Hukum Kontrak
A.
Pengertian
Hukum
Kontrak (contract of law; bahasa Inggris) atau overeencomstrech (dalam
bahasa Belanda) mengandung pengertian keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang
mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum.
Berdasarkan Ketentuan Umum Hukum
Kontrak Belanda, pengertian kontrak adalah suatu perbuatan hukum (juridical
act), yang dibuat dengan formalitas yang memungkinkan, dan diijinkan oleh
hukum yang berwenang-dan dibuat bersesuaian dan harus ada ungkapan niat dari
satu atau dua pihak secara bersama-sama yang saling bergantung satu sama lain(interdependent).
Kontrak ini bertujuan untuk menciptakan akibat hukum untuk kepentingan satu
pihak dan juga untuk pihak lain.
Kontrak merupakan golongan dari
‘perbuatan hukum’, perbuatan hukum yang dimaksud adalah suatu perbuatan yang
menghasilkan akibat hukum dikarenakan adanya niat dari perbuatan satu orang
atau lebih. Sehingga dapat dikatakan bahwa beberapa perbuatan hukum adalah kontrak.
Sistem Pengaturan Hukum Kontrak
Sistem pengaturan hukum kontrak adalah sistem terbuka (open system), yang mengandung maksud bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur di dalam undang-undang. Dalam pasal 1338 ayat (1) secara tegas menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jika dianalisa lebih lanjut maka ketentuan pasal tersebut memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
1) membuat atau tidak membuat perjanjian;
2) mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta
4) menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
Sistem pengaturan hukum kontrak adalah sistem terbuka (open system), yang mengandung maksud bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur di dalam undang-undang. Dalam pasal 1338 ayat (1) secara tegas menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jika dianalisa lebih lanjut maka ketentuan pasal tersebut memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
1) membuat atau tidak membuat perjanjian;
2) mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta
4) menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
Ditinjau
dalam sejarah perkembangannya, hukum kontrak pada awalnya menganut sistem
tertutup. Artinya para pihak terikat pada pengertian yang tercantum dalam
undang-undang. Hal ini disebabkan adanya pengaruh dari ajaran legisme yang
memandang bahwa tidak ada hukum di luar undang-undang. Hal serupa dapat ditemui
dan dibaca dalam berbagai putusan Hoge Raad dari tahun 1910 sampai dengan tahun
1919. Untuk diketahui bahwa putusan Hoge Raad (HR) 1919 tanggal 31 Januari 1919
merupakan putusan yang terpenting. Putusan ini tentang penafsiran perbuatan
melawan hukum, yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPer.
Dalam putusan tersebut, definisi perbuatan melawan hukum, tidak hanya melawan undang-undang saja, tetapi juga melanggar hak-hak subyektif orang lain, kesusilaan dan ketertiban umum.Menurut HR 1919 yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah berbuat atau tidak berbuat yang:
1) Melanggar hak orang lain; yang diartikan melanggar sebagian hak-hak pribadi seperti integritas tubuh, kebebasan, kehormatan, dan lain-lain. Termasuk dalam hal ini hak-hak absolut sperti hak kebendaan, HKI, dan sebagainya.
Dalam putusan tersebut, definisi perbuatan melawan hukum, tidak hanya melawan undang-undang saja, tetapi juga melanggar hak-hak subyektif orang lain, kesusilaan dan ketertiban umum.Menurut HR 1919 yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah berbuat atau tidak berbuat yang:
1) Melanggar hak orang lain; yang diartikan melanggar sebagian hak-hak pribadi seperti integritas tubuh, kebebasan, kehormatan, dan lain-lain. Termasuk dalam hal ini hak-hak absolut sperti hak kebendaan, HKI, dan sebagainya.
2)
Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku; yakni hanya kewajiban yang
dirumuskan dalam aturan undang-undang.
3) bertentangan dengan kesusilaan; artinya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang itu bertentangan dengan sopan santun yang tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
4) Bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan dalam masyarakat;
Karakterisik Hukum Kontrak
3) bertentangan dengan kesusilaan; artinya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang itu bertentangan dengan sopan santun yang tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
4) Bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan dalam masyarakat;
Karakterisik Hukum Kontrak
Cirri khas
yang paling penting dari suatu kontrak adalah kesepakatan bersama (mutual
consent) para pihak. Kesepakatan bersama ini bukan hanya merupakan
karakterisik dalam permbuatan kontrak, tetapi hal itu penting sebagai suatu
niat yang di ungkapkan kepada pihak lain. Di samping itu, sangat mungkin suatu
kontrak yang sah tanpa adanya kesepakatan bersama.
B. Asas-Asas Hokum Kontrak:
1. Asas
Kebebasan Berkontrak
Pasal 1338 (1) KUHPdt
“semua
persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai UU bagi mereka yang
membuatnya”. Pembatasan : Pasal 1337 KUHPdt “Perjanjian tidak boleh
bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum, dan UU”.
2. Asas
Konsensualisme
Dalam pasal
1320 KUHPdt, salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu : adanya kesepakatan
antara para pihak.
3. Asas Pacta
Sunt servada/Asas kepastian Hukum
Perjanjian
yang dibuat oleh para pihak secara sah mengikat/ berlaku sebagai UU bagi mereka
yang membuatnya. Asas ini memberikan kepastian hokum bagi mereka yang
membuatnya.
4. Asas
Kepribadian
Menunjukan
personalia dalam suatu perjanjian.
Paal 1315
KUHPdt
“dalam
perjanjian pada umumnya hanya mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian”
Pengecualian
pada pasal 1317 KUHPdt dan pasal 1318 KUHPdt
5. Asas Moral
Asas ini terlihat dalam perikatan
wajar dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak
baginya untuk menggugat kontra prestasi dari pihak debitur. Perbuatan sukarela
(Zaakwaameming)
6. Asas
Kebiasaan
Diatur dalam
pasal 13339 jo 1347 KUHPdt.
Pasal 1339
KUHPdt : (kebiasaan Umum )
“Suatu
persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan
didalamnya, tetapi juga segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan
diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan UU.
Pasal 1347
KUHPdt : (kebiasaan Setempat)
“Hal-hal
yang menurut kebiasaan diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukan
didalam perjanjian meskipun tidak dengan tegas dinyatakan.
7. Asas
Itikad Baik
Pasal 1388
(3) KUHPdt :
“Bahwa tiap
orang dalam membuat perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Ada 2 macam
itikad baik :
Itikad baik
yang subyektif –kejujuran, sikap batin.
Itikad baik
yang obyektif-pelaksanaan perjanjian didasarkan atas norma kepatuatn/sesuai
norma yang berlaku dimasyarakat,
8. Asas
Kepercayaan
Saling adanya kepercayaan para pihak
yang melakukan perjanjian.
Perjanjian
dapat dibedakan menurut berbagai cara, antara lain:
1. Perjanjian Cuma Cuma (pasal 1314 KUHPERdata)
1. Perjanjian Cuma Cuma (pasal 1314 KUHPERdata)
suatu
persetujuan dengan cuma cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang
satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu
manfaat bagi dirinya sendiri.
perjanjian dengan cuma cuma adalah
perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misal: Hibah
2.
Perjanjian atas beban
Perjanjian
atas beban adalh perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu
selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain dan antara kedua prestasi itu
ada hubungannya menurut hukum. Jadi, dua pihak dalam memberikan prestasi tidak
imbang.
Contoh: Perjanjian pinjam pakai
----> debitur mempunyai beban untuk mengembalikan barang, sedangkan kreditur
tidak.
Perjanjian
cuma cuma dan atas beban penekanan perbedaannya ada di PRESTASI
3. Perjanjian Timbal balik
3. Perjanjian Timbal balik
Perjanjian
timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua
belah pihak. Hak dan Kewajiban harus imbang. Misal: Perjanjian Jual Beli
4.
Perjanjian Sepihak.
Hanya ada
satu hak saja dan hanya ada satu kewajiban saja. cntoh: Hibah
Perjanjian
Timbal Balik dan Sepihak penekanan perbedaannya ada di hak dan kewajiban.
5. Perjanjian Konsesual
5. Perjanjian Konsesual
Perjanjian
Konsesual adalah perjanjian di mana diantara kedua belah pihak telah tercapai
persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut KUPDT, perjanjian ini
sudah mempunyai kekuatan mengikat.( Pasal 1338)
6.
Perjanjian RIIL
perjanjian
yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang. Misal: Perjanjian
penitipan barang, PErjanjian pinjam pakai.
7.
Perjanjian Formil
Perjanjian
yang harus memakai akta nota riil. contoh: jual beli tanah.
8.
Perjanjian bernama dan tidak bernama
Perjanjian
bernama (nomina) adalah perjanjian yang sudah diatur dan diberi nama di dalam
KUHPDT.
Perjanjian tidak bernama (innomina)
adalah perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPDT, namun perjanjian berkembang
dalam masyarakat. Contoh: Perjanjian kerja sama, Perjanjian pemasaran,
Perjanjian pengelolaan.
9.
Perjanjian Obligatoir.
PErjanjian
obligatoir adalah perjanjian dimana pihak pihak sepakat, mengikatkan diri untuk
melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain. Perjanjian obligatoir hanya
melahirkan hak dan kewajiban saja, pelaksanaannya nanti.
10.
Perjanjian Liberatoir
Perjanjian
Liberatoir adalah perjanjian di mana para pihak membebaskan diri dari kewajiban
yang ada. Misal Pembebasan Utang
Kemudian
kontrak dapat di bagi dalam beberapa macam diantaranya:
- Kontrak bersyarat;
- Kontrak dengan ketetapan waktu;
- Kontrak mana suka (alternatif);
- Kontrak tanggung menanggung;
- Kontrak yang dapat dibagi dan
tidak dapat dibagi;
- Kontrak dengan ancaman hukuman;
1. Kontrak
Bersyarat
adalah kontrak yang digantungkan
pada suatu peristiwa yang akan datang dan peristiwa tersebut belum tentu akan
terjadi. Kontrak ini dapat dibagi atas dua yakni kontrak dengan syarat tangguh
dan kontrak dengan syarat batal.
2. Kontrak
dengan Ketetapan Waktu
Beda halnya dengan kontrak
bersyarat, kontrak dengan ketetapan waktu tidak menangguhkan terjadinya atau
lahirnya kontrak, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaan kontrak.
3. Kontrak
Mana Suka atau Alternatif
Kontrak semacam ini, si berutang
dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari dua barang atau lebih yang
disebutkan dalam perjanjian, tetapi ia tidak boleh memaksa si berpiutang untuk
menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian dari barang yang lainnya.
Misalnya si A mempunyai suatu tagihan uang seratus ribu rupiah pada seorang
petani (anggaplah si B) yang sudah lama tidak dibayarnya. Kemudian anatara si A
dan si B mengadakan suatu perjanjian, bahwa si A akan dibebaskan dari
utangnya kalau ia menyerahkan kudanya atau sepuluh kwintal berasnya.
C. Syarat
Sahnya Kontrak
1.
Kesepakatan
Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu kontrak. Kesepakatan ini dapat terjadi dengan berbagai cara, namun yang paling penting adalah adanya penawaran dan penerimaan atas penawaran tersebut. Terjadinya kesepakatan dapat terjadi secara tertulis dan tidak tertulis.
Para pihak yang melakukan kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan baik dengan akta di bawah tangan maupun dengan akta autentik. Akta di bawah tangan merupakan akta yang dibuat oleh para pihak tanpa melibatkan pejabat yang berwenang membuat akta seperti notaris, PPAT, atau pejabat lain yang diberi wewenang untuk itu.
Berbeda dengan akta di bawah tangan yang tidak melibatkan pihak berwenang dalam pembuatan akta, akta autentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang.
Perbedaan prinsip antara akta di bawah tangan dengan akta autentik adalah karena jika para pihak lawan mengingkari akte tersebut, akta di bawah tangan selalu dianggap palsu sepanjang tidak dibuktikan keasliannya, sedangkan akta autentik selalu dianggap asli, kecuali terbukti kepalsuannya. Artinya, jika suatu akta di bawah tangan disangkali oleh pihak lain, pemegang akta di bawah tangan dibebani untuk membuktikan kaslian akta tersebut, sedangkan kalau suatu akta autentik disangkali pemegang akta autentik tidak perlu membuktikan keaslian akta autentik tersebut tetapi pihak yang menyangkalilah yang harus membuktikan bahwa akta autenti tersebut adalah palsu. Oleh karena itu, pembuktian akta di bawah tangan disebut pembuktian keaslian sedangkan pembuktian akta autentik adalah pembuktian kepalsuan.
Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu kontrak. Kesepakatan ini dapat terjadi dengan berbagai cara, namun yang paling penting adalah adanya penawaran dan penerimaan atas penawaran tersebut. Terjadinya kesepakatan dapat terjadi secara tertulis dan tidak tertulis.
Para pihak yang melakukan kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan baik dengan akta di bawah tangan maupun dengan akta autentik. Akta di bawah tangan merupakan akta yang dibuat oleh para pihak tanpa melibatkan pejabat yang berwenang membuat akta seperti notaris, PPAT, atau pejabat lain yang diberi wewenang untuk itu.
Berbeda dengan akta di bawah tangan yang tidak melibatkan pihak berwenang dalam pembuatan akta, akta autentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang.
Perbedaan prinsip antara akta di bawah tangan dengan akta autentik adalah karena jika para pihak lawan mengingkari akte tersebut, akta di bawah tangan selalu dianggap palsu sepanjang tidak dibuktikan keasliannya, sedangkan akta autentik selalu dianggap asli, kecuali terbukti kepalsuannya. Artinya, jika suatu akta di bawah tangan disangkali oleh pihak lain, pemegang akta di bawah tangan dibebani untuk membuktikan kaslian akta tersebut, sedangkan kalau suatu akta autentik disangkali pemegang akta autentik tidak perlu membuktikan keaslian akta autentik tersebut tetapi pihak yang menyangkalilah yang harus membuktikan bahwa akta autenti tersebut adalah palsu. Oleh karena itu, pembuktian akta di bawah tangan disebut pembuktian keaslian sedangkan pembuktian akta autentik adalah pembuktian kepalsuan.
2. Kecakapan
Syarat kecakapan untuk membuat suatu perikatan, harus dituangkan secara jelas mengenai jati diri para pihak. Pasal 1330 KUH Perdata, menyebutkan bahwa orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :
Syarat kecakapan untuk membuat suatu perikatan, harus dituangkan secara jelas mengenai jati diri para pihak. Pasal 1330 KUH Perdata, menyebutkan bahwa orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :
a. Orang-orang yang belum dewasa, belum
berusia 21 tahun dan belum menikah
b. Berusia 21 tahun tetapi di bawah
pengampuan seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan, atau pemboros dan;
c. Orang yang tidak berwenang.
Sebetulnya ada satu lagi yang dianggap oleh KUH Perdata tidak cakap hukum yaitu perempuan, akan tetapi saat ini undang-undang sudah menetapkan lain yaitu persamaan kedudukan perempuan dan laki-laki.
Sebetulnya ada satu lagi yang dianggap oleh KUH Perdata tidak cakap hukum yaitu perempuan, akan tetapi saat ini undang-undang sudah menetapkan lain yaitu persamaan kedudukan perempuan dan laki-laki.
3. Hal
tertentu
Dalam suatu kontrak objek perjanjian harus jelas dan ditentukan oleh para pihak, objek perjanjian tersebut dapat berupa barang maupun jasa, namun dapat juga berupa tidak berbuat sesuatu. Hal tertentu ini dalam kontrak disebut prestasi yang dapat berwujud barang, keahlian atau tenaga, dan tidak berbuat sesuatu.
Untuk menentukan tentang hal tertentu yang berupa tidak berbuat sesuatu juga harus dijelaskan dalam kontrak seperti “berjanji untuk tidak saling membuat pagar pembatas antara dua rumah yang bertetangga”.
Dalam suatu kontrak objek perjanjian harus jelas dan ditentukan oleh para pihak, objek perjanjian tersebut dapat berupa barang maupun jasa, namun dapat juga berupa tidak berbuat sesuatu. Hal tertentu ini dalam kontrak disebut prestasi yang dapat berwujud barang, keahlian atau tenaga, dan tidak berbuat sesuatu.
Untuk menentukan tentang hal tertentu yang berupa tidak berbuat sesuatu juga harus dijelaskan dalam kontrak seperti “berjanji untuk tidak saling membuat pagar pembatas antara dua rumah yang bertetangga”.
4. Sebab
yang halal
Istilah kata halal yang dimaksud di sini bukanlah lawan kata haram dalam hukum Islam, tetapi yang dimaksud sebab yang halal adalah bahwa isi kontrak tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Isi perjanjian harus memuat/causa yang diperbolehkan. Apa yang menjadi obyek atau isi dan tujuan prestasi yang melahirkan perjanjian harus tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Istilah kata halal yang dimaksud di sini bukanlah lawan kata haram dalam hukum Islam, tetapi yang dimaksud sebab yang halal adalah bahwa isi kontrak tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Isi perjanjian harus memuat/causa yang diperbolehkan. Apa yang menjadi obyek atau isi dan tujuan prestasi yang melahirkan perjanjian harus tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
D. Unsur-Unsur Kontrak
1. Unsur Esensiali
Unsur esensiali merupakan unsur yang harus ada dalam suatu kontrak karena tanpa adanya kesepakatan tentang unsur esensiali ini maka tidak ada kontrak. Sebagai contoh, dalam kontrak jual beli harus ada kesepakatan mengenai barang dan harga dalam kontrak jual beli, kontrak tersebut batal demi hukum karena tidak ada hal tertentu yang diperjanjikan.
2. Unsur Naturalia
Unsur Naturalia merupakan unsur yang telah diatur dalam undang-undang sehingga apabila tidak diatur oleh para pihak dalam kontrak, undang-undang yang mengaturnya. Dengan demikian, unsur naturalia ini merupakan unsur yang selalu dianggap ada dalam kontrak. Sebagai contoh, jika dalam kontrak tidak diperjanjikan tentang cacat tersembunyi, secara otomatis berlaku ketentuan dalam BW bahwa penjual yang harus menanggung cacat tersembunyi.
Unsur Naturalia merupakan unsur yang telah diatur dalam undang-undang sehingga apabila tidak diatur oleh para pihak dalam kontrak, undang-undang yang mengaturnya. Dengan demikian, unsur naturalia ini merupakan unsur yang selalu dianggap ada dalam kontrak. Sebagai contoh, jika dalam kontrak tidak diperjanjikan tentang cacat tersembunyi, secara otomatis berlaku ketentuan dalam BW bahwa penjual yang harus menanggung cacat tersembunyi.
3. Unsur Aksidentalia
Unsur aksidentalia merupakan unsur yang nanti ada satu mengikat para pihak jika para pihak memperjanjikannya. Sebagai contoh, dalam kontrak jual beli dengan angsuran diperjanjikan bahwa apabila pihak debitur lalai membayar selama tiga bulan berturut-turut, barang yang sudah dibeli dapat ditarik kembali oleh kreditor tanpa melalui pengadilan. Demikian pula oleh klausul-klausul lainnya yang sering ditentukan dalam suatu kontrak, yang bukan merupakan unsure esensial dalam kontrak tersebut.
Unsur aksidentalia merupakan unsur yang nanti ada satu mengikat para pihak jika para pihak memperjanjikannya. Sebagai contoh, dalam kontrak jual beli dengan angsuran diperjanjikan bahwa apabila pihak debitur lalai membayar selama tiga bulan berturut-turut, barang yang sudah dibeli dapat ditarik kembali oleh kreditor tanpa melalui pengadilan. Demikian pula oleh klausul-klausul lainnya yang sering ditentukan dalam suatu kontrak, yang bukan merupakan unsure esensial dalam kontrak tersebut.
E. Akibat
Hukum Suatu Kontrak
Akibat
hukum suatu kontrak pada dasarnya lahir dari adanya hubungan hukum dari suatu
perikatan, yaitu dalam bentuk hak dan kewajiban. Pemenuhan hak dan kewajiban
inilah yang merupakan salah satu bentuk daripada akibat hukum suatu kontrak.
Kemudian, hak dan kewajiban ini tidak lain adalah hubungan timbal balik dari
para pihak, maksudnya, kewajiban di pihak pertama merupakan hak bagi pihak
kedua, begitu pun sebaliknya, kewajiban di pihak pertama merupakan hak bagi
pihak kedua, begitu pun sebaliknya, kewajiban di pihak kedua merupakan hak bagi
pihak pertama. Dengan demikian, akibat hokum di sini tidak lain adalah
pelaksanaan dari pada suatu kontrak itu sendiri.
Menurut pasal 1339 KUH Perdata, suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan (diwajibkan) oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.
Menurut pasal 1339 KUH Perdata, suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan (diwajibkan) oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.
F.
Berakhirnya Suatu Kontrak
Berakhirnya
perikatan diatur dalam pasal 1381 KUH Perdata. Yang diartikan dengan
berakhirnya perikatan adalah selesainya atau hapusnya sebuah perikatan yang
diadakan oleh dua pihak yaitu kreditor dan debitor tentang sesuatu hal. Pihak
kreditor adalah pihak atau orang yang berhak atas suatu prestasi, sedangkan debitor
adalah pihak yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi. Bisa berarti segala
perbuatan hukum yang dilakukan oleh kedua pihak, bisa jual beli, utang piutang,
sewa menyewa, dan lain-lain.
Disebutkan dalam KUH Perdata tentang berakhirnya perikatan diantaranya yaitu :
1. Karena Pembayaran
2. Karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
3. Karena pembaharuan utang (Novasi)
4. Karena perjumpaan utang atau kompensasi
5. Karena percampuran utang (Konfusio)
6. Karena pembebasan utang
7. Karena musnahnya barang yang terutang
8. Karena batal atau pembatalan
9. Karena berlakunya suatu syarat batal
10. Karena lewatnya waktu (Kedaluwarsa)
Disebutkan dalam KUH Perdata tentang berakhirnya perikatan diantaranya yaitu :
1. Karena Pembayaran
2. Karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
3. Karena pembaharuan utang (Novasi)
4. Karena perjumpaan utang atau kompensasi
5. Karena percampuran utang (Konfusio)
6. Karena pembebasan utang
7. Karena musnahnya barang yang terutang
8. Karena batal atau pembatalan
9. Karena berlakunya suatu syarat batal
10. Karena lewatnya waktu (Kedaluwarsa)
Rujukan:
Ahmadi Miru,
Hukum Kontrak, 2007, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta
H.R. Daeng
Naja, Contract Drafting, 2006, PT
Citra Aditya Bakti, Bandung.
Periksa
Ahmadi Miru, 2010. Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Raja Wali
Press, Jakarta, hal 53 s/d 61, lihat juga dalam Subekti, 2002. Hukum
Perjanjian, Intermasa, Jakarta.
Salim HS,
2005.Hukum Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika.
Subekti.
2002. Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa
0 Response to "Hukum Kontrak"
Post a Comment