Kurang Pengetahuannya tentang Stunami sehingga banyaknya korban di saat Stunami
BANDA ACEH - Berdiri di atas pertemuan dua lempeng dunia, Aceh termasuk wilayah rawan
bencana. Gempa disusul tsunami pada 26 Desember 2004 bukanlah kali pertama yang
menerjang pesisir ujung Sumatera itu. Maka, mutlak butuh kesiapsiagaan
masyarakat menghadapi kemungkinan terulangnya bencana serupa di masa mendatang.
Berdasarkan penelitian geologi yang dilakukan Universitas Syiah Kuala
(Unsyiah) Banda Aceh bersama Earth Observatory Singapore (EOS), Aceh diperkirakan
beberapa kali dihantam tsunami di antaranya pada 1394 dan 1450 Masehi.
Tsunami purba saat itu diperkirkan menjadi penyebab hilangnya Kerajaan
Lamuri pada abad 14, dan menenggelamkan pusat perkotaan Kerajaan Indrapurwa di
Ujong Pancu, Peukan Bada, Aceh Besar.
Lamuri adalah Kerajaan Hindu yang pernah berjaya di kawasan ujung Sumatera,
sebelum masuknya Islam dan mengubah nama wilayah itu menjadi Aceh. Lamuri yang
berpusat di Lamreh, dekat Krueng Raya, Aceh Besar, diyakini sebagai cikal-bakal
lahirnya Kerajaan Aceh Darussalam pada 1496.
Setelah 1934 dan 140, tsunami diperkirakan pernah melanda Pulau Simeulu di
1907. Tsunami yang dalam bahasa Simeulue disebut “smong” ini dijadikan
pelajaran penting masyarakat di sana, bahkan menjadi kearifan lokal yang bertahan
hingga sekarang.
Tiap gempa besar melanda, masyarakat Simeulue akan naik ke gunung karena
mereka sadar lindu (gempa dalam bahasa Simeulu) yang kuat bisa menimbulkan air
laut naik ke darat.
Aceh sendiri memiliki riwayat serupa, karena tsunami dalam bahasa Aceh
dikenal dengan "ie beuna". Sayangnya, pelajaran "ie beuna"
dulu tak diajarkan kepada generasi selanjutnya. Tak heran ketika dilanda
tsunami 2004, banyak masyarakat tak tahu menyelamatkan diri setelah gempa
besar. Sebagian orang justru ada menuju pantai untuk memungut ikan yang
mengelepar di tengah surutnya air laut.
Tak heran pula saat baru-baru tsunami, banyak yang tak paham nama peristiwa
air laut naik ke darat, sebelum media memperkenalkan kata tsunami yang
sebenarnya diambil dari bahasa Jepang.
Ketua Forum Jurnalis Aceh Peduli Bencana (FJAPB) Fakhrurradzie Gade
mengatakan, sebenarnya dalam manuskrip-manuskrip kuno Aceh, peristiwa "ie
beuna" diceritakan. “Sayangnya, ini tidak diajari kepada generasi kita.
Kitab-kitab kuno itu perlu dikaji lagi karena ilmu kebencanaan sebenarnya ada
di situ,” ujarnya.
Pihaknya mendorong pemerintah, termasuk masyarakat, mempelajari tentang
bencana, sehingga timbul kesiapsiagaan sekaligus mempersiapkan generasi
mendatang sadar bencana.
Jurnalis, kata dia, selama ini sudah menjalankan tugas dengan baik dalam
mengampanyekan mitigasi atau pengurangan risiko bencana. “Tinggal pemerintah
bagaimana membangun sinergitas dalam menghadapi bencana,” sebut wartawan
acehkita.com ini.
Soal kesiapan menghadapi bencana masih jadi persoalan, meski Aceh sudah
pengalaman dengan tsunami 10 tahun lalu. Dari segi infrastruktur mungkin sudah
memadai, sudah ada gedung penyelamat (escape building) walaupun masih sedikit,
kemudian jalur evakuasi juga telah dibangun. Begitu juga dengan alat peringatan
dini tsunami (TEWS) sedikitnya sudah ada di enam titik dalam kawasan Banda Aceh
dan Aceh Besar.
Persoalannya, sistem yang ada belum berjalan maksimal. Contohnya ketika
gempa 8,5 skala Richter mengguncang Aceh pada 11 April 2012 dan berpotensi tsunami.
Kala itu sirine tsunami tak berbunyi, tapi masyarakat tetap menyelamatkan diri,
menjauh dari pantai.
Tak ada pengarahan dari otoritas kebencanaan, seperti yang terlihat saat
simulasi. Banyak warga lari ke kawasan lebih tinggi di antaranya ke Simpang
Surabaya dan Lambaro, Aceh Besar sehingga terjadi kemacetan parah di jalan.
Nyaris tak ada yang naik ke escape building. Tak bisa dibayangkan jika tsunami
terjadi, sementara banyak orang terjebak macet.
Pada 26 Oktober 2014, pemerintah kembali menggelar simulasi tsunami dengan
menguji coba TEWS. Lagi, lagi sirine bermasalah. Sebagian berbunyi tapi
suaranya kecil. Bahkan masyarakat ada yang sama sekali tak mendengar.
Latihan evakuasi juga tak berjalan seperti diharapkan. Di Escape Building
Dayah Glumpang misalnya, tak ada pengarahan massa atau bentuk penanganan
ditunjukkan petugas ketika itu. Padahal ini penting untuk melatih kesiapan
ketika tsunami terjadi.
Kepala Seksi Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA),
Mukhsin Syafii, berjanji akan mengevaluasi dan terus menguji coba sistem
peringatan dini tsunami. Dia mengakui masih terdapat beberapa kelemahan, namun
keseluruhan termasuk sistem komunikasi satu arah diuji dalam simulasi berjalan
baik.
Terkait TEWS yang dalam beberapa kali gempa besar tak berbunyi karena
ketiadaan energi listrik, Mukhsin mengatakan, kini sudah memiliki alat
penyimpan arus yang tak lagi bergantung pada listrik PLN. Sirine ini diakui
bisa berbunyi otomatis bila potensi tsunami terjadi.
Sementara Gubernur Aceh Zaini Abdullah mengakui salah satu tantangan
terberat dihadapi Aceh setelah 10 tahun tsunami adalah dalam membangun sikap
kesiapsiagaan bencana. Dalam hal ini perlu pengatahuan dan kesiapan sistem yang
bagus.
Dia berjanji akan terus menggelar
simulasi dan memperbaiki bersama-sama sistem mitigasi bencana.”Pengetahuan ini
harus terus kita berikan,” katanya.
0 Response to "Kurang Pengetahuannya tentang Stunami sehingga banyaknya korban di saat Stunami"
Post a Comment