Sultanah Ke 1 Aceh Nahrasiyah
Sultanah Nahrasiyah merupakan anak dari Sulthan Zainal
Abidin yang mangkat pada tahun 1405. Pada masanya dikeluarkan dirham dengan
sisi depan bertulis Arab, “Zainal Abidin Malik az Zahir” dan di bagian belakang
tertulis, “As Sulthan Al Adil”.
Sultanah Nahrasiyah berkuasa selama 20 tahun lebih ia dikenal sebagai ratu yang arif
bijaksana. Makamnya pun begitu megah, konon pada masanya merupakan makan
terindah di Asia Tenggara, di Lhokseumawe, Aceh Utara, tepatnya di Gampong
(desa) Kuta Krueng Kecamatan Samudera 18 Km arah timur kota Lhokseumawe,
terdapat kompleks makam kerajaan Samudera Pasai (1267-1521). Kuta Krueng
sendiri, sekitar satu kilometer dari kompleks makam, dahulu kala merupakan
pusat Kerajaan Samudera Pasai.
Di dalam
kompleks terdapat 38 batu pusara, dengan makam utama Sultan Malikussaleh dan
Sultan Malikudzahir. Lain-lainnya adalah makam keluarga dan para pengawal
kerajaan. Di bagian lain, tak jauh dari makam Malikussaleh, tepatnya mendekati
bibir pantai Lhokseumawe, terdapat makam lainnya yang juga mencolok mata. Makam
terlihat megah. Terbuat dari batu pualam dengan ukiran-ukiran kaligrafi yang
indah. Kaligrafi (tulisan indah dalam bahasa Arab) itu berupa Surat Yasin yang
cantik terpahat pada nisannya. Di samping itu tercantum pula ayat kursi, Surat
Ali Imron ayat 18 dan 19, Surat Al Baqoroh ayat 285, 286 dan terpahat sebuah
penjelasan dalam aksara Arab. Arti aksara itu disebutkan Prof Dr Ibrahim Alfian
MA dalam tulisannya di buku Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah
diterjemahkan :
“Inilah
kubur wanita yang bercahaya yang suci, Ratu yang terhormat almarhumah yang
diampunkan dosanya, Nahrasiya putri Sultan Zain al-Abidin putera Sultan Al
Malikul Salih. Kepada mereka itu dicurahkan rahmat dan diampunkan dosanya,
meninggal dunia dengan rahmat Alloh pada hari Senin, 17 Dzulhijah 832 Hijriah.”
Sang Ratu
adalah anak dari Zainal Abidin Malikudzahir atau cucu dari Sultan Malikussaleh.
Ia mangkat pada hari Senin, 17 Dzulhijjah 831 Hijriah atau 27 September 1428 M.
Makamnya terbuat dari batu pualam yang pada waktu itu terindah pahatannya di
Pulau Sumatera. Bahkan disebutkan Prof Dr T Ibrahim Alfian, MA, Prof Dr
Christian Snouck Hougronje dari Belanda yang meneliti kuburan sang ratu, telah
menuliskan di bukunya , “Arabie en Oost Indie” 1907, bahwa makan Ratu
Nahrasiyah terindah di Asia Tenggara.
Dalam buku Snouck
juga menuliskan, makam tersebut merupakan duplikat dari makam Umar Ibn Akhmad
al-Kazaruni di Cambay, Gujarat, India yang mangkat pada 734 H atau 1333 M.
Bentuk nisan seperti itu satu abad lebih setelah wafatnya Ratu Nahrasiyah juga
dipakai pada pembangunan makam Maulana
Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur. Mengenai makam tersebut, warga sekitar
melihat beberapa kelebihannya. Terutama ketika terjadi tsunami melanda Aceh.
Gelombang tsunami memorak-porandakan pagar kompleks pemakaman. Namun makam sang
ratu tidak rusak sama sekali. Gelombang air menerjang diatasnya, hanya
menyisakan lumpur dan pasir di bawahnya.
Siapakah
sejatinya ratu dari Kesultanan Samudera Pasai ini ?
Nahrasiyah
adalah seorang ratu dari Kerajaan Samudera Pasai yang memegang pucuk pimpinan
tahun 1405-1428 M. Ratu Nahrasiyah merupakan anak dari Sultan Zainal Abidin
Malikudzahir yang mangkat pada tahun 1405. Ada juga versi yang menyebutkan
kalau Nahrasiyah adalah janda sang raja yang mangkat, Zainal Abidin, lalu ia
dinobatkan sebagai penggantinya.
Sekilas
tentang kesultanan Samudera Pasai, berdasarkan Hikayat Raja-raja Pasai,
diceritakan didirikan oleh Marah Silu, yang kemudian bergelar Sultan
Malikussaleh. Ia wafat pada tahun 699 H atau 1297 M. Setelah beberapa kali
pergantian Sultan, antara tahun 1345-1350 kesultanan diserang Majapahit, Sultan
Pasai melarikan diri dari ibu kota kerajaan. Sejak itu Kesultanan Pasai mati
suri.
Kesultanan
kembali bangkit di bawah pimpinan Sultan Zainal Abiddin Malikudzahir tahun 1383
M. Ia memerintah sampai tahun 1405. Dalam kronik China “Ying-yai sheng-lan,”
Sultan Zainal Abidin dikenal dengan nama Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki, dan
disebutkan ia tewas oleh raja Nakur. Selanjutnya pemerintahan Kesultanan pasai
dilanjutkan oleh putrinya –versi lain menyebutkan istrinya –Sultanah
Nahrasiyah.
Prof Dr T
Ibrahim Alfian MA menuliskan, Ratu Nahrasiyah dikenal arif dan bijak,
memerintah dengan sifak keibuan dan penuh kasih sayang. Harkat dan martabat
perempuan begitu mulia sehinga banyak yang menjadi penyiar agama pada masa
pemerintahannya. Nahrasiyah mangkat pada tanggal 17 Dzulhijjah 831 H atau 1428
M.
Ibrahim
Alfian menjelaskan, selain jejak sejarah berupa nisan, keterangan tentang Ratu
Nahrasiyah juga terdapat dalam sejarah Cina di atas. Buku itu sebenarnya berisi
laporan umum mengenai pantai-pantai Sumatera waktu itu. Namun juga menyebut
tentang raja yang berkuasa pada saat itu. Ma Huan seorang pelawat Cina Muslim
dalam pengantar buku itu menjelaskan, karena dapat menerjemah buku-buku asing,
ia dikirim oleh maharaja Cina ke berbagai negeri mengiringi Laksamana Cheng Ho.
Pada tahun
1415 Cheng Ho dan armadanya mengunjungi Kerajaan Samudera. Dalam Kronik Dinasti
Ming (1368-1643) buku 32 diceritakan, Sekandar (Iskandar) keponakan suami kedua
Ratu, bersama dengan beberapa ribu pengikutnya menyerang dan merampok Cheng Ho.
Serdadu-serdadu Cina dan rakyat Samudera dapat mengalahkan mereka, membunuh
sebagian penyerang itu dan mengejar mereka sampai ke Lambri di ujung pulau
Sumatera. Sekandar kemudian di tangkap dan dibawa sebagai tawanan ke istana
maharaja Cina. Disana Sekandar dijatui hukuman mati. Menurut Ibrahim Alfian,
ratu yang dimaksud dalam cerita Cina itu tidak lain adalah Ratu Nahrasiyah, putri
Sultan Zainal Abidin atau yang disebut literature Cina sebagai
Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki.
Tak Tertera Dalam Koin Emas
Sayangnya sangat sedikit bukti tentang kebesaran sang
ratu. Bahkan namanya tak ditemukan tertera di mata uang emas yang pada zaman Kerajaan
Pasai menjadi kebiasaan untuk mengabadikan nama sang sultan di mata uang emas
yang pada masa itu disebut dirham. Dirham atas nama Ratu Nahrasiyah yang
memerintah lebih 20 tahun tidak ditemukan baik dalam berbagai koleksi maupun
literature numismatic mata uang emas kerajaan-kerajaan Islam di Aceh.
Mengenai hal
itu, Ibrahim Alfian mengatakan, mungkin karena Ratu Narasiyah setelah suaminya
syahid, lalu menikah dengan suami yang kedua bernama Salahuddin, sama-sama
memimpin Kerajaan Samudera Pasai. Sehingga nama suaminya yang bergelar Sulthan
al Adillah yang diterakan di mata uang emas di bagian sisi belakang. Karena
pada masa Ratu Nahrasiyah, dikeluarkan dirham dengan sisi depan bertulis Arab
nama ayahnya, “Zainal Abidin Malikudzahir” dan dibagian belakang tertulis, “As
Sulthan al Adil”.
Salahuddin
sendiri tidak memakai gelar Malikudzahir karena ia bukan keturunan dinasti
Malikudzahir. Karenannya gelarnya diterakan pada sisi belakang dirham, bukan di
bagian depan sebagaimana lazimnya dirham emas raja-raja Pasai. Dirham
Salahuddin dengan kualitas emas 17 karat. Sedangkan dirham Sultan Zainal Abidin
kualitas emas 18 karat.
Mengapa koin
emas atas nama sang ratu tidak ada, menjadi pertanyaan hingga saat ini.
Mengingat makamnya yang megah dan indah, tentulah ia seorang pemimpin yang
agung. Tentulah banyak keberhasilan yang telah ditorehnya. Sayang, catatan
tentang sang ratu sangat minim. Yang paling mungkin adalah, karena Sultanah
menikah lagi, sehingga tampuk kekuasaan
banyak dipimpin suaminya, Salahuddin.
Sang
Sultanah telah membuat kaum perempuan saat itu ikut maju. Bisa belajar agama
dan menjadi penyiar-penyiar agama sebagaimana ditulis Ibrahim Alfian.
0 Response to "Sultanah Ke 1 Aceh Nahrasiyah"
Post a Comment