Teungku Fakinah
Teungku Fakinah
Ulama Besar dan pahlawan perang wanita dari Aceh
Teungku
Fakinah adalah seorang wanita yang menjadi ulama besar dengan nama singkatnya
disebut Teungku Faki , pahlawan perang yang ternama dan pembangunan pendidikan
ulung. Beliau dilahirkan sekitar tahun 1856 M, di Desa Lam Diran kampung Lam
Beunot (Lam Krak). Dalam tubuh Beliau mengalir darah ulama dan darah
penguasa/bangsawan. Ayahnya bernama Datuk Mahmud seorang pejabat pemerintahan
dalam zaman Sultan Alaidin Iskandar Syah. Sedangkan ibunya bernama Teungku
Muhammad Sa'at yang terkenal dengan Teungku Chik Lam Pucok, pendiri Dayah Lam Pucok, tempatnya pernah Teungku Chik Ditiro
Sesudah Teungku Fakinah dewasa, pada tahun 1872 dikawinkan
dengan Teungku Ahmad dan Aneuk Glee oleh orang kampung Lam Beunot. Teungku
Ahmad yang dipanggil Teungku Aneuk Glee ini membuka satu Deah/perguruan
(pesantren) yang dibiayai oleh mertuanya Teungku Muhammad Sa'at atas dukungan
orang Lam Beunot dan Imuem Lam Krak. Pesantren ini banyak dikunjungi oleh
pemuda dan pemudi dari tempat lain disekitar Aceh Besar, bahkan ada juga yang
datang dari Pidie. Tatkala menentang serangan I Belanda, Teungku Imam Lam Krak
serta Tengku Ahmad/Teungku Aneuk Glee tarot dalam pasukan VII Mukim baet
mempertahankan Pantai Cermin tepi laut Ulee Lheu yang di komandokan oleh
panglima Polem Nyak Banta dan Rama Setia.
Dalam pertahanan perang itu pada tanggal 8 April 1873
wafatlah Panglima perang besar Rama Setia, Imeum Lam Krak, Tengku Ahmad Anuek
Glee suami dari Tengku Fakinah dalam membela Tanah Air. Semenjak Tengku Fakinah
telah menjadi janda yang masih remaja. Maka semenjak itulah beliau membentuk
Badan Amal Sosial untuk menyumbang Darma Baktinya terhadap Tanah Air yang
terdiri dari janda-janda dan wanita-wanita lainnya untuk menjadi anggota amal
tersebut Badan yang didirikannya itu mendapat dukungan dari kaum Muslimat
disekitar Aceh Besar yang kemudian berkembang sampai ke Pidie.
Anggota Badan Amal Sosial ini menjadi sangat giat
dalam mengumpulkan sumbangan rakyat yang berupa perbekalan berupa padi dan
uang. Selain dari anggota yang bergerak mengumpulkan perbekalan peperangan,
bagi anggotaanggota yang tinggai di tempat, mereka sibuk mempersiapkan makanan
untuk orang yang datang dari luar seperti Pidie, Meureudu, Salamanga, Peusangan
dan lain-lain untuk membantu perang dan menuangkan timah untuk pelor senapan,
semua pekerjaan itu dibawah pimpinan Teungku Fakinah.
Teungku Fakinah merupakan Panglima Perang melawan
agresi Belanda, tidak mau tetap dikediamannya, bahkan hilir mudik
keseluruh segitiga Aceh Besar untuk menjalankan Diplomasi,
mendatangi rumah orang-orang besar dan orang-orang kaya untuk meminta zakat
dalam rangka membantu peperangan Aceh yang sedang
berkecamuk. Dan kegiatan yang dilakukannya itu, memperoleh hasil yang lebih
besar yang kemudian disalurkan sebagai biaya peperangan.
Ketika musuh menguasai Kuta Raja (Banda Aceh
Sekarang), maka pertahanan berpindah ke Kuta ke kota Lam Bhouk, Pagar Aye
(Lhung Bata), maka dalam tahun 1883 pertahanan
itu dapat dikuasai oleh musuh. Untuk mengantisipasi hal ini maka Tengku Syech
Saman yang disebut Tengku Tjik Di Tiro memperkuat lagi pertahanan Kuta Aneuk
Galong bekas Kuta Panglima Polem Nyak Banta, yang dulunya telah di rampas oleh
pihak Belanda yaitu pada tahun 1878. Maka dengan demikian serentaklah dari
masing-masing pemimpin peperangan mendirikan kutakuta lain, seperti halnya
Tengku Empee Trieng (Kuta Karang), Tengku Pante Kulu (Kuta Tuanku) dan
lain-lain. Sementara itu di Lam Krak didirikan 4 buah Kuta (Benteng Pertahanan)
di bawah Komando Tengku Fakinah, yang masing-masing di pimpin oleh seorang
komandan bawahan, yaitu:
- Kuta Lam Sayun, dipimpin oleh Tengku Pang M. Saleh.
- Kuta Cot Garot, dipimpin oleh Tengku Pang Amat.
- Kuta Cot Weue, dipimpin oleh Tengku Fakinah sendiri.
- Kuta Bak Balee, Dipimpin oleh Habib Lhong.
Adapun yang membangun kuta-kuta (Benteng-Benteng) ini
adalah kaum lelaki, kecuali Kuta Cot Weue dikerjakan oleh wanita-wanita sejak
dan membuat pagar, menggali parit dan pemasangan ranjau dilakukan sendiri oleh
para wanita yang diawasi oleh panglima perangnya Teungku Fakinah sendiri
bersama rekanrekannya wanita lain seperti :
- Cutpo Fatimah Blang Preh,
- Nyak Raniah dari Lam Uriet,
- Cutpo Hasbi,
- Cutpo Nyak Cut, dan
- Cut Puteh.
Setelah selesai membangun Kuta Tjot Weue, maka atas
mufakat orang-orang patut agar Tengku Fakinah Panglima Perang itu, dijodohkan
dengan Tengku Nyak Badai yang berasal dari Pidie, lepasan murid Tanoh Abee.
Alasan untuk mengawinkan Teungku Fakinah ini adalah karena seorang panglima
perang wanita dalam siasat perang senantiasa harus bekerja sama dengan
laki-laki yang sering melakukan musyawarah. Dalam pandangan masyarakat umum
tidak layak dalam suatu perundingan seorang wanita tidak didampingi oleh
suaminya. Dengan demikian Teungku Fakinah dapat menerima saran dari orang-orang
tua ini, maka dengan demikian perkawinan mereka dilangsungkan. Setelah
perkawinan itu, maka Teungku Fakinah bertambah giat berusaha untuk mengumpulkan
benda-benda perlengkapan persenjataan dan makanan untuk keperluan tentara
pengikutnya. Namun dalam tahun 1896 suami kedua beliau yaitu Tengku Nyak Badai
tewas ketika diserbu oleh pasukan Belanda dibawah komandan Kolonel J. W
Stempoort. Di antara Pahlawan yang memimpin pasukan di bawah komando Teungku
Fakinah, adalah :
- Habib Abdurrahman, yang lebih terkenal dengan Habib Lhong, Beliau Syahid dalam suatu pertempuran.
- Tengku M. Saleh, Beliau juga Syahid
- Tengku Ahmad, yang lebih terkenal dengan Teungku Leupung, Beliau tidak Syahid, akan tetapi masih sempat membantu Teungku Fakinah dalam kehidupan pembangunan
- Tengku Nyak Badai, suami kedua Teungku Fakinah, dan Beliau juga Syahid
- Tengku Daud, Beliau juga Syahid.
Cut Nyak Dhien tidak asing lagi bagi Teungku Fakinah, sejak perang
di Aceh Besar berkecamuk, Beliau sudah dikenal baik dengan Cut Nyak Dhien, baik
dalam pertarungan mereka di Montasik, Lamsi maupun ketika kedatangan Cut Nyak
Dhien ke Lam Krak senantiasa mampir ke rumah Teungku Fakinah, untuk beramah
tamah dan meminta bantuan perbekalan perang bagi pengikut-pengikut Teuku Umar.
Dalam hal ini Teungku Fakinah selalu memberikan bantuan berupa beras, kain
hitam dan uang tunai. Dan sebaliknya Teungku Fakinah sering juga datang ke rumah
Cut Nyak Dhien di Lampadang/Bitai dan tempat-tempat lain di mana Cut Nyak Dhien
tinggal. Dengan demikian perjuangan kedua wanita satria ini sangat erat
hubungannya. Oleh sebab itu Teungku Fakinah sangat terkejut ketika mendengarkan
T. Umar telah membelot dan bergabung dengan pihak Belanda Lalu Teungku Fakinah
bertanya-tanya dalam hatinya, apakah Cut Nyak -Dhien juga ikut membelot ataukah
T. Umar sendiri. Jika T. Umar sendiri mengapa Cut Nyak Dhien tidak menahan
maksud suaminya itu agar tidak bergabung dengan musuh. Demikian pertanyaan itu
terpendam dalam hatinya. Teungku Fakinah memikirkan untuk mengirimkan utusan
kepada Cut Nyak Dhien untuk menanyakan isi hati dari rekannya itu, namun belum
ada seorang wanita pun yang berani pergi ke Peukan Bada untuk bertemu langsung
dengan Cut Nyak Dhien.
Sementara itu tersiar berita bahwa T. Umar sedang
bergerak bersama serdadu Belanda menyerang Kuta Tungkop dan tempat pertahanan
daerah XXVI Mukim, yang kemudian akan menyerang daerah pertahanan Teungku
Fakinah yang terletak di Ulee Tanoh. Untuk mengantisipasi masalah ini maka
segera dibangun tiga buah kuta (benteng) yaitu Cot Pring, Cot Raja, dan Cot
Ukam. Kemudian itu datang dua orang wanita dari Bitai mengantar nazarnya untuk
perang sabil, bahkan sumbangan yang diserahkan kepada Teungku Fakinah bukan
hanya dua orang saja tetapi ada kiriman dan beberapa orang lainnya dari Bitai
dan Peukan Bada. Melalui ke 2 orang wanita Bitai itu Teungku Fakinah mengirim
salamnya kepada Cut Nyak Dhien selaku rekan lamanya, dengan menyampaikan
beberapa kata sindiran sebagai ceumeti yang menusuk dada Cut Nyak Dhien, dengan
katakata:
"Peugah bak Cut Nyak Dhien haba lon : Yu Jak
beureujang lakoe gagnyan Teuku Meulaboh, jak prang inong-inong balee mangat
jikalon ceubeuh lee gob, bah agam lawan inong balee".
Artinya : sampaikan kata saya kepada Cut Nyak
Dhien ; suruh datang suaminya Teuku Meulaboh untuk berperang dengan
perempuan-perempuan janda supaya orang dapat melihat keberaniannya, bahwa
laki-laki melawan wanita janda.
Setelah cukup pembicaraan dengan kedua wanita Bitai
itu, maka kedua wanita ini terus pulang sampai ke kampungnya, tetapi tidak
langsung menyampaikan kabar itu kepada Cut Nyak Dhien, melainkan memberitahukan
kepada wanita lain yang dipercayanya dan sering masuk ke rumah Cut Nyak Dhien.
Setelah mendengar kabar ini, Cut Nyak Dhien sangat cemas hatinya, kemudian
disunth panggil kedua wanita Bitai itu melalui wanita kepercayaannya untuk
bertemu langsung denganya Dalam hal ini kedua wanita itu tidak mau datang takut
ditangkap, selama dua hari di tunggu-tunggu oleh Cut Nyak Dhien, mereka tidak
kunjung datang.
Secara diam-diam Cut Nyak Dhien datang ke Bitai untuk
menemui kedua wanita itu, namun kedua wanita tersebut telah bersembunyi di
rumah yang lain. Lalu Cut Nyak Dhien menyampaikan pesan pada wanita lain bahwa
dia perlu bantuan kedua wanita itu untuk menyampaikan kabar balik ke Lam Krak,
yang merupakan kabar balasan dari Cut Nyak Dhien kepada Teungku Fakinah. Maka
besok paginya datanglah kedua wanita itu kerumah Cut Nyak Dhien dan keduanya
diterima dengan ramah tamah. Diserambi belakang mereka duduk bertiga
membicarakan khabar yang dibawa dari Lam Krak, kemudian ke dua wanita itu
disuruh balik ke Lam Krak untuk bertemu dengan Teungku Fakinah dengan membawa
kabar balasan yang disertai dengan bungong jaroe yaitu; 2 kayu kain hitam untuk
celana, 6 potong selendang, 1 kayu kain untuk baju prajurit wanita dan 1 potong
kain selimut untuk selimut Teungku Fakinah sendiri, serta uang 200 real untuk
pembeli kapur dan sirih.
Besok paginya berangkatlah kedua wanita itu dari Bitai
menuju Lam Krak. Satu orang menjunjung sumpit yang berisikan beras dan yang
satu lagi menjunjung satu berkas tikar mensiang yang berisikan barang-barang
kiriman Cut Nyak Dhien kepada Teungku Fakinah di Lam Krak. Sesampainya di Lam
Krak kedua wanita ini, langsung bertemu dengan Teungku Fakinah, dan menyerahkan
barang amanah itu. Dalam pertemuan itu juga, disampaikan pula salam dan
pesan-pesan Cut Nyak Dhien yang isinya:
"Atee Cut Nyak Dhien mantong lagee soet, lon
inseuh keulangkah lakoe lon yang kameuseuruek. Hubungan lidah Nyak Faki nyoe
ngon lon yang neuba lee droe neuh mudah-mudahan Tuhan puwoe langkah kamoe lagee
soet".
Artinya "Hati Cut Nyak Dhien seperti semula, saya
beri keinsyafan terhadap langkah suami saya yang telah berperosok. Hubungan
lidah Nyak Fakinah ini dengan saya yang saudara bawa mudah-mudahan Tuhan
kembalikan langkah kami seperti semula".
Demikianlah kata filsafat dalam pertemuan diplomatik
antara kedua pengantar kata, dari hati ke hati antara dua orang Srikandi ulung
Pahlawan Tanah air yakni Teungku Fakinah dari Lam Krak dan Cut Nyak Dhien dari
Lam Pisang. Pindah Ke Tangse Sesudah jatuhnya Seulimum, Teungku Fakinah
mengungsi ke lammeulo (Cubok), mula-mula ia tinggal di Tiro bersama dengan
Teuku Tjik di Tiro Mat Yeet, setelah itu pindah ke Tangse dan sekaligus
membangun tempat tinggalnya di Blang Peuneuleun (Pucok Peuneuleun). Daerah ini
merupakan daerah yang sangat indah dan lahan yang sangat subur, sehingga
ditempat ini dijadikan perkampungan dan sekaligus membuka lahan pertanian.
Semua sisa harta benda, emas dan perlengkapan senjata diangkut ke daerah baru
ini, dan didaerah ini juga dibangun Deah (perguruan/Pasantren) tempat wanita
mengaji Al-Qur'an. Namun dalam tahun 1899 perkampungan ini diserang oleh tentara
Belanda dan rumah tempat tinggal Teungku Fakinah diobrak abrik dan sebagian
emas milik Teungku Fakinah diambil oleh serdadu Belanda, sementara beliau
terlepas dari kepungan serdadu tersebut.
Semenjak itu Teungku Fakinah tidak lagi membuat kuta
(benteng), namun hanya bergerilya basama-sama Pocut lam gugob istri dari Tuanku
Hasyim banta Sultan, Pocut Awan yaitu ibu dari Tengku Panglima Polem dan dengan
wanita-wanita lain yang masih aktif bergerilya mengikuti jejak suaminya
mengarungi hutan belantara, berpindah-prndah sampai kepegunungan Pasai, dan
Gayo Luas, serta tempat-tempat lain disekitar Laut Tawar, dalam pengawasan
Tengku Nyak Mamat Peureulak. Sekalipun Teungku Fakinah tidak lagi memegang
peranan sebagai Panglima Perang, namun beliau tetap aktif dalam bidang
pendidikan agama, terutama mengajar wanita-wanita yang turut bergerilya dengan
cara berpindahpindah.
Kembali ke Lam Krak Sesudah Teuku Panglima Polem
Muhammad Daud dan Teuku Raja Keumala dapat ditundukkan oleh Van Heutz, maka
pada tanggal 21 Mei 1910 atas
permintaan Teuku Panglima Polem, supaya Teungku Fakinah pulang kembali ke
kampung halaman untuk membuka kembali deah/pesantren di Beuha (Lam Krak).
Dengan demikian pada tahun 1911 Teungku Fakinah kembali ke Lam Krak dan membuka
kembali Deah/Pesantren, yang mendapat sambutan baik dari masyarakat umum. Dalam
pembangunan pesantren ini, banyak pihak masyarakat dengan secara sukarela
mengeluarkan zakat dan sumbangan pribadi, sehingga pembangunan ini berjalan
dengan lancar. Setelah deah ini berdiri, maka banyak yang berdatangan dari
berbagai penjuru Aceh seperti halnya : seluruh pelosok 3 segi Aceh Besar,
Meulaboh, Calang, Aceh Timur, Pidie dan Samalanga, terutama janda-janda dan
gadis-gadis untuk belajar mengaji ke Lam Krak.
Simpatisan masyarakat terhadap Pesantren Teungku
Fakinah sangat besar, sehingga tempat ini setiap harinya banyak dikunjungi oleh
tamu-tamu dari luar mukim Lam Krak. Demikian juga, banyak yang datang mengantar
sumbangan sosial untuk biaya hidup bagi murid-murid Deah/Pesantren, sehingga
murid-murid yang belajar disitu, selain dapat bantuan pangan dan orang tuanya,
juga menerima bantuan dari masyarakat umum. Ada juga bentuk sumbangan lainnya
yang disumbangkan oleh masyarakat terhadap Deah/Pesantren tersebut seperti Al-
Qur'an dan kitab yang diperlukan untuk pelajaran.
Dalam tahun 1914 Teungku Fakinah berhasrat untuk
menunaikan rukun kelima yaitu naik Haji. Sebelum beliau berangkat terlebih
dahulu mencari muhrimnya. Dengan demikian beliau kawin dengan seorang yang
bernama Ibrahim, yang merupakan suaminya yang ketiga. Dalam bulan Juli 1915
beliau berangkat menuju tanah suci Mekkah. Di Mekkah
beliau menumpang di rumah wakaf Aceh, jalan Kusya Syiah yang diurus oleh Syech
Abdul Gani yang berasal dari Aceh Besar. Selesai melaksanakan rukun Haji,
beliau masih menetap di Mekkah untuk menuntut ilmu Pengetahuan sekaligus
memperdalam ilmu Fikih pada Teungku Syech Muhammad Saad yang berasal dari
Peusangan. Kuliah yang diberikan oleh gurugurunya dilakukan di dalam Masjidil
Haram Mekkah kepada murid-muridnya.
Selama tiga tahun berada di Mekkah untuk memperdalam
ilmunya, ketika memasuki tahun ke-4 di Mekkah, suami beliau yaitu Ibrahim
meninggal dunia di Mekkah. Maka pada tahun 1918 Teungku
Fakinah kembali ke Aceh, setibanya di Lam Krak disambut dengan meriah oleh
murid-muridnya, dan ketika itupulalah beliau memimpin kembali Deah/Pesantren
yang selama ini ditinggalkan, dan mengembangkan semua ilmu pengetahuan yang
dituntut di Mekkah kepada muridmuridnya. Teungku Fakinah Mangkat Pada tanggal 8
Ramadhan 1359 H atau tahun 1938 M, Teungku Fakinah sebagai Pahlawan
dan Ulama Wanita Aceh menghembuskan nafasnya yang terakhir di rumah kediamannya
di kampung Beuha Mukim Lam Krak dalam usia 75 tahun.
Dengan meninggalnya Teungku Fakinah, maka telah
tertanam duka cita yang sangat mendalam khususnya bagi masyarakat Mukim Lam
Krak, VII Mukim Baet, yang meliputi seluruh murid-muridnya dan simpatisan
seluruh Aceh Besar, bahkan daerah Aceh Timur, Aceh Barat, dan Pidie, sehingga
berdatangan dari segala penjuru di atas ke rumah duka/Deah untuk menyatakan
rasa duka cita dan berlangsung belasungkawa.
Sumber :
Wikipedia Indonesia
0 Response to "Teungku Fakinah"
Post a Comment