Hukum Pajak

A.  Pengertian
Hukum pajak atau juga disebut hukum fiskal, adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antar negara & orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak (wajib pajak).
            Dalam tata hukum di Indonesia, hukum pajak termasuk dalam kelompok hukum pidana. Perlu diketahui bahwa hukum pidana merupakan hukum pidana mengatur hubungan anatara warga negara dengan negara, sedang hukum yang mengatur hubungan antar individu atau kelompok warga negara yang satu dengan yang lain adalah hukum perdata. Selain hukum pajak yang termasuk dalam kelompok hukum pidana antara lain hukum tata negara, hukum tata usaha dan hukum pidana itu sendiri.
        Hukum pajak, sebagai salah satu dari hukum lain yang termasuk dalam hukum pidana, terdiri dari dua yakni hukum pajak materiil yang memuat norma-norma yang menerangkan keadaan perbuatan persitiwa hukum yang dikenai pajak (obyek pajak), siapa yang dikenai pajak (subyek pajak) dan tarif pajak, dan hukum pajak formal. Hukum pajak formal memuat tatacara pelaksanaan hukum pajak materiil. (Hendra Poerwanto G)
B. Fungsi Pajak

        Pajak, sebagai wujud nyata iuran/ kontribusi dalam bentuk uang dari rakyat kepada negara, memiliki fungsi utama sumber dana atau penerimaan negara. Fungsi yang demikian disebut sebagai fungsi budgeting. Selain itu, pajak juga dapat dijadikan sebagai alat bagi negara untuk membangun kehidupan ekonomi rakyat dan sebagai alat untuk mengedukasi perilaku sosial masyarakat.Misalnya, adanya pajak penghasilan dimaksudkan untuk meredistribusi penghasilan sehingga tercipta pemerataan kesejahteraan.
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal di atas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
1.    Fungsi anggaran (budgetair)
            Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.

2.    Fungsi mengatur (regulerend)
            Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.

3.    Fungsi stabilitas
            Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.

4.    Fungsi redistribusi pendapatan
            Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.

C. Landasan Teori Penyelenggaraan Pajak
            Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara didasarkan pada beberapa pemikiran teoritik. Ada setidaknya lima landasan teoritik yang dijadikan dasar penyelenggaraan pemungutan pajak. Kelima landasasan teoritik tersebut antara lain:
1.    Teori Asuransi. Logika dari teori ini mirip logika dalam pembayaran premi asuransi. Teori ini menyatakan bahwa negara memiliki kewajiban melindungi jiwa, raga, harta dan hak-hak rakyat. Oleh karenanya, rakyat harus membayar iuran atau kontribusi dalam bentuk pajak yang diibaratkan premi asuransi atas jaminan perlindungan yang diberikan oleh negara.
2.    Teori Kepentingan. Teori ini memberikan landasan penyelenggaraan pajak dalam konteks besarnya beban pajak yang harus ditanggung oleh rakyat. Dalam hal besarnya beban pajak, teori ini menyatakan bahwa besarnya beban pajak yang ditanggung oleh masing-masing individu warga negara bergantung pada besar kecilnya kepentingan masing-masing individu warga terhadap negara. Makin besar kepentingan seseorang terhadap terselenggaranya fasilitas-fasilitas yang diberikan negara, makin besar juga iuran atau kontribusi dalam bentuk pajak yang harus dibayar oleh orang tersebut.
3.    Teori Daya Pikul. Teori daya pikul memberikan landasan penyelenggaraan pemungutan pajak dalam hal pendekatan dalam menentukan beban pajak yang harus ditanggung oleh warga negara. Teori ini menyatakan bahwa beban pajak harus sama berat bagi semua individu sesuai daya pikulnya. Untuk mengimplementasikan pernyataan tersebut, teori daya pikul memberikan saran agar beban pajak sesuai daya pikul masing-masing warga negara, pendekatan yang digunakan dalam menghitung beban pajak harus mengandung dua unsur yaitu a) unsur obyektif dan sekaligus b) unsur subyektif. Beban pajak yang ditanggung warga negara ditentukan secara obyektif berdasarkan  besarnya penghasilan, sekaligus juga mempertimbangkan unsur subyektif dari masing-masing warga negara dengan melihat besarnya kebutuhan materiil yang harus dipenuhi setiap individu warga negara.
4.    Teori Bakti. Teori ini memberikan kerangka pemikiran untuk mendorong warga negara membayar pajak. Kerangka pemikiran yang diberikan oleh teori ini adalah bahwa sebagai warga negara yang berbakti, maka rakyat harus sadar bahwa pembayaran pajak adalah kewajiban setiap warga.
5.    Teori Asas Daya Beli. Teori asas daya beli memberikan landasan penyelenggaraan pemungutan pajak dari sudut daya beli dan kesejahteraan dalam konteks pemungutan pajak. Menurut teori ini, pajak adalah penarikan daya beli masyarakat. Artinya pemungutan pajak secara tidak langsung menurunkan daya beli masyarakat. Oleh karena itu, harus dipastikan bahwa ujung dari pemungutan pajak harus merupakan pemeliharaan kesejahteraan melalui redistribusi daya beli.     

D. Unsur pajak
            Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak, baik pengertian secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang unsur-unsur yang terdapat pada pengertian pajak, antara lain sebagai berikut:
  1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan, "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang."
  2. Tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi perseorangan) yang dapat ditunjukkan secara langsung. Misalnya, orang yang taat membayar pajak kendaraan bermotor akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor.
  3. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.
  4. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.
  5. Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara/Anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur / regulatif).
E. Jenis Pajak
            Ditinjau dari segi Lembaga Pemungut Pajak, pajak dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu:
1.    Pajak Negara, Sering disebut juga pajak pusat yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat yang terdiri atas:
  1. Pajak Penghasilan
Diatur dalam UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang diubah terakhir kali dengan UU No. 36 Tahun 2008
b.       Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Diatur dalam UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang diubah terakhir kali dengan UU No. 42 Tahun 2009
c.        Bea Materai
UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai
d.       Bea Masuk
UU No. 10 Tahun 1995 jo. UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan
e.        Cukai
UU No. 11 Tahun 1995 jo. UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai
2.    Pajak Daerah, Sesuai UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, berikut jenis-jenis Pajak Daerah:
a.       Pajak Provinsi terdiri atas:
  • Pajak Kendaraan Bermotor;
  • Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
  • Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
  • Pajak Air Permukaan; dan
  • Pajak Rokok.
b.      Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas:
  • Pajak Hotel;
  • Pajak Restoran;
  • Pajak Hiburan;
  • Pajak Reklame;
  • Pajak Penerangan Jalan;
  • Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
  • Pajak Parkir;
  • Pajak Air Tanah;
  • Pajak Sarang Burung Walet;
  • Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
  • Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
F. Undang-undang perpajakan negara
  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
stdtd Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
stdtd Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
stdtd Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
  1. Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan
stdd Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006
  1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai
stdd Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007

G. Syarat pemungutan pajak
            Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Agar tidak menimbulkan berbagai masalah, maka pemungutan pajak harus memenuhi persyaratan yaitu:
a.    Pemungutan pajak harus adil
       Seperti halnya produk hukum pajak pun mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya.
Contohnya:
  1. Dengan mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak
  2. Pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak
  3. Sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum sesuai dengan berat ringannya pelanggaran
b.    Pengaturan pajak harus berdasarkan UU
            Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: "Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang", ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan UU tentang pajak, yaitu:
·       Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU tersebut harus dijamin kelancarannya
·       Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan secara umum
·       Jaminan hukum akan terjaganya kerasahiaan bagi para wajib pajak
c.    Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian
   Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah.

d.   Pemungutan pajak harus efesien
            Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan demikian, wajib pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari segi penghitungan maupun dari segi waktu.

e.    Sistem pemungutan pajak harus sederhana
            Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak.
Contoh:
  • Bea materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif
  • Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif, yaitu 10%
  • Pajak perseorangan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan maupun perseorangan (pribadi)
Asas pemungutan:
            Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang terkenal "The Four Maxims", asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:
·       Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan): pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak.
·       Asas Certainty (asas kepastian hukum): semua pungutan pajak harus berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.
·       Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas kesenangan): pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak (saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah.
·       Asas Efficiency (asas efisien atau asas ekonomis): biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.[5]

Asas Pengenaan Pajak:
           Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada orang pribadi atau badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan negara tersebut, tentu saja harus ada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Sebagai contoh di Indonesia, secara tegas dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa segala pajak untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan undang-undang. Untuk dapat menyusun suatu undang-undang perpajakan, diperlukan asas-asas atau dasar-dasar yang akan dijadikan landasan oleh negara untuk mengenakan pajak.
            Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak adalah:
1.    Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence principle): berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan pajak terhadap penduduk-nya akan menggabungkan asas domisili (kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh di negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri (world-wide income concept).
2.    Asas sumber: Negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan penge¬naan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari negara itu. Contoh: Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia.
3.    Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas kewarganegaraan (nationality/citizenship principle): Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi persoalan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal. Seperti halnya dalam asas domisili, sistem pengenaan pajak berdasarkan asas nasionalitas ini dilakukan dengan cara menggabungkan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak atas world wide income.
H. Subjek Dan Objek Pajak
                Subjek pajak adalah orang, badan atau kesatuan lainnya yang telah memenuhi syarat-syarat subjektif, yaitu bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia. Subjek pajak baru menjadi wajib pajak bila telah memenuhi syarat-syarat obyektif. Subjek pajak tidak identik dengan subjek hukum, oleh karena itu untuk menjadi subjek pajak tidak perlu menjadi subjek hukum. Sehingga firma, perkumpulan, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan dapat menjadi subjek pajak.
            Demikian juga orang gila, anak yang masih di bawah umur dapat menjadi subjek atau wajib pajak, tetapi untuk mereka perlu ditunjuk orang atau wali yang dapat dipertanggung jawabkan untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya. Sedangkan yang menjadi objek pajak adalah sesuatu yang dikenakan pajak atau dapat diartikan sebagai sasaran pengenaan pajak.
Mengenai apa yang dapat dijadikan objek pajak banyak sekali macamnya. Pada prinsipnya segala sesuatu yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan sasaran atau objek pajak, baik keadaan, perbuatan, maupun peristiwa.

I.      Utang Pajak

1.      Pengertian Utang Pajak
Utang pajak adalah pajak yang harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejesisnya berdasarka peraturan perundang-undangan perpajakan. Utang pajak akan timbul sesudah fiskus menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Akan tetapi prinsip tersebut tidak mutlak.Utang pajak dapat timbul apabila keadaan si wajib pajak menjadikan wajib pajak mempunyai Utang pajak sesuai dengan undang-undang. Sebagai contoh, misal si A adalah seorang wajib pajak. Dia telah betempat tinggal atau berada di daerah Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan si A telah memiliki penghasilan melebihi PTKP. Dalam keadaan tersebut, maka secara otomatis akan timbul Utang pajak bagi si A tanpa harus menunggu fiskus menerbitkan SKP kepada si A. 

2.      Timbulnya Utang Pajak
Utang pajak timbul jika undang-undang yang menjadi dasar pemungutannya telah ada dan telah dipenuhi syarat-syarat subjek dan objektifnya, yang ditentukan oleh undang-undang secara bersama (simultan). Syarat objektif dipenuhi apabila keadaan yang nyata yang disebut oleh Undang -undang dipenuhi, keadaan ini berupa:
a.       Perbuatan
b.      Keadaan
c.       Peristiwa

Saat timbulnya utang pajak mempunyai peranan yang menentukan dalam:
a.       Pembayaran/penagihan pajak
b.      Memasukkan surat keberatan
c.       Penentuan saat dimulai dan berakhirnya jangka waktu daluwarsa
d.      Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

3.      Sifat Utang Pajak
Beberapa sifat dari utang pajak adalah :

a)      Dapat dipaksakan
Artinya sebagaimana sifat dari pajak yakni pungutannya dapat dipaksakan, pengertiannya adalah bahwa pemaksaan tersebut di lakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Jadi utang pajak yang tidak dibayar oleh penanggung pajak pada waktu yang telah ditentukan (saat jatuh tempo), penagihannya dapat dilakukan dengan cara paksa melalui “Surat Paksa” (SP, Surat Perintah melaksanakan penyitaan (SPMP), dan pelelangan harta penanggung pajak melalui kantor Lelang Negara, berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa ( UU No.19/1997 yang telah dan ditambah terakhir dengan UU No.19/2000).

b)   Dapat menunjuk orang lain untuk ikut membayarnya
Dalam hal ini pengertiannya adalah bahwa utang pajak yang seharusnya ditanggung oleh Wajib Pajak, maka berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan penagihan pajak, dapat menunjuk pihak lain yang ada hubungannya dengan wajib pajak tersebut. Yang dimaksud dengan pihak lain tersebut adalah :
o  Badan pengurus dan atau orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan.
o  Badan dalam pembubaran atau pailit oleh orang pribadi atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan.
o  Suatu warisan yang belum terbagi, oleh seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau pengurus harta peninggalannya.
o  Anak belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampunan oleh wali atau pengampunannya
o  Kuasa yang ditunjuk secara khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.

c)  Dapat Ditagih Seketika
Kasus -kasus yang dapat dipakai alasan penagihan pajak seketika dan sekaligus yaitu :
o   Penanggung pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu
o   Penanggung pajak menghentikan secara nyata, mengecilkan kegiatannya di Indonesia, ataupun memindahkan barang bergerak atau barang tidak bergerak yang dimilikinya atau dikuasainya.
o   Pembubaran badan atau niat untuk membubarkannya, pernyataan pailit ataupun penyitaan harta Penanggung pajak oleh pihak lain.
o   Perusahaan dibubarkan oleh pemerintah.

d) Mempunyai Hak Mendahulu Terhadap Hutang yang Lain
  Maksudnya yaitu Negara melalui utang pajak memiliki hak mendahulu (preferen) untuk tagihan pajak atsa barang-barang milik penanggung pajak, di ats utang-utang yang lain. Dalam hal ini ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu :
             1)     Pengertian utang pajak di sini adalah meliputi pokok pajak, bunga, denda administrasi, kenaikan dan biaya penagihan
             2)     Hak mendahulu meliputi harta wajib pajak dan penanggung pajak
             3)     Saat hak mendahulu adalah pada saat penjualan melalui sita lelang, bukan pada saat penyitaan
Jangka waktu hak mendahulu tersebut adalah dua tahun sejak diterbitkannya surat ketetapan pajak atau apabila telah ada penagihan dengan Surat Paksa maka dua tahun tersebut dihitung sejak diberitahukannya Surat Paksa

     e)    Dapat dilakukan pencegahan atau penyanderaan terhadap penanggung pajak
Surat paksa adalah bersifat eksekutoriol, yaitu dapat dilaksanakaneksekusi tanpa adanya putusan hakim.Eksekusi ini dapat dilaksanakan pada harta dan juga fisik Penanggung Pajak.Eksekusi ini dapat dilakukan pada seorang atau seluruh penanggung pajak.

Yang dimaksud dengan fisik yaitu :
           1)      Pencegahan adalah langkah sementara (selama-lamanya enam bulan dan dapat diperpanjang selama enam bulan lagi) terhadap penanggung jawab tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
           2)      Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan penanggung pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu (tempat penyanderaan). Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan tindakan pencegahan dan penyanderaan adalah :
o   Utang pajak paling sedikit adalah Rp 100.000,-
o   Diragukan itikad baiknya dalam pelunasan hutang pajak
o   Surat Keputusan Pencegahan diterbitkan oleh Menteri Keuangan atas permintaan Pejabat atau Atasan Pejabat (Kepala KPP/Kepala KP.PBB/Kepala Dinas Pendapatan Daerah/Kanwil?dirjen Pajak/Bupati/Walikota)
o   Surat Keputusan Penyanderaan diterbitkan oleh Pejabat (Kepala KPP/Kepala KP.PBB/Kepala Dinas Pendapatan Daerah) atas izin Menteri Keuangan atau Gubernur (untuk pajak-pajak daerah).

4.       Penagihan Utang Pajak
Penagihan Utang pajak adalah perbuatan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, karena Wajib Pajak tidak mematuhi ketentuan undang-undang pajak, khususnya mengenai pembayaran pajak yang terutang. Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan tindakan penagihan pajak bila jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan. Untuk itu, apabila utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran belum dilunasi, maka akan dilakukan tindakan penagihan pajak dengan cara sebagai berikut:

a)      Surat Teguran
Utang pajak yang tidak dilunasi setelah lewat 7 (tujuh) hari dari tanggal jatuh tempo pembayaran, akan diterbitkan Surat Teguran.

b)      Surat Paksa
Utang pajak setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari dari tanggal Surat Teguran tidak dilunasi, akan diterbitkan Surat Paksa yang diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan dibebani biaya penagihan pajak dengan Surat Paksa sebesar Rp 50.000,00. Utang pajak harus dilunasi dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak

c)    Surat Sita
Jika utang pajak dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan olehJurusita Pajak tidak dilunasi, maka Jurusita Pajak dapat melakukan tindakan penyitaan,dengan dibebani biaya pelaksanaan Surat Perintah Melakukan Penyitaan sebesar Rp75.000,00.

d)   Lelang
Apabila dalam jangka waktu paling singkat 14 (empat belas) hari setelah tindakan penyitaan, utang pajak belum juga dilunasi, maka akan dilanjutkan dengan pengumuman lelang melalui media massa. Penjualan secara lelang melalui Kantor Lelang Negara terhadap barang yang disita, dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang. Biaya penagihan paksa dan biaya pelaksanaan sita yang belum dibayar akan dibebankan bersama-sama dengan biaya iklan untuk pengumuman lelang dalam surat kabar dan biaya lelang pada saat pelelangan.

5.       Berakhirnya Utang Pajak
Utang pajak dapat berakhir karena hal-hal berikut ini :
a)        Pembayaran / Pelunasan
Pembayaran / pelunasan pajak dapat dilakukan Wajib Pajak dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau dokumen lain yang dipersamakan. Pembayaran atau pelunasan pajak dapat dilakukan di Kantor Kas Negara, Kantor Pos dan Giro, dan Bank Persepsi. Pembayaran pajak hanya dapat dilakukan dengan uang dan bukan dengan bentuk lainnya.
b)        Kompensasi
Kompensasi dapat dilakukan antara jenis pajak yang berbeda dalam tahun pajak yang sama, misalnya antara kelebihan pembayaran PPh dengan kekurangan pembayaran PPN, ataupun antara jenis pajak yang sama dalam tahun yang berbeda misalnya kelebihan pembayaran PPh tahun lalu dengan kekurangan pembayaran PPh tahun berjalan.
c)        Penghapusan Utang
Penghapusan Utang pajak dilakukan karena kondisi dari Wajib Pajak yang bersangkutan, misalnya Wajib Pajak dinyatakan bangkrut oleh pihak-pihak yang berwenang. Utang pajak pada prinsipnya dapat dihapuskan karena tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi dengan beberapa alasan seperti yang diatur dalam KepMen Keuangan Nomor 565/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000, yaitu :
1)      Wajib Pajak meninggal dunia dengan tidak meninggalkan warisan dan tidak mempunyai ahli waris, atau ahli waris tidak dapat ditemukan.
2)      Wajib Pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi yang dibuktikan berdasarkan surat keterangan dari Pemerintah Daerah setempat. Penghapusan Utang pajak melalui proses penghapusan merupakan bentuk keadilan bagi Wajib Pajak yang memang benar-benar mengalami hal tersebut diatas.
      3)      Hak untuk melakukan penagihan sudah daluwarsa.
      4)      Sebab lain sesuai hasil penelitian, misalnya Wajib Pajak tidak dapat dilakukan lagi atau dokumen tidak dapat dilakukan lagi disebabkan keadaan yang tidak dapat dihindarkan seperti kebakaran, bencana alam, dan sebagainya. Penelitian dilakukan melalui penelitian setempat atau penelitian administrasi baik oleh KPP maupun oleh KPPBB, yang dilakukan secara per jenis Wajib Pajak, per tahun pajak dan per jenis ketetapan.

     e) Daluwarsa
Daluwarsa Utang pajak terjadi karena terlampaunya waktu penetapan pajak (penertiban surat ketetapan pajak) maupun karena lampaunya waktu proses penagihan pajak. Daluwarsa dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak maupun fiskus maka diberikan kebebasan batas waktu tertentu untuk penagihan pajak. Batas daluwarsa yang berlaku saat ini adalah :
o  Untuk pajak pusat adalah 5 tahun
o  Untuk pajak daerah adalah 5 tahun
o  Untuk retribusi daerah adalah 3 tahun
o  Untuk Wajib Pajak yang terlibat tindak pidana pajak tidak diberikan batas waktu

f)    Pembebasan
Pembebasan pajak biasanya dilakukan berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Misal dalam rangka meningkatkan penanaman modal maka pemerintah memberikan pembebasan pajak untuk jangka waktu tertentu atau pembebasan pajak di wilayah-wilayah tertentu.

J.    Tarif Pajak
Tarif pajak merupakan angka atau persentase yang digunakan untuk menghitung jumlah pajak atau jumlah pajak yang terutang.
Tarif pajak dibedakan menjadi 4 macam
1.    Tarif sebanding/ proporsional
Tarif berupa persentase  yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak.
Contoh:
Untuk penyerahan barang kena pajak didalam daerah pabean akan dikenakan pajakpertambahan nilai sebesar 10%.

2.    Tarif tetap
Terif berupa jumlah yang tetap terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya  pajak yang terutang tetap.
Contoh: Besarnya tarif bea materai untuk cek dan bilyet giro dengan nilai nominal berapapun adalah rp.1.000.-

3. Tarif progresif
Persentase tarif  yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar menurut Pasal 17 UU  pph 1995:
a)  Untuk Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) dalam bentuk Orang Pribadi
Lapisan penghasilan kena pajak
Tarif
s/d Rp. 25.000.000,00
5%
Rp. 25.000.000,00 s/d Rp. 50.000.000,00
10%
Rp. 50.000.000,00 s/d Rp. 100.000.000,00
15%
Rp. 100.000.000,00 s/d Rp. 200.000.000,00
25%
Diatas Rp. 200.000.000,00
35%

b)      Untuk WPDN dalam bentuk Badan
Lapisan penghasilan kena pajak
Tarif
s/d Rp. 50.000.000,00
10%
Rp. 50.000.000,00 s/d Rp. 100.000.000,00
15%
Diatas Rp. 100.000.000,00
30%

Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) adalah sebagai berikut:

Penerima PTKP
Setahun
Sebulan
Untuk diri pegawai
Rp 15.840.000
Rp 1.320.000
Tambahan untuk pegawai yang sudah menikah(kawin)
Rp 1.320.000
Rp 110.000
Tambahan untuk setiap anggota keluarga *) paling banyak 3 (tiga) orang
Rp 1.320.000
Rp 110.000

Menurut kenaikan persentase tarifnya, tarif progresif dibagi menjadi:
o   Tarif progresif progresif   : kenaikan persentase semakin besar
o   Tarif progresif besar         : kenaikan persentase tetap
o   Tarif progresif degresif    : kenaikan persentase ssemakin kecil

4. Tarif degresif
Tarif degresif yaitu tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.
Contoh:
a.    Rp. 1.000.000 (4%) = Rp. 40.000
b.    Rp. 2.000.000 (3,8%) = Rp. 76.000
c.    Rp. 3.000.000 (3,5%) = Rp. 105.000


K. Prinsip - Prinsip ( Syarat ) Pemungutan Pajak
        Dalam rangka pemenuhan rasa keadilan maka penyusunan undang-undang pajak harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations (Rohman Soemiro, 1990) ada empat syarat untuk tercapainya peraturan pajak yang adil, harus jelas, tegas, dan tidak mengandung arti ganda atau memberi peluang untuk ditafsirkan lain.
1. Prinsip keadilan (equity);
artinya pajak yang dikenakan sebanding dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak.
2. Prinsip kepastian (certainly);
artinya pemungutan pajak dilakukan harus berdasarkan undang-undang, yaitu harus ada kejelasan, ketegasan, dan adanya jaminan hukum.
3. Prinsip kelayakan (convience);
artinya pemungutan pajak hendaknya tidak memberatkan wajib pajak sehingga wajib pajak merasa membayar pajak bukan sebagai paksaan namun sebagai kewajiban yang dilakukan dengan tulus.
4. Prinsip ekonomi (economy)
artinya biaya pemungutan dan pemenuhan kewajiban pajak bagi wajib pajak harus proporsional. Biaya pemungutan harus lebih rendah dari beban pajak yang harus dibayar.
L. Yang Tidak termasuk Subjek Pajak - Perpajakan Indonesia
            Yang tidak termasuk golongan bukan Subjek Pajak adalah badan perwakilan negara asing, pejabat perwakilan diplomatik yang bukan warga negara Indonesia, Organisasi Internasional, dan pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

1.) Badan perwakilan negara asing
2.) Pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang
yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat:
  • Bukan warga Negara Indonesia
  • Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut
  • Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik
3.) Organisasi-organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat :
  • Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut
  • Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota
4.) Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat :
  • Bukan warga negara Indonesia Tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Rujukan:
Wikipedia bahasa Indonesia
Bohari. 2001.Pengantar Hukum Pajak: Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.
Wirawan B Ilyas, Richard Burton.2004.Hukum Pajak.Jakarta:Salemba Empat


0 Response to "Hukum Pajak"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel