Sultanah Ke 4 Aceh Zaqiatuddin Inayat Syah
Sultanah
Zaqiatuddin Inayat Syah ratu ketiga dalam Kerajaan Aceh menggantikan sultanah
sebelumnya yang meninggal yaitu Sultanah Naqiatuddin Syah pada tahun 1678. Zakiatuddin dilantik
pada 1 Zulkaidah 1088 H atau 23 Januari 1678
Dalam kitab
Bustanus Salatin, karangan Syeikh Nuruddin Ar Raniry diungkapkan, Ratu Inayat
Zakiatuddin Syah awalnya dikenal dengan nama Putri Raja Setia Binti Sultan
Muhammad Syah. Tapi setelah dinobatkan sebagai ratu ia mendapat gelar Paduka
Seri Sultanah Inayat Syah Zakiatuddin Syah Berdaulat Zil Allah Fir Alam.
Selama berkuasa, Sultanah
Nurul Alam Zakiatuddin tetap konsisten menggunakan peraturan perundang-undangan
yang telah dijalankan oleh pendahulunya. Majelis Orang Kaya dan Panglima Tiga
Sagi yang terdiri dari (Panglima Polem dan wilayah 22 mukim, Panglima
Seutia dan wilayah 25 mukim, dan Panglima Imeum Muda dan wilayah 26 mukim) juga berfungsi seperti yang ditentukan dalam peraturan Adat
Meukota Alam. Dari ketiga anggota lembaga panglima tiga sagi, yang paling
berpengaruh adalah Panglima Polem. Menurut T.J. Veltman, Panglima Polem masih
keturunan Sultan Iskandar Muda.
Berbeda dengan anggota
lembaga panglima tiga sagi yang hanya terdiri atas 3 (tiga) orang, anggota
Majelis Orang Kaya terdiri atas 12 orang. Mereka adalah adalah para tokoh yang
berpengaruh di daerah masing-masing. Fungsi lembaga ini sama dengan lembaga
kementrian dalam negara modern yakni membantu dan melaksanakan kebijakan yang
dibuat sultanah. Seorang Belanda yang bernama William Dampier melaporkan apa yang diamatinya ketika berkunjung ke
Aceh: Negeri ini diperintah oleb seorang Ratu, di bawahnya ada 12 orang kaya
atau pembesar. Mereka bertindak di berbagai daerah dengan kuasa masing-masing.
Seorang
pengarang ternama, Mohammad Said, menceritakan bahwa pada masa pemerintahan Seri Ratu
Zakiatuddin Inayat Syah pernah dikunjungi utusan dari Inggris dan utusan Syarif
Mekkah. Utusan Inggris tersebut terdiri dari Mr. Ord dan Mr. Menurut orang Inggris yang
mengunjunginya tahun 1684, usianya ketika
itu sekitar 40 tahun. Ia digambarkan sebagai orang bertubuh tegap dan suaranya
lantang. Cowley yang
meminta izin mendirikan kantor perwakilan dagang di Aceh bersama loji militer Inggris yang
hendak membangun sebuah benteng pertahanan guna melindungi kepentingan
dagangnya ditolak Ratu dengan mengatakan, Inggris boleh berdagang, tetapi tidak
dizinkan mempunyai benteng sendiri. Ratu Inayat Zakiatuddin Syah hanya mengizinkan pihak
Inggris mendirikan kantor maskapai perdagangannya di pelabuhan Aceh. Pihak
Inggris tidak diizinkan mendirikan benteng pertahanan di Aceh dengan penjelasan
bahwa kerajaan Aceh mampu memberikan perlindungan bagi pihak asing yang membuka
kantor perdagangannya di Aceh. Jawaban tegas tapi diplomatis dari Ratu Inayat
Zakiatuddin Syah menunjukkan ketangguhan politik sang ratu dalam menjalin
hubungan dengan luar negeri.
Rusdi Sufi
dan Muhammad Gade Ismail mengungkapkan, pada masa pemerintahan Ratu Inayat
Zakiatuddin Syah, beberapa utusan luar negeri datang ke Aceh membuka diplomasi,
di antaranya dari Mekkah dan Inggris. Pada tahun 1684 utusan dari Kerajaan
Inggris mereka datang melalui Madras, ketika sampai di Aceh utusan Inggris
menghadap Ratu Inayat Zakiatuddin Syah dan memohon kepada ratu agar diizinkan
mendirikan sebuah kantor dagang yang diperkuat dengan benteng pertahanan
sendiri.
Ratu Inayat
Zakiatuddin Syah dalam memimpin kerajaan Aceh menggunakan Syaikh Abdur Rauf
yang dikenal sebagai Teungku Syiah Kuala sebagai mufti sekaligus penasehatnya.
Hoesien Djajadininggrat dalam buku “Critisch Overzicht van de in Maleische
Werken Vervae Gegevens Over de Geschiedenis van Het Soeltanaat van Atjeh”
mengungkapkan, Ratu Inayat Zakiatuddin Syah juga meminta Syaikh Abdur Rauf,
ulama besar Aceh untuk mengarang kitab yang berisi tentang ulasan dan kumpulan
Arba’in kompilasi 40 hadis yang berasal dari Nawawi.
Sementara tentang kedatangan utusan Mekkah ke Aceh pada masa pemerintahan Ratu Inayat Zakiatuddin Syah dijelaskan oleh Muhammad Said dalam buku “Atjeh Sepandjang Abad” dalam buku itu dijelaskan, utusan dari Mekkah yang datang ke Aceh itu bernama El Hajj Yusuf E Qodri. Ia diutus oleh Raja Syarif Barakat ke India untuk memberikan bingkisan kepada Sulthan Mongol, Aurangzeb. Tapi karena tidak berhasil ke Mongol utusan itu sampai ke Aceh yang mereka kenal sebagai kerajaan yang taat kepada hukum-hukum Islam. Dalam dialognya dengan perutusan Syarif Mekkah ini, Ratu Zakiatuddin memakai bahasa Arab yang fasih. Utusan dari Mekkah menyebutkan negeri Aceh sangat indah dan permai, mereka sangat kagum dengan Aceh karena memiliki penduduk yang beragam dan didominasi para saudagar.
Utusan dari
Mekkah ini akhirnya kembali ke negeri Arab pada tahun 1094 H atau 1683 M. Hanya
dua diantaranya yang menetap di Aceh, yaitu Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim.
Mereka lah yang dikemudian hari mempelopori perebutan kekuasaan atau kup
terhadap pemerintahan ratu.
Sumber
lainnya, Sutan Iljas Pamena dalam buku “Rentjong Atjeh di Tangan Wanita (Zaman
Pemerintahan Raja-raja Puteri di Atjeh) terbitan 1959 mengungkapkan,
sekembalinya ke Mekkah utusan itu menyampaikan kepada Raja Mekkah betapa baik
dan sempurnya pemerintahan Ratu Inayat Zakiatuddin Syah di Kerajaan Aceh, yang
rakyatnya taat beragama Islam, hidup rukun dan damai dalam kemakmuran.
Ratu Inayat
Zakiatuddin Syah menerima utusan itu beserta bingkisan hadiahnya. Utusan dari
Mekkah itu diterima dengan pergelaran upacara kebesaran. Para utusan dari
Mekkah itu merasa sangat puas, apalagi Ratu Inayat Zakiatuddin Syah meminta
kepada para utusan itu untuk tinggal beberapa waktu di Aceh karena Ratu Inayat
Zakiatuddin Syah akan mempersiapkan bingnkiasan balasan kepada utusan itu untuk
diserahkan kepada Raja Barakat.
Ada dua
bingkisan yang diserahkan Ratu Inayat Zakiatuddin Syah kepada utusan dari
Mekkah itu, kedua bingkisan tersebut berisi barang-barang berharga seperti emas
murni, kasturi, kayu alu, kapur barus, sepasang terompah emas dan sejumlah uang
sedekah untuk fakir miskin yang ada di Mekkah.
Sama halnya
dengan dua ratu yang memimpin kerajaan Aceh Sebelumnya, Rtu Safiatuddin dan
Naqiatuddin, mata uang emas juga dikeluarkan pada masa pemerintahan Ratu Inayat
Zakiatuddin Syah. Tentang mata uang emas itu dijelaskan T Ibrahim Alfian dalam
bukunya “Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh,” menjelaskan bahwa kadar
emas dalam uang yang dikeluarkan pada masa peemrintahan Ratu Inayat Zakiatuddin
Syah kadar emasnya 17 karat, berdiameter 13 mili meter (mm) dengan berat 0,55
gram.
Pada bagian
muka uang emas itu tertulis dengan aksara Arab, Paduka Seri Sultanah Inayat
Syah. Sedangkan pada bagian sisi belakang tertulis Zakiat at-Din Syah
Berdaulat. Ratu Zakiatuddin Syah memerintah di Kerajaan Aceh selama sebelas
tahun dari tahun 1677 hingga 1688
Sumber:
Sumber:
Harian Aceh,
Iskandar Norman
http://modusaceh-news.co.
0 Response to "Sultanah Ke 4 Aceh Zaqiatuddin Inayat Syah "
Post a Comment