Pocut Meurah Intan


Pocut Meurah Intan Atau Juga Dikenal Sabagai 
Pocut Meurah Biheue 
(Wanita Heldhafting)

Pocut Meurah Intan, lahir pada tahun 1873, di desa Biheue, Kemukiman Kale, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh.
Dari namanya sudah bisa ditebak. Pocut Meurah adalah nama panggilan khusus bagi perempuan keturunan keluarga Sultan Aceh. Pocut Meurah Biheu, begitu ia biasa dipanggil. Biheue adalah sebuah kenegerian yang pada masa Kesultanan Aceh berada di bawah wilayah Sagi XXII Mukim, Aceh Besar. Setelah krisis politik pada akhir abad ke-19. Krisis tersebut diakibatkan terjadinya perampasan daerah oleh Teuku Raja pakeh Pidie atas dukungan Teungku di Boloh, kenegerian ini kemudian menjadi bagian wilayah yang mencakup Pidie, Batee, Padang Tiji, Muara Tiga. (Sumber: Binnenlands Bestuur no.1081)

Ayah Pocut Meurah bernama Keujruen (Kepala Negara) Biheue yang berasal dari keturunan Pocut Bantan. Keterangan itu sesuai dengan keterangan Veltman dalam “Nota over de Geschiedenis van het Landscap Pidie (1919). Keteragan lainnya juga diungkap Zentgraaff, dalam buku Atjeh, terbitan Beuna, Jakarta, 1983 terjemahan Aboe Bakar. Selain itu, Aboe Bakar juga mengambil sumber dari De Atjeh-Oorlog, yang ditulis Paul Van’t Veer yang memuat tentang Koloniaal Verslag, 1905, terbitan Uitgeverij De Arbeiderspres, Amsterdam 1969.

Suaminya, Tuanku Abdul Majid putra Tuanku Abbas bin Sultan Alaiddin Jauhar Alam Syah. Ia gigih melawan Belanda di Selat Malaka sekitar Muara Tiga dan Batee, yang kerap menyerang kapal-kapal dari maskapai berbendera Belanda. Karena itu pula ia dicap Belanda sebagai Zeerover, yakni perompak laut.
Kemudian Dari perkawinan dengan Tuanku Abdul Majid, Pocut Muerah Intan memperoleh tiga orang putra yaitu Tuanku Muhammad yang dipanggil Tuanku Muhammad Batee, Tuanku Budiman dan Tuanku Nurdin. Dalam Koloniaal Veslag tahun 1905 diriwayatkan, Pocut Di Biheue merupakan figur dari keluarga kerajaan Aceh yang paling anti terhadap Belanda. Ia satu-satunya tokoh dari kalangan Kesultanan Aceh yang tidak tunduk pada Belanda hingga tahun 1904.

Suatu ketika dalam tahun dan tanggal yang tak disebutkan, Tuanku Abdul Majid ditawan Belanda. Hal itu tidak menyurut langkan Pocut Di Biheue untuk melanjutkan perlawanannya. Ia mengajak serta ketiga puteranya untuk terus melawan Belanda di daerah kekuasaannya di Biheue. Mereka berperang secara gerilya. Dua dari tiga putra Pocut Di Biheue kemudian terkenal sebagai pemimpin perlawanan yang menjadi buronan Belanda yakni Tuanku Muhamamd Batee dan Tuanku Nurdin.

Belanda bersama pasukan marsosenya terus menyerang Biheue dan wilayah XII Mukim, Pidie dan sekitarnya. Namun gagal menemukan Pocut Di Biheue bersama putra-putranya itu. Sejumlah perwira Belanda bersama pasukannya ditugaskan ke Pidie untuk melacak keberadaan Pocut Di Biheue.
Doup, penulis Belanda dalam tulisannya, Gedenkboek van het Marechausse van Atjeh en Onderhoorigheden (1940), menulis sejumlah nama komandan pasukan marsose yang bertugas melacak dan mengejar kedua putra Pocut Di Biheue itu. Para komandan marsose yang kebagian tuga itu antara lain Letnan J J Burger, Letnan Jhr J J Boreel, dan Sersan Feenstra.

Untuk mengejar Pocut di Biheue dan putranya, Belanda terus meningkatkan aktivitas patrolinya. Karena itu ruang gerak gerilyawan Aceh jadi sempit. Akhirnya, setelah sekian lama melakukan pengejaran, pada bulan Februari 1900, Tuanku Muhammad Batee tertangkap, dan karena dianggap sangat berbahaya bagi keamanan penjajahan Belanda, maka pada tanggal 19 April 1900 beliau diasingkan ke Tondano, Sulawesi Utara dengan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 25 pasar 47 R.R.

Tak lama kemudian, keberadaan Pocut Di Biheue juga diketahui Belanda. Ia berhadapan seorang diri dengan patroli marsose. Karena terdesak oleh belasan tentara Belanda, Pocut Di Biheue mencabut rencong dari pinggangnya, ia menyerang patroli itu seorang diri. “Kalau begini, biarkan aku mati,” teriaknya. Pocut Di Biheue memilih menyerang patroli itu dari pada ditangkap. Melihat itu, tentara marsose terkejut. Mereka tak menyangka, seorang perempuan paruh baya berani menyerang 18 orang marsose (serdadu) tentara Belanda lengkap dengan senjata yang dipimpin oleh Veltman. Ia menikam ke kiri dan ke kanan sehingga mengenai tubuh beberapa marsose. Sementara tubuhnya sendiri juga ditebas dengan sabetan pedang marsose.

Pocut Di Biheue mengalami dua luka sabetan pedang di kepalanya dan dua sabetan di bahu. Salah satu urat keningnya juga putus. Ia terbaring di tanah bersimbah darah dan lumpur. Melihat Pocur Di Biheue yang sudah tak berdaya, seorang sersan bertanya pada Veltman komandannya. Ia minta ijin untuk mengakhiri penderitaan Pocut Di Biheue, ia ingin menembaknya hingga meninggal. “Bolehkan saya melepaskan tembakan pelepas nyawa?” tanya sersan itu.

Veltman kemudian membentak sersan tersebut. “Apa kau sudah gila.” Veltman kemudian membungkuk dan menjulurkan tangannya untuk membantu Pocut Di Biheue, tapi mukanya diludasi, “Jangan kau pegang aku kaphe,” kata Pocut Di Biheue sambil setelah meludah wajah Veltman. Akhirnya Veltaman meninggalkan Pocut di Biheue.

Kemudia Pocut ditemukan dan dirawat oleh para penduduk, dan walau masih dalam masa kritisnya, tetap bertekad untuk lanjutkan perjuangan. Tak hanya itu, Pocut juga telah menyusun rencana untuk menghabisi si pengkhianat negeri, musuh dalam selimut, yaitu penduduk desa yang telah menjadi mata-mata Belanda.

Sementara itu, Veltman yang kemudian mencari tau keberadaannya, dan hatinya sungguh terenyuh kala menyaksikan Pocut terbaring lemah, tak berdaya dengan kain kusam yang membalut luka-luka di tubuhnya. Yang lebih membuatnya terenyuh adalah, penduduk desa menggunakan kotoran sapi sebagai antibiotik alami demi menyembuhkan luka-luka Pocut. Sungguh mengiris hati, apalagi melihat wanita pemberani itu menggigil dan mengerang penuh kesakitan.

Terketuk hatinya, pemimpin pasukan Belanda yang fasih berbahasa Aceh ini berupaya keras membujuk Pocut agar bersedia diobati oleh dokter Belanda. Pocut menolak keras, tak sudi tubuhnya disentuh/diobati oleh tangan-tangan para kafe Ulanda. Namun akhirnya berkat bujukan Veltman, Pocut menyerah dan bersedia untuk diobati. Proses penyembuhan memakan waktu yang lama dan akhirnya walau pun sembuh, Pocut mengalami cacat fisik [pincang] pada kakinya.

Mendengar keberanian Pocut melawan pasukan Veltman seorang diri hanya dengan sebilah rencong, Komandan militer Scheuer memutuskan untuk mengunjungi dan bertemu Pocut, yang tentu saja didampingi oleh Veltman, yang juga bertindak sebagai penerjemah. Komandan Scheuer menaruh hormat kepada Pocut, tanpa dibuat-buat, murni dari lubuk hatinya. Setulus hati dia meminta Veltman untuk menyampaikan kepada Pocut, bahwa dirinya sangat kagum pada Pocut. Sikapnya ini memancing rasa apresiasi dari Pocut, membuat wanita itu mengangguk dan tersenyum padanya. Namun itu tak berarti bahwa Pocut akan menghentikan peperangan dalam rangka mempertahankan negerinya... Perang akan berlanjut dan para kafe Ulanda harus angkat kaki dari tanah rencong ini!

Perjuangan memang terus berlanjut, bumi Aceh terus bergolak karena para gerilyawan terus beraksi. Pocut masih belum sembuh total dan tetap dalam pengawasan Belanda. Perjuangan dilanjutkan oleh ketiga putranya serta Pang Mahmud yang setia. Sayangnya,

Ketika sembuh dari sakitnya, Pocut masih melanjutkan perjuangan bahkan masih mampu memimpin pasukan, walau akhirnya berhasil ditangkap dan dijadikan tahanan Belanda, dan bersama putranya tuanku Budiman dimasukkan ke penjara Belanda, Kutaraja. Dalam waktu yang sama, tuanku Nurdin tetap melanjutkan perjuangan dan memimpin para pejuang di kawasan Muara Tiga. Pada tanggal 18 Februari 1905, Belanda berhasil menangkap tuanku Nurdin di tempat persembunyiannya di Desa Lhok Kaju. Sebelumnya Belanda terlebih dahulu menangkap istri dari tuanku Nurdin sebagai taktik untuk membuat tuanku Nurdin menyerah, namun ternyata taktik ini tidak membawa hasil.

Kemudian, pada 6 Mei 1905, Pocut beserta kedua putranya yaitu tuanku Nurdin dan tuanku Budiman serta seorang saudaranya, tuanku Ibrahim diasingkan ke tanah Jawa, tepatnya di Blora, Jawa Tengah, berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda tanggal 6 Mei 1905, No. 24. . Dan sejak itu, perjuangan Pocut dan putra-putranya tak lagi menemukan kesempatan untuk berlanjut. Ketiganya hidup dalam pengasingan, dan kemudian Pocut Meurah Intan menghembuskan napas terakhirnya pada 20 September 1937, di pengasingan. Jauh dari tanah rencong, tanah tumpah darahnya tercinta.

Makamnya terletak di desa Temurejo, Blora, Jawa Tengah, dan pernah ada rencana dari Pemerintah Aceh untuk memindahkan makam Pocut ke tanah kelahirannya, namun amanah Pocut yang disampaikan pada salah seorang sahabatnya di Blora, yaitu RM Ngabehi Dono Muhammad, bahwa Pocut lebih senang bersemayam di Blora membuat rencana ini tak jadi dilanjutkan.

Menurut catatan sejarah, perjuangannya terjadi di akhir abad 19 sampai awal abad 20. Pada 11 November 1902. Veltman, pimpinan Korps Marcchausse memberi gelar Heldhafting (Yang Gagah Berani) kepada pocut Meurah Intan. Sekarang Namanya ditabalkan pada taman hutan raya (Tahura) antara perbatasan Kabupaten Pidie dan Aceh Besar di ketinggian gunung Seulawah.




0 Response to "Pocut Meurah Intan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel