Hukum Cambuk tidak Melanggar (HAM)
Menurut
Saifuddin Bantasyam Pakar Hukum Internasional dan HAM Universitas Syiah Kuala
(Unsyiah) menegaskan, penerapan Qanun Jinayah di Aceh tidak bertentangan dengan
Hak Asasi Manuasia (HAM). Penilaian bahwa qanun tersebut melanggar HAM, menurut
dia hanyalah sebuah perspektif (cara pandang) yang tak perlu dipermasalahkan.
Mengutip
Serambi Indonesia Jumat (24/10/2014), “Dalam konteks legal-normatif, qanun itu
sah berlaku di Indonesia secara prosedur dan substansi, karena telah melalui
proses pembuatan yang benar dan telah melalui tahapan evaluasi dari Pemerintah
Pusat,” kata Saifuddin dalam Focus Group Disccusion (FGD) yang berlangsung di
Rumoh Aceh Kupi Luwak Jeulingke, Kamis (23/10/2014).
Saifuddin
mencontohkan tentang sanksi hukuman cambuk. Dijelaskan, apabila sanksi tersebut
dianggap bertentangan dengan Konvensi Menentang Penyiksaan, maka pengiat HAM
harus mengetahui bahwa rasa sakit dan penderitaan dalam kovensi ada
pengecualian.
“Rasa
sakit dan penderitaan dalam konvensi dikecualikan jika muncul dari atau karena
sanksi hukum yang dilaksanakan dengan benar dan adil, berdasarkan bukti-bukti
yang cukup disertai dengan penghormatan terhadap hak-hak terdakwa,” terang
Ketua Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik Unsyiah, ini. Menurutnya,
perlakuan kejam, tidak manusia dan merendahkan martabat manusia, tidak
didefinisikan oleh konvensi, sehingga muncul perbedaan pandangan. Namun dalam
‘general comment’ terhadap konvensi tersebut, disebutkan hukuman-hukuman yang
sifatnya menyiksa badan tidak dijadikan pilihan.
Sementara
dalam diskursus HAM, berkembanganya imbauan agar konteks lokal bisa diserap
tanpa mengorbankan ukuran-ukuran yang universal. Mungkin, sebut Saifuddin, hal
inilah yang selama ini dikaitkan bahwa cambuk melanggar HAM. Jadi lebih kepada
sebuah perspektif dibanding kepada aspek prosedural dan legal-normatif.
“Kalau
ada pihak-pihak yang tidak setuju dan tetap beranggapan ini bertentangan dengan
HAM, silakan melakukan judicial review (uji materi). Ini akan menarik. Bagian
mananya yang melanggar HAM,” ucapnya.
Dosen
Fakultas Hukum ini justeru lebih mengkhawatirkan tidak terlaksananya Qanun
Jinayah dan kemungkinan terjadinya ketidakadilan dalam pelaksanaannya dibanding
statemen yang mempertentangkan dengan HAM. Di
sisi lain, sambungnya, upaya melabelkan ajaran Islam bertentangan dengan HAM
sudah terjadi sejak lama, khususnya
di negara-negara barat. Bahkan sejumlah pakar di barat mengatakan bahwa HAM tak
eksis di dalam Islam.
“Menurut
saya ini adalah sebuah klaim yang sangat tidak berdasar, dan muncul lebih
karena phobia (ketakutan berlebihan) terhadap Islam. Tidak adanya pengakuan
bahwa Islam berkontribusi bagi HAM, karena barat melihat HAM secara berbeda
dengan orang Islam melihat HAM,” ungkapnya.
HAM
dalam versi Barat ujarnya, bersifat antroposentrisme yang menekankan kepada hak
individu dan melepaskan manusia dari settingnya yang terpisah dengan Tuhan.
Sedangkan dalam Islam, HAM bersifat theosentris yang memiliki sifat ketuhanan.
“Dalam pengertian demikian, manusia bekerja sesuai dengan kesadaran dan
kepatuhan kepada Allah, dan bahwa HAM adalah anugerah Tuhan, dan setiap orang
bertanggungjawab terhadap Tuhan,” ulas dia.
Semenatara
itu, Wakil Rektor UIN Ar-Raniry, Dr Syamsul Rijal Sys MAg, menambahkan, isu
yang selama ini dikontradiksikan selalu dibungkus dengan persoalan Muslim dan
nonmuslim seperti yang disebutkan pada Pasal 5 poin b dan c Qanun Jinayah.
Dalam
butir b berbunyi, Setiap orang beragama bukan Islam yang melakukan jarimah
(kejahatan) di Aceh bersama-sama dengan orang Islam dan memilih serta
menundukkan diri secara sukarela pada hukum jinayat. Sementara itu, butir c
berbunyi, Setiap orang beragama bukan Islam yang melakukan perbuatan jarimah di
Aceh yang tidak diatur dalam KUHP atau ketentuan pidana di luar KUHP, tetapi
diatur dalam qanun ini. “Pasal ini yang kemudian diyakini melanggar HAM. Saya
tidak tahu dimana melanggarnya,” katanya.
Begitu
juga dengan proses pemberlakuan cambuk terhadap pelanggar qanun. Syamsul
mengatakan para pengkritik yang mengatasnamakan HAM tidak pernah mendiskusikan
perihal itu sehingga dinilai mengerikan. Sementara kekerasan lain yang terjadi
diluar Aceh, bahkan Indonesia, tidak dinilai melanggar HAM. “Mungkin karena
qanun ini baru, kemudian isu ini digiring kemana-mana,” ujar Wakil Rektor
Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama UIN Ar Raniry, ini.
Sedangkan
Ustaz Masrul Aidil Lc menilai saat ini banyak orang salah menafsirkan penerapan
hukum Islam. Menurutnya, persoalan itu dikarenakan orang tersebut hanya melihat
aplikasi dari hukum tersebut, namun tidak membaca dan mempelajari
undang-undangnya. “Dalam
Islam rata-rata hukuman terlihat ngeri bagi yang melihat, tetapi nikmat bagi
orang yang menjalaninya. Sedangkan hukum barat, enak dilihat namun berat bagi
yang menjalaninya,” demikian terangnya.
FGD
terselenggara atas kerja sama Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI)
dengan Kesbangpol & Linmas Aceh. Peserta yang hadir di antaranya, Wakil
Rektor UIN Aceh, Dr Syamsul Rijal Sys MAg; Pimpinan Dayah Markaz Al-Ishlah, Tgk
H Tu Bulqaini; Pimpinan Dayah Babul Maghfirah Cot Keueng, Ustaz Masrul Aidil
Lc; Aktivis LSM, Juanda Djamal; dan sejumlah wartawan. Diskusi dipandu oleh
Hasan Basri M Nur. [arrahmah/www.tribunislam.com]
0 Response to "Hukum Cambuk tidak Melanggar (HAM)"
Post a Comment