Hukum Agraria
A. Pengertian
Kata agraria mempunyai arti yang sangat berbeda antara
bahasa yang satu dengan bahasa lainnya. Istilah agraria berasal dari kata akker (Bahasa
Belanda), agros (Bahasa Yunani) berarti tanah pertanian, agger (Bahasa
Latin) berarti tanah atau sebidang tanah, agrarian (Bahasa Inggris) berarti tanah untuk
pertanian. Dalam terminologi bahasa Indonesia, agraria berarti 1) urusan
pertanian atau tanah pertanian, 2) urusan pemilikan tanah.
Menurut Andi Hamzah, agraria adalah masalah tanah dan
semua yang ada di dalam dan di atasnya. Menurut Subekti dan R. Tjitrosoedibio,
agraria adalah urusan tanah dan segala apa yang ada di dalam dan di atasnya.
Apa yang ada di dalam tanah misalnya batu, kerikil, tambang, sedangkan yang ada
di atas tanah dapat berupa tanaman, bangunan.
Didalam UUPA pengertian agraria dan hukum
agraria mempunyai arti atau makna yang sangat luas. Pengertian agraria
meliputi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya (Pasal 1 ayat (2). Ruang lingkup agraria menurut UUPA
meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya. Ruang lingkup agraria menurut UUPA sama dengan ruang lingkup sumber
daya agraria / sumber daya alam menurut Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001
tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Ruang lingkup agraria / sumber daya agraria / sumber daya alam dapat dijelaskan
sebagai berikut:
- Bumi
Pengertian bumi menurut Pasal 1 Ayat (4) UUPA adalah
permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah
air. Permukaan bumi menurut Pasal 4 Ayat (1) UUPA adalah tanah.
- Air
Pengertian air menurut Pasal 1 Ayat (5) UUPA adalah
air yang berada di perairan pedalaman maupun air yang berada di laut wilayah
Indonesia. Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 tentang
Pengairan, disebutkan bahwa pengairan air meliputi air yang terkandung di dalam
dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang terdapat di atas maupun di
bawah permukaan tanah, tetapi tidak meliputi air yang ada di laut.
- Ruang Angkasa
Pengertian ruang angkasa menurut Pasal 1 Ayat (6) UUPA
adalah ruang di atas bumi wilayah Indonesia dan ruang di atas air wilayah
Indonesia. Pengertian ruang angkasa menurut Pasal 48 UUPA, ruang di atas bumi
dan air yang mengandung tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan untuk
usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dan hal-hal lain yang bersangkutan dengan itu.
- Kekayaan
Alam yang Terkandung di Dalamnya
Kekayaan Alam yang Terkandung di Dalamnya Kekayaan
alam yang terkandung di dalam disebut bahan, yaitu unsur-unsur kimia,
mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan, termasuk batuan-batuan
mulia yang merupakan endapan-endapan alam (Undang-Undang No. 11 Tahun 1967
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan)Pengertian agraria juga sering
dikaitkan dengan corak kehidupan suatu masyarakat atau bangsa, misalnya
Indonesia sebagai negara agraris, yaitu suatu bangsa yang sebagian besar
masyarakatnya hidup dari bercocok tanam (bertani) atau kehidupan masyarakatnya
bertumpu pada sektor pertanian. Agraris sebagai kata sifat dipergunakan untuk
membedakan corak kehidupan masyarakat pedesaan yang bertumpu pada sektor
pertanian dengan corak kehidupan.
B. Sumber Hukum Agraria.
1. Sumber Hukum Tertulis.
a.
Undang-Undang
Dasar 1945, khususnya dalam Pasal 33 ayat (3). Di mana dalam Pasal 33 ayat (3)
ditentukan :
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
b.
Undang-undang
Pokok Agraria.
Undang-undangg
ini dimuat dalam Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1960 tentang : Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria, tertanggal 24 September 1960 diundangkan dan dimuat dalam
Lembaran Negara tahun 1960-140, dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan
Lembaran Negara nomor 2043.
c.
Peraturan
perundang-undangan di bidang agraria :
1).
Peraturan
pelaksanaan UUPA
2).
Pertauran
yang mengatur soal-soal yang tidak diwajibkan tetapi diperlukan dalam praktik.
d.
Peraturan
lama, tetapi dengan syarat tertentu berdasarkan peraturan/Pasal Peralihan,
masih berlaku.
2. Sumber Hukum Tidak Tertulis.
a.
Kebiasaan
baru yang timbul sesudah berlakunya UUPA, misalnya :
1).
Yurisprudensi;
2).
Praktik
agraria.
b.
Hukum adat
yang lama, dengan syarat-syarat tertentu, yaitu cacat-cacatnya telah
dibersihkan.
C.
Azas Hukum Agraria
Hukum agraria di Indonesia menggunakan berbagai azas
antara lain ialah:
1. Azas nasionalisme dimana hanya warga
negara Indonesia saja yang mempunyai hak milik atas tanah atau yang boleh
mempunyai hubungan dengan bumi dan ruang angkasa dengan tidak membedakan antara
laki dan perempuan serta warga negara asli dan keturunan.
2. Asaz hukum adat, mengandung maksud
bahwa hukum adat yang digunakan dalam hukum agraria adalah hukum adat yang
sudah dibersihkan dari segi-segi negatifnya.
3. Asaz dikuasai oleh negara, seperti
yang termaktub dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun
1960 yang menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya pada tingkat tertinggi dikuasai oleh negara sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
4. Azas fungsi sosial, sebagaimana
dimaksud dalam pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 yang
menyatakan bahwa penggunaan tanah tidak boleh bertentangan dengan hak-hak orang
lain dan kepentingan umum, kesusilaan serta keagamaan.
5. Azas gotong royong, disebutkan dalam
pasal 12 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 yang menyatakan bahwa
segala usaha bersama dalam lapangan agraria didasarkan atas kepentingan bersama
dalam rangka kepentingan nasional dalam bentuk koperasi atau dalam bentuk usaha
gotong royong lainnya dan negara dapat bersama-sama dengan pihak lain untuk
menyelenggarakan usaha bersama dalam lapangan agraria.
6. Azas kebangsaan menyatakan bahwa
setiap warga negara Indonesia baik asli maupun warga Indonesia keturunan berhak
memiliki hak atas tanah.
7. Azas unifikasi, menyatakan bahwa hukum
agraria disatukan dalam sebuah undang-undang yang diberlakukan bagi seluruh
warga negara Indonesia, yang berarti hanya ada satu hukum agraria yang berlaku
di Indonesia yaitu Undang-Undang Pokok Agraria.
8. Azas non-diskriminasi dengan tegas
menyebutkan bahwa azas yang melandasi hukum agraria (Undang-Undang Pokok
Agraria) adalah bahwa undang-Undang Pokok Agraria tidak membedakan antara
sesama warga negara Indonesia baik yang asli maupun keturunan asing.
9. Azas pemisahan horizontal. Terdapat
pemisahan antara pemilikan hak atas tanah dengan benda atau bangunan yang
terdapat diatas tanah tersebut. Asas ini merupakan lawan asas vertikal atau
asas perlekatan yang menyatakan bahwa segala apa yang melekat pada suatu benda
atau yang merupakan satu bagian dengan benda tersebut dianggap menjadi satu
dengan bagian tersebut atau dengan kata lain tidak terdapat pemisahan antara
hak atas tanah dengan bangunan yang terdapat diatasnya.
D.
Sejarah Hukum Agraria
1. Sebelum
tahun 1870.
a. Pada masa VOC (Vernigde Oost Indische Compagnie).
VOC didirkan
pada tahun 1602 – 1799 sebagai badan perdagangan sebagai upaya guna menghindari
persaingan antara pedagang Belanda kala itu. VOC tidak mengubah struktur
penguasaan dan pemilikan tanah, kecuali pajak hasil dan kerja rodi.
Beberapa kebijaksanaan
politik pertanian yang sangat menindas rakyat Indonesia yang ditetapkan oleh
VOC, antara lain :
1).
Contingenten.
Pajak hasil
atas tanah pertanian harus diserahkan kepada penguasa kolonial (kompeni).
Petani harus menyerahkan sebgaian dari hasil pertaniannya kepada kompeni tanpa
dibayar sepeser pun.
2).
Verplichte
leveranten.
Suatu bentuk
ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan para raja tentang kewajiban
meyerahkan seluruh hasil panen dengan pembayaran yang harganya juga sudah ditetapkan
secara sepihak. Dengan ketentuan ini, rakyat tani benar-benar tidak bisa
berbuat apa-apa. Mereka tidak berkuasa atas apa yang mereka hasilkan.
3).
Roerendiensten.
Keijaksanaan
ini dikenal dengan kerja rodi, yang dibebankan kepada rakyat Indonesia yang
tidak mempunyai tanah pertanian.
b. Masa Pemerintahan Gubernur Herman
Willem Daendles (1800-1811).
Awal dari
perubahan struktur penguasaan dan pemilikan tanah dengan penjualan tanah,
hingga menimbulkan tanah partikelir.
Kebijakannya
itu adalah dengan menjual tanah-tanah rakyat Indonesia kepada orang-orang Cina,
Arab maupun bangsa Belanda sendiri. Tanah itulah yang kemudian disebut tanah
partikelir. Tanah partikelir adalah tanah eigendom yang mempunyai sifat
dan corak istimewa. Yang membedakan dengan tanah eigendom lainnya ialah
adanya hak-hak pada pamiliknya yang bersifat kenegaraan yang disebut landheerlijke
rechten atau hak pertuanan. Hak pertuanan, misalnya :
a.
Hak untuk
mengangkat atau mengesahkan kepemilikan serta memberhentikan kepal-kepala
kampung/desa;
b.
Hak untuk
menuntut kerja paksa (rodi) atau memungut uang pengganti kerja paksa dari
penduduk;
c.
Hak untuk
mengadakan pungutan-pungutan, baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari
penduduk;
d.
Hak untuk mendirikan
pasar-pasar;
e.
Hak untuk
memungut biaya pemakaian jalan dan penyebrangan;
f.
Hak untuk
mengharuskan penduduk tiga hari sekali memotong rumput untuk keperluan tuan
tanah, sehari dalam seminggu untuk menjaga rumah atau gudang-gudangnya dan
sebagainya.
c. Masa Pemerintahan Gubernur Thomas Stamford Rafles
(1811-1816).
Pada masa
Rafles semua tanah yang berada di bawah kekuasaan government dinyatakan
sebagai eigendom government. Dengan dasar ini setiap tanah dikenakan
pahaj bumi.
Dari hasil
penelitian Rafles, pemilikan tanah-tanah di daerah swapraja di Jawa disimpulkan
bahwa semua tanah milik raja, sedang rakyat hanya sekedar memakai dan
menggarapnya. Karena kekuasaan telah berpindah kepada Pemerintah Inggris, maka
sebagai akibat hukumnya adalah pemilikan atas tanah-tanah tersebut dngna
sendirinya beralih pula kepa Raja Inggris. Dengan demikian, tanah-tanah yang
dikuasai dan digunakan oleh rakyat itu bukan miliknya, melainka milik Raja
Inggris. Oleh karena itu, mereka wajib memberikan pajak tanah kepada Raja
Inggris, sebagaimana sebelumnya diberikan kepada raja mereka sendiri.
d. Masa Pemerintahan Gubernur Johanes van den
Bosch.
Pada tahun
1830 Gubernur Jenderal van den Bosch menetapkan kebijakan pertanhan yang
dikenal dengan sistem Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel.
Dalam sistem
tanam paksa ini petani dipaksa untuk menanam suatu jenis tanaman tertentu yang
secara langsung maupun tidak lengsung dibutuhkan oleh pasar internasional paa
waktu itu. Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintah kolonial tanpa
mendapat imbalan apapun, sedangkan bagi rakyat yang tidak mempunyai tanah
pertanian wajib menyerahkan tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa
kerjanya atau 66 hari untuk waktu satu tahun.
Adanya
monopoli pemerintah dengan sistem tanam paksa dalam lapangan pertanian telah
membatasi modal swasta dalam lapangan pertanian besar. Di samping pada dasarnya
para penguasa itu tidak mempunyai tanah sendiri yang cukup luas dengan jaminan
yang kuat guna dapat mengusahakan dan mengelola tanah dengan waktu yang cukup
lama. Usaha yang dilakukan oleh pengusaha swasta pada waktu itu adalah menyewa
tanah dari negara. Tanah-tanah yagn biasa disewa adalah tanah-tanah negara
nyang masih kosong.
2. Sesudah tahun 1870 (hukum tanah
administratif Belanda).
a. Agrarische Wet (AW).
Pada tahun
1870 lahirlah Agrarische Wet yang merupakan pokok penting dari hukum
agraria dan semua peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan pemerintah masa itu
sebagai permulaan hukum agraria barat. Ide awal dikelularkannya Agrarische
Wet (AW) ini adalah sebagai respon terhadap kaingina perusahaan-perusahaan
asing yang bergerak dalam bidang pertanian untuk berkembang di Indonesia, namun
hak-hak rakyat atas tanahnya harus dijamin.
AW
ininmerupakan undnag-undang di negeri Belanda, yang diterbitkan pada tahun
1870, dengan diundangkan dalam S.1870-55. dimasukkannya ke Indonesia, dengan
memasukkan Pasal 62 RR, yang pada mulanya terdiri dari 3 ayat, dengan
penambahan 5 ayat tersebut sehingga Pasal 62 RR menjadi 8 ayat, yakni ayat 4
sampai dengan ayat 8. pada akhirnya Pasal 62 RR ini menjadi Pasal 51 IS.
Pasal 51 IS
ini memuat :
Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4)
Ayat (5)
Ayat (6)
Ayat (7)
Ayat (8)
|
:
:
:
:
:
:
:
:
|
Gubernur
Jenderal tidak boleh menjual tanah.
Di dalam
larangan ini tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luas, yang diperuntukan
perluasan kota dan desa serta mendirikan bangunan-bangunan
kerajinan/industri.
Gubernur
Jenderal dapat menyewakan tanah dnegan ketentuan yang ditetpakan dengan
ordonansi. Ada pun tanah-tanah yang telah dibuka oleh orang-orang Indonesia
asli, atau yang dipunyai oleh desa sebagai tempat pengembalaan umum atau atas
dasar lainnya tidak boleh dipersewakan.
Menurut
peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan ordonansi diberikan tanah dengan
Hak Erfacht selama waktu tidak lebih dari 75 tahun.
Gubernur
Jenderal menjaga jangan sampai ada penberian Hak yang melanggar Hak penduduk
asli.
Gubernur
Jenderal tidak boleh mengambil tanah-tanah yang telah dibuka oleh orang-orang
Indonesia asli untuk keperluan mereka sendiri, atau tanah-tanah kepunyaan
desa sebagai tempatpengembalaan umum atas dasar lainnya, kecuali untuk
kepentingan umum berdasrkan Pasal 133 dan untuk keperluan pengusahaan tanaman
yang diselenggarakan atas perintah atasan dengan pemberian ganti rugi atas
tanah.
Tanah yang
dipunyai oleh orang-orang Indonesia asli dengan Hak Milik (hak pakai
perseorangan yang turun temurun) atas permintaan pemiliknya yang syah
diberikan kepadanya dengan hak eigendom dengan pembatasan-pembatasan
seperlunya yang ditetapkan dengan ordonansi dan dicantumkan dalam surat eigendomnya,
yakni mengenai kewajiban-kewajiban terhadap negara dan desa serta wewenang
untuk menjualnya kepada bukan orang Indonesia asli.
Menyewakan
tanah-tanah atau menyerahkan tanah untuk dipakai oleh orang-orang Indonesia
asli, kepada bukan orang Indonesia asli dilakukan menurut peraturan-peraturan
yang ditetapkan dengan ordonansi.
|
Terbentuknya
AW merupakan upaya desakan dari para kalangan pengusaha di negeri Belanda yang
karenan keberhasilan usahanya mengalami kelebihan modal, karenanya memerlukan
bidang usaha baru untuk menginvestasikannya. Dengan banyaknya persediaan tana
hutan di jawa yang belum dibuka, para pengusaha itu menuntut untuk diberikannya
kesempatan membuka usaha di bidang perkebunan besar. Sejalan dengan semangat
liberalisme yang sedang berkembang dituntut pengantian sisten monopoli negara
dan kerja paksa dalam melaksanakan cultuur stelse, dengna sisitem persaingan
bebasa dan sistem kerja bebas, berdasarkan konsepsi kapitalisme liberal.
Untuk
pelaksanaan AW tersebut, maka diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan dan
keputusan, diantaranya dalam Agrarische Besluit.
b. Agrarische Besluit (AB).
Ketentuan-ketentuan
AW pelaksanaannya diatur lebih lanjuta dalam peraturan dan keputusan. Salah
satu keputusan yang paling penting adalah apa yang dimuat dalam Koninklijk
Besluit (KB), yang kemudian dikenal dengan nama Agrarische Besluit (AB),
S.1870-118.
AB terdiri
dari tiga bab, yaitu ;
1).
Pasal 1-7
tentang hak atas tanah;
2).
Pasal 8-8b
tentang pelepasan tanah;
3).
Pasal 19-20
tentang peraturan campuran.
Dalam Pasal
1 AB tersebut dimuat satu pernyataan yang asas yang sangat penting bagi
perkembangan dan pelaksanaan hukum tanah administratif Hindi Belanda. Asas
tersebut dinilai sebagai kurang menghargai , bahkan “memperkosa” hak-hak rakyat
atas tanah yang bersumber pada hukum adat.
Dinyatakan
dalam Pasal 1 AB tersebut :
“Behoudens opvolging van de tweede en derde bepaling
der voormelde wet, blijft het beginsel gehandhaafd, dat alle grond, waarop niet
anderen reght van eigendom wordt bewezen, domein van de staat is”.
Artinya :
“Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam
Pasal 2 dan 3 Agrarische Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah yang
pihak lain tidak dapar membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein
negara (milik) negara”.
AB hanya
berlaku untuk Jawa dan Madura, maka apa yang dinyatakan dalam Pasal 1 AB
tersebut, yang dikenal sebagai Domein Verklaring (Pernyataan Domein)
semulanjuga berlaku untuk Jawa dan Madura saja. Tetapi kemudian pernyataan
domein tersebut diberlakukan juga untuk daerah pemerintahan langsung di luar
Jawa dan Madura, dengan suatu ordonansi yang diundangkan dalam S.1875-119a.
Maksud dari
adanya pernyataan domein itu adalah untuk memberikan ketegasan sehingga tidak
ada keragu-raguan, bahwa satu-satunya penguasa yang berwenang untuk memberikan
tanah-tanah kepada pihak lain adalah Pemerintah. Dengan adanya pernyataan
domein, maka tanah-tanah di Hindi Belanda dibagi menjadi dua jenis, yaitu :
1).
Vrijlands
Domein atau tanah negara bebas, yaitu tanah yang di atasnya tidak ada hak
penduduk bumi putera.
2).
Onvrijlands
Domein atau tanah negra tidak bebas, yaitu tanah yang di atasnya ada hak penduduk
maupun desa.
Dalam
praktiknya, pernyataan domein mempunyai dua fungsi, yakni :
1).
Sebagai
landasan hukum bagi pemerintah kolonial untuk dapat memberikan tanah dengan
hak-hak barat seperti yang diatur dalam KUHPerdata, misalnya hak eigendom, hak
opstal, dan hak erfacht.
2).
Untuk
keperluan pembuktian pemilikan, yaitu apabila negara berperkara, maka negara
tidak pelu membuktikan hak eigendomnya atas tanah, tetapi piha lainlah yang
wajib membuktikan haknya.
Untuk
diketahui bahwa hak rakyat Indonesia atas tanahnya adalah berdasarkan hukum
adat, sedangkan dalam hukum adat tidak adak ketentuan hukum yang sama dengan
Pasal 570 BW, maka denga sekaligus semua tanah dari rakyat Indonesia termasuk
menjadi tanah negara (domein negara). Yang tidak termasuk tanah negara, menurut
Pemerintah Hindia Belanda, adalah tanah-tanah seperti di bawah ini :
1).
Tanh-tanah
daerah swapraja;
2).
Tanah-tanah
yang menjadi eigendom orang lain;
3).
Tanah-tanah
partikulir;
4).
Tanah-tanah
eigendom agraria (Agrarische eigendom).
c. Erfacht
Ordonantie.
Mengenai
pemberian hak erfacht kepada para pengusaha tersebut, menurut AW harus diataur
dalam ordonansi. Maka daka dalam pelaksanaannya dijumpai berbagai peraturan
mengenai hak erfacht, yaitu :
a.
Untuk Jawa
dan Madura, kecuali daerah-daerah Swapraja :
1).
Agrarische
Besluit (S.1870-118) Pasal 9 sampai dengan 17;
2).
Ordonansi
yang dimuat S.1872-237a, yang beberapa kali mengalami perubahan , terakhir
dalam tahun 1913 disusun kembali dan diundangkan dalam S.1913-699.
b.
Untuk luar
Jawa dan Madura, kecuali daerah-daerah Swapraja : semula ada beberapa ordonansi
yang mengatur hal-hal mengenai pemberian hak erfacht yang berlaku di
daerah-daerah tertentu,
1).
S.1874f
untuk Sumatera.
2).
S.1877-55
untuk keresidenan Manado.
3).
S.1888-58
utnuk daerah Zuider-en Oosteradeling Borneo.
Dalam tahun
1914 diundangkan satu ordonansi utnuk semua daerah pemerintahan langsung di
luar Jawa dan dimuat dalam S.1914-367 Ordonansi yang baru itu dikenal dengan
sebutan “Erfachtordonantie Buitengewesten”. Semua ordonansi yang lama
ditarik kembali kecuali Pasal 1-nya masing-masing.
c.
Untuk
daerah-daerah swapraja luar Jawa :
Diatur dalam
S.1910-61 dengan sebutan erfachtordonantie Zelfbesturende Landschappen
Buitengewesten. Berlakunya di masing-masing swapraja menurut petunjuk
Gubernur Jenderal.
Sebelum
adanya ordonansi itu di daerah-daerah swapraja di luar Jawa tidak diberikan hak
erfacht, melainkan hak konsesi untuk perusahaan kebun besar.
Persewaan
tanah rakyat kepada perusahaan kebun besar diatur pula dengan ordonansi, yang
telah mengalami perubahan-perubahan menjadi :
1).
Grondhuurordonantie
(S.1918-88), yang berlaku di Jawa dan Madura, kecuali Surakarta dan Yogyakarta;
2).
Vordtenlands
Groondhuur Reglement (S.1918-20), yang berlaku di daerah swapraja Surakarta
dan Yogyakarta.
d. Agrarische Eigendom.
Agrarische
eigendom adalah suatu koninklijk besluit tertanggal 16 April 1872, Nomor : 29,
mengenai hak agrarische eigendom.
Yang
dimaksud dengan Agrarische eigendom adalah suatu hak yang bertujuan
untuk memberikan kepada orang-orang Indonesia/pribumi,nsuatu hak yang kuat atas
sebidang tanah. Agrarische eigendom ini, dalam praktik untuk membedakan
hak eigendom sebgaimana yang dimaksud dalam BW.
Agrarische
eigendom diatur dalam Pasal 51 ayat (7) I.S., diatur lebih lanjut dalam Pasal 4 AB
kemudian diatur lebih lanjut dalam KB tanggal 16 April 1872 Nomor : 29 (S.
1872-117) dan S. 1837-38. berdasarkan KB tersbut, tata cara memperoleh Agrarische
eigendom dijelaskan di bawah ini, yaitu :
1).
Apabila
seseorang Indonesia asli (=bumi putera) berkeinginan agar hak milik atas
tanahnya, dirubah menjadi Hak Agrarische eigendom, maka pemohonannya
harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat, agar ia ditetapkan
sebagai pemiliknya. Inilah yang disebut : uitwijzing van erfelijk
individucel gebbruikrecht. Ini hanya mungkin apabila tanahnya di lkuar
sengketa, artinya tanpa berperkara dengan pihak lain.
2).
Untuk ini
semua sebelumnya diadakan pengumuman, di desanya yang bersangkutan untuk
memberi kesempatan kepada pihak ketiga yang merasa berkepentigan akan
mengajukan keberatan-keberatan terhadap permohonan uitwijzing van erfelijk
individucel gebbruikrecht di atas.
3).
Dengan
berlandaskan keputusan ketua pengadilan negeri tersebut, maka agrarische
eigendom dapat diberikan kepada pemohon oleh bupati yang bersangkutan
bertindak untuk dan atas nama pemberian gubernur jenderal.
4).
Agrarische
eigendom yang telah diperoleh dari bupati tersebut, maka Agrarische eigendom
tersebut harus didafatarkan menurut peraturan sebagaimana dimuat dalam
S.1873-38, dan kepada pemiliknya akan mendapat surat tanda bukti hak.
5).
Setiap
peralihan hak, pembebanan degnan hypotheek, harus didaftarkan di Kantor
Pengadilan Negeri.
Tujuan adanya Agrarische eigendom sebetulnya bertujuan untuk
memberikan kepada orang-orang Indonesia asli dengan semata hak yang kuat, yang
pasti karena terdaftar dan haknya dapat dibebani dengan hypotheek. Tetapi dalam
praktiknya kesempatan untuk menggantikan hak miliknya dengan menjadi Agrarische
eigendom tidak banyak dipergunakan.
3. Sesudah
Tahun 1942.
Pada periode
sesudah tahun 1942, terjadi situasi yang cenderung pada :
a.
Periode kacau di bidang pemerintahan mengakibatkan
kebijaksanaan pemanfaatana tanah dan penguasaan tanah tidak tertib;
b.
Tujuan utama, usaha menunjang kepentingan Jepang;
c.
Permulaan akupasi liar pada tanah-tanah perkebunan
atau penebangan
d.
Usaha pengembalian kembali perkebunan milik Belanda;
e.
Kerusakan fisik tanah karena politik bumihangus dan
penggunaan tanah melampaui batas kemampuannya.
Pada masa penjajahan tersebut di atas keadaan hukum
agraria Indonesia menurut hukum adat tidak terlepas dari hukum adat daerah
setempat antara lain, perangkat hukumnya tidak tertulis, bersifat komunal,
bersifat tunai dan bersifat langsung. Sedangakan mengenaihak atas tanah
mengenal peristilahan yang lain ;
a.
Hak
persekutuan atas tanah yaitu hak ulayatl;
b.
Hak
perorangan atas tanah :
1)
Hak milik,
hak yayasan;
2)
Hak wenang
pilih, hak mendahulu;
3)
Hak
menikmati hasil;
4)
Hak pakai;
5)
Hak imbal
jabatan;
6)
Hak wenang
beli.
Pada masa kolonial ini tanah-tanah hak adat tidak
terdaftar, kalaupun ada hanyalah bertujuan untuk bukti setoran pajak yang telah
dibayar oleh pemiliknya, sehingga secara yuridis formal bukan sebagai
pembuktian hak.
4. Hukum Agraria Masa Kemerdekaan Sampai Tahun 1960.
Diproklamirkannya
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta atas
nama Bangsa Indonesia mengakibatkan bangsa Indonesia memperoleh kedaulatan di
tangan sendiri. Pada masa itu pendudukan tanah oleh masyarakt sudah menjadi hal
yang sangat komplek karena masyarakat yang belum berkesempatan menduduki tanah
perkebunan dalam waktu singkat berusaha untuk menduduki tanah.
Sejak pengakuan
keadulatan oleh Belanda atas negara Indonesia, barulah pemerintah mulai menata
kembali pendudukan tanah oleh rakyat dengan melakukan hal-hal berikut :
a.
Mendata
kembali berapa luas tanah dan jumlah penduduk yang mengusahakan tanah-tanah
perkebunan untuk usaha pertanian. Di daerah Malang luasnya tanah perkebunan ±
20.000 Ha. pendudukan oleh rakyat seluas ± 8.000 Ha. Daerah Kediri luas tanah
perkebunan ± 23.000 Ha. pendudukan oleh rakyat seluas ± 13.000 Ha. dan
menurut perkiraan dari luas tanah perkebunan di Jawa yang seluas ± 200.000 Ha.
telah diduduki rakyat seluas ± 80.000 Ha.
b.
Pendudukan
tanah perkebunan yang hampir dialami oleh semua perkebunan lambat laun akan
menghambat usaha pembangunan kembali suatu cabang produksi yang penting bagi
negara serta memperlambat pesatnya kemajuan produksi hasil-hasil perkebunan
yang sangat diperlukan. Sebagian tanah perkebunan yang terletak di daerah
pegunungan sehingga taidak cocok untuk usaha pertanian, untuk itu perlu
ditertibkan.
c.
Pemakian
tanah-tanah perkebunan yang berlokasi di daerah pegunungan tersebut dikuatirkan
akan menimbulkan bahayb erosi dan penyerapan air.
d.
Pemakaian
tanah-tanah oleh rakyat di beberapa daerah menimbulkan ketegangan dan kekeruhan
yang membahayakan keamanan dan ketertiban umum.
Untuk itu,
maka dikeluarkanlah Undang-undang Nomor : 8 Tahun 1954 tentang : Penyelesaian
soal Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat. Penyelesaian akan diusahakan
bertingkat 2 (dua) sebagai berikut :
a.
Tahap
pertama; terlebih dahulu akan diusahakan agar agenda segala sesuatu dapat
dicarikan penyelesaiannya atas dasar kata sepakat antar pemilik perkebunan
dengan rakyat/penggarap;
b.
Tahap kedua;
apabila perundingan sebagaimana dimaksud pada angka 1 (satu) tidak berhasil, maka
dalam rangka penyelesaian penggarapan tanah perkebunan tersbut akan mengambil
kebijakan sendiri dengan memperhatikan :
1)
Kepentingan
rakyat dan kepentingan penduduk, letak perkebunan yangbersangkutan;
2)
Kedudukan
perusahaan perkebunan di dalam susunan perekonomuian negara.
Agar
pelaksanaan dari keputusan tersebut dapat berjalan dengan sebaik-baiknya, maka
diatur ketentuan sebagai berikut :
a.
Kemungkinan
pencabutan dan pembatalan hak atas tanah perkebunan milik para pengusaha, baik sebagian
meupun seluruhnya, jika mereka dengan sengaja menghalangi upaya penyelesaian;
b.
Ancaman
hukum terhadap mereka yang melanggar atau menghalangi;
c.
Ancaman
hukuman terhadap mereka yang tidak dengan seizin pemilik perkebunan, masih
terus memakai tanah perkebunan sesudah tuntutan ini diberlakukan;
d.
Ketentuan
tentang harus mengadakan pengosongan.
Untuk
mencegah pendudukan kembali tanah perkebunan oleh rakyat, maka pemerintah
megeluarakan perarturan tentang larangan pendudukan tanah tanpa izin yang
berhak yaitu Undang-undang Nomor : 51 Prp. Tahun 1960.
Selain
ketentuan dia atas, dalam upaya menata kembali hukum pertanahan pemerintah
telah membuat kebijakan dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan
sebagai berikut :
1.
Undang-undang
Nomor : 19 Tahun 1956 tentang : Penentuan Perusahaan Pertanian/Perkebunan Milik
Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi.
2.
Undang-undang
Nomor : 28 Tahun 1956 tentang : Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah
Perkebunan.
3.
Undang-undang
Nomor : 29 Tahun 1956 tentang : Peraturan Pemerintah dan Tindakan-tindakan
Mengenai Tanah Perkebunan.
4.
Ketentuan
lain yang menyangkut pemakaian tanah-tanah milik warga negara Belanda yang
kembali ke negerinya.
0 Response to "Hukum Agraria"
Post a Comment