-anak, atau sebaliknya. Di Bali, perkawinan
anak-anak merupakan perbuatan terlarang, namun di banyak daerah merupakan
perbuatan yang tidak dilarang. Misalnya di Pasundan, berlaku perkawinan
anak-anak dimana gadis yang masih anak-anak dikawinkan dengan pemuda yang sudah
dewasa. Setelah perkawinan si suami menetap di tempat isteri sebagai tenaga
kerja tanpa upah, bekerja untuk kepentingan keluarga isteri sambil menunggu
waktu isteri dewasa dan dapat bercampur sebagai suami isteri. Perkawinan yang
ditangguhkan masa campur suami isteri disebut “kawin gantung.”
I.
Upacara Adat
Perkawinan Aceh
1.
Tahapan melamar (Ba Ranup)
Ba Ranup (ba-membawa ranup-sirih)
merupakan suatu tradisi turun temurun yang tidak asing lagi dilakukan dimana
pun oleh masyarakat Aceh, saat seorang pria melamar seorang perempuan. Untuk
mencarikan jodoh bagi anak lelaki yang sudah dianggap dewasa maka pihak
keluarga akan mengirim seorang yang dirasa bijak dalam berbicara (disebut seulangke)
untuk mengurusi perjodohan ini. Jika seulangke telah mendapatkan gadis yang
dimaksud maka terlebih dahulu dia akan meninjau status sang gadis. Jika belum
ada yang punya, maka dia akan menyampaikan maksud melamar gadis itu.
Pada hari yang telah disepakati datanglah rombongan orang-orang yang
dituakan dari pihak pria ke rumah orangtua gadis dengan membawa sirih sebagai
penguat ikatan berikut isinya. Setelah acara lamaran selesai, pihak pria akan mohon
pamit untuk pulang dan keluarga pihak wanita meminta waktu untuk bermusyawarah
dengan anak gadisnya mengenai diterima-tidaknya lamaran tersebut.
2.
Tahapan Pertunangan (Jak ba Tanda)
Bila lamaran diterima, keluarga pihak pria akan datang
kembali untuk melakukan peukong haba (peukong-perkuat, haba-pembicaraan)
yaitu membicarakan kapan hari perkawinan akan dilangsungkan, termasuk
menetapkan berapa besar uang mahar yang diterima (disebut jeulamee)
yang diminta dan berapa banyak tamu yang akan diundang. Biasanya pada acara ini
sekaligus diadakan upacara pertunangan (disebut jak ba tanda jak-pergi,
ba-membawa tanda-tanda,artina berupa pertanda sudah
dipinang-cincin).
Pada acara ini pihak pria akan mengantarkan berbagai
makanan khas daerah Aceh, buleukat kuneeng (ketan berwarna kuning)
dengan tumphou, aneka buah-buahan, seperangkat pakaian wanita dan
perhiasan yang disesuaikan dengan kemampuan keluarga pria. Namun bila ikatan
ini putus di tengah jalan yang disebabkan oleh pihak pria yang memutuskan maka
tanda emas tersebut akan dianggap hilang. Tetapi kalau penyebabnya adalah pihak
wanita maka tanda emas tersebut harus dikembalikan sebesar dua kali lipat.
3.
Pesta Pelaminan
Sebelum pesta perkawinan dilangsungkan, tiga hari tiga
malam diadakan upacara meugaca atau boh gaca (memakai inai) bagi
pengantin laki-laki dan pengantin perempuan. adat ini kuat dipengaruhi oleh
india dan arab. namun sekarang adat tersebut telah bergeser menjadi pengantin
perempuan saja yg menggunakan inai.
Kemudian dilakukan persiapan untuk ijab kabul. Dahulu
ijab kabul dapat dilakukan di KUA atau di meunasah
musala dekat rumah tanpa dihadiri pengantin wanita. namun sekarang berkembang
dengan ijab kabul yg dilakukan di Mesjid-Mesjid besar terutama di Mesjid Raya
Baiturrahman, yang dihari kedua mempelai berserta keluarga dan undangannya.
Ijab Kabul pengantin pria kepada wanita dihadiri oleh wali nikah, penghulu,
saksi dan pihak keluarga.
Biasanya lafaznya berupa bahasa aceh "ulon tuan peunikah, aneuk lon
(apabila ayah perempuan yg mengucapkan)....(nama pengantin perempuan) ngon
gata (nama pengantin laki-laki) ngon
meuh...(jumlah mahar yang telah disepakati) mayam "
Jawabannya ulon
tuan terimong nikah ngon kawen.. (nama pengantin) ngon meuh.. (jumlah mahar yang telah disepakati) mayam, tunai " Ada beberapa
lafaz yang berbeda, disesuaikan dengan kesepakatan dan adat setempat.
Pesta pelamina dilakukan setelah melangsungkan ijab
kabul antara sang calon pengantin laki-laki dengan pengantin perempuan, Baik
dilakukan pada hari yang sama maupun pada lain hari, yaitu disebut juga acara tueng
linto baro. pesta pelaminan ini bertujuan selain merayakan kebahagian juga
untuk memperkenalkan kedua mempelai kepada seluruh kaum kerabat.
4.
Tueng Lintoe
Baroe
Tueng
Linto baroe (tueng-menerima, linto-laki-laki, baroe-baru)
yaitu menerima pengantin pria adalah yaitu menerima pengantin laki-laki oleh
pihak perempuan, penerimaan secara hukum adat atau dalam tradisi Aceh.
Pengantin laki-laki datang ke pesta beserta rombogan (keluarga & kerabat).
Rombongan disuguhkan hidangan khusus disebut idang bu bisan (idang-hidangan,
bu-nasi bisan-besan). Setelah selesai makan, maka rombongan linto
baro minta izin pulang kerumahnya, sedangkan pengantin pria tetap tinggal
untuk disanding dipelaminan hingga acara selesai.
5. Tueng Dara Baroe
Tueng
dara baroe adalah suatu hal yang dilakukan oleh pihak laki-laki dengan kata lain
adalah penjemputan secara hukum adat atau dalam tradisi Aceh. Acara ini sama
dengan yang diatas namun pihak perempuan yang pergi ke acara pihak laki-laki.
6.
Mahar (Jeulamee)
Dalam adat istiadat Ureung Aceh, hanya dikenal mahar
berupa emas dan uang. Mahar ditiap aceh berbeda. Dibagian Barat Aceh
mahar berupa emas yang diberikan sesuai kesepakatan, biasanya berjumlah antara
belasan sampai puluhan mayam. Sedangkan didaerah Timur, mahar yang diajukan
dibawah belasan tapi menggunakan uang tambahan yaitu disebut "peng
angoh" (peng-uang, angoh-hangus), hal ini dilakukan untuk
membantu pihak perempuan untuk menyelenggarkan pesta dan membeli isi kamar.
Mahar biasanya ditetapkan oleh pihak perempuan dan biasanya kakak beradik
memiliki mahar yang terus naik atau minimal sama. Namun semua hal tentang mahar
ini dapat berubah-ubah sesuai kesepakatan kedua belah pihak.
7.
Idang &
Peuneuwoe
Idang (hidang)
danPeunuwo atau pemulang adalah hidangan yang diberikan dari pihak
pengantin kepada pihak yang satunya. Biasanya pada saat Intat linto baro
(mengantar pengantin pria), rombongan membawa Idang untuk pengantin
wanita berupa pakaian, kebutuhan dan peralatan sehari-hari untuk calon istri.
dan pada saat Intat dara baro (mengantar pengantin wanita), rombongan
akan membawa kembali talam yg tadinya diisi dgn barang-barang tersebut dgn
makananan khas aceh seperti bolu, kue boi , kue karah , wajeb, dan sebagainya, sebanyak talam yang
diberikan atau boleh kurang dengan jumlah ganjil.
Adat membawa-bawa baik barang ataupun kue dalam adat
Aceh sangatlah kental apalagi dalam sebuah keluarga baru. Saat pengantin baru
merayakan puasa pertama atau lebaran pertama dan pergi kerumah salah satu
kerabatnya untuk pertama kali maka wajiblah dia membawa makanan. Dan adat ini
terus berlangsung hingga sang istri punya anak, yakni mertua membawa makanan
dan sang istri membalasnya.
8.
Peusijuek
Peusijuek (pendingin)
adalah adat istiadat aceh dari India juga, namun sudah beradaptasi dengan
budaya Islam. Peusijuek dilakukan untuk memberi semangat, doa dan restu
kepada orang yg dituju. pada pernikahan maka kedua belah pihak keluarga akan
melakukan Peusijuek ditiap kesempatan. biasanya sebelum dan setelah ija
kabul, ketika dipelaminan di kedua acara. Peusijuek adalah salah satu
tradisi Aceh yang dilakukan pada kegiatan apapun seperti naik haji,
mempergunakan barang baru seperti rumah atau kendaraan, bayi yang turun tanah,
ibu yang hamil dan sebagainya.
Adat diatas adalah adat yg biasanya dilakukan suku
aceh. Hal ini suatu tradisi atau kebiasaan yang tidak pernah hilang di dalam
kultur budaya Pidie, Aceh Besar, Bireuen dan sekitarnya. Untuk daerah timur dan sekitarnya
yaitu untuk suku-suku lainnya, mungkin ada beberapa penambahan dan pengurangan.
Daftar
Rujukan:
AcehPedia - “Ensiklopedia Aceh
Terlengkap”
H.Hilman Hadikusuma, Prof. Hukum Perkawinan Indonesia menurut
Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju. 2003
Prof. Subekti, SH Pokok-pokok Hukum Perdata/ Subekti –
Cetakan -26-Jakarta: Intermasa; 1994.
0 Response to "Hukum Perkawinan"
Post a Comment