Sultanah Ke 3 Aceh Naqiatuddin Nurul Alam
Sultanah
Naqiatuddin Nurul Alam adalah puteri Malik Radiat Syah. Ia memerintah
setelah wafatnya Sultanah Safiatuddin, pada tahun 1675. Masa pemerintahannya
hanya berlangsung selama 3 tahun sampai tahun 1678. Hal penting dan
fundamental yang dilakukan oleh Naqiatuddin pada masa pemerintahannya adalah
melakukan perubahan terhadap Undang Undang Dasar Kerajaan Aceh
dan Adat Meukuta Alam.
Aceh dibentuk menjadi tiga federasi yang disebut
Tiga Sagi (lhee sagoe). Pemimpin Sagi disebut Panglima Sagi. Maksud dari
pemerintahan macam ini agar birokrasi tersentralisasi dengan menyerahkan urusan
pemerintahan dalam nagari-nagari yang terbagi Tiga Sagi itu. Untuk situasi
sekarang, sistem pemerintahan Kerajaan Aceh dulu sama dengan otonomi daerah.
Ia menghadapi tantangan yang lebih berat dari
sultanah sebelumnya. Ia harus menghadapi ancaman dari kolonial Kristen (Belanda,
Inggris
dan Portugis),
sementara konflik intern juga terjadi ketika komunitas Wujudiyah menyebarkan
ajarannya. Selain itu, terdapat pula kelompok yang menentang pemerintahannya.
Perlawanan terhadap pemerintahannya dilakukan melalui sabotase serta pembakaran
Kota Aceh.
Ratu Nurul Alam dalam khasanah sejarah Kerajaan
Aceh dikenal dengan nama Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah. Memerintah di
Kerajaan Aceh dari tahun 1675 – 1678 masehi. Sejarawan Aceh, Gade Ismail
dan Rusdi Sufi dalam buku Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah,
mengungkapkan, menurut manuskrip silsilah keturunan sultan-sultan
Aceh yang tersimpan di University Kebangsaan Malaysia,
Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah adalah putri dari Malik Radiat Syaikh
Hitam, putra Firman Ali Riayat Syah, putra Said Al Mukammil.
Pada masa pemerintahan Ratu Naqiatuddin, jabatan
mufti kerajaan dipegang oleh Syaikh Abdur Rauf (Teungku Syiah Kuala) ulama
besar Aceh pada masa itu yang telah menduduki jabatan sebagai Mufti sejak masa
pemerintahan Ratu Safiatuddin (1641 – 1675). Syaikh Abdur Rauf yang kemudian memberikan masukan kepada Ratu Nagiatuddin
untuk mengadakan perubahan dalam sistem pemerintahan di Kerajaan Aceh.
Perubahan itu kemudian dibuat dalam bentuk undang-undang dasar Kerajaan Aceh
yang dikenal dengan Adat Meukuta Alam.
Tentang itu juga diungkapkan T Ibrahim Alfian
dalam bukunya “Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh,” Dengan undang-undang
Adat Meukuta Alam tersebut Kerajaan Aceh dibagi menjadi tiga federasi yang
kemudian dikenal dengan sebutan Aceh Lhei Sagoe (Aceh tiga sagi). Setiap sagi
terdiri atas beberapa mukim. Berdasarkan jumlah mukim yang disatukan, ketiga
sagi itu dinamakan; Sagi XXII Mukim, Sagi XXV Mukim, dan Sagi XXVI Mukim.
Setiap sagi diangkat seorang pemimpin yang disebut Panglima Sagoe.
Sejarawan Belanda, K. F. H Van Langen dalam “De Inricting Van Het Atjeshe Staatsbestuur Onder Het Sultanaat” (1888) mengungkapkan, pembentukan sagi oleh Ratu Naqiatuddin merupakan upaya membentuk pemerintahan yang dapat tersentralisasi dengan menyerahkan urusan pemerintahan dalam kenegrian-kenegrian yang terletak sebelah barat, timur dan selatan Kerajaan Aceh kepada ketiga orang Panglima Sagoe.
Sejarawan Belanda, K. F. H Van Langen dalam “De Inricting Van Het Atjeshe Staatsbestuur Onder Het Sultanaat” (1888) mengungkapkan, pembentukan sagi oleh Ratu Naqiatuddin merupakan upaya membentuk pemerintahan yang dapat tersentralisasi dengan menyerahkan urusan pemerintahan dalam kenegrian-kenegrian yang terletak sebelah barat, timur dan selatan Kerajaan Aceh kepada ketiga orang Panglima Sagoe.
Namun kata Van Langen, penyerahan kekuasan kepada para Panglima Sagoe itu bukan
berarti mereka akan menjalankan pemerintahan sendiri-sendiri. Tapi sebaliknya,
mereka tetap di bawah kontrol dan pengawasan kerajaan. Panglima Sagoe lebih
berfungsi sebagai perpanjangan tangan raja yang mengefektifkan pengawasan,
yakni dengan cara memonitor sejauh mana tingkat kadar pelaksanaan pemerintahan
dari pemerintah pusat di kerajaan yang disampaikan oleh pemimpin-pemimpin negeri (Uleebalang) benar-benar dilaksanakan. Van
Langen menilai apa yang dilakukan Ratu Naqiatuddin Syah merupakan suatu
kemajuan besar dalam tata kelola pemerintahan di Kerajaan Aceh.
Hal yang sama juga diungkapkan Thomas Braddel
dalam buku “On the History of Acheen) terbitan
1851. Ia menilai beberapa kemajuan yang dilakukan oleh Ratu Naqiatuddin Syah
pada masa kepemimpinannya, di antaranya: sehubungan dengan nasihat Syaikh
Abdur Rauf, Ratu Naqiatuddin menyempurnakan Adat Meukuta Alam ciptaan Sulthan
Iskandar Muda, penyempurnaan dilakukan sesuai dengan kondisi zaman
pemerintahannya.
Penyempurnaan itu antara lain berupa tambahan ketentuan mengenai kedudukan
Panglima Sagoe yang merupakan bentukan baru, dan kedudukan Uleebalang dalam
Adat Meukuta Alam tersebut. Ketentuan itu antara lain sebagaimana dikutip oleh
Van Langen sebagai berikut:
“Panglima Sagoe jikalau meninggal wajib atas uleebalang dalam sagoe itu mempersembahkan kepada raja. Jikalau telah mendapat itu kematian Panglima Sagoe maka raja bersabda kepada orang kaya Sri Maharaja Lela atau wakilnya, menyuruh pergi membawa belanja berapa yang cukup buat khanduri dan sedekah pada satu hari dikubu (Van Langen, 1888 : 443).
“Panglima Sagoe jikalau meninggal wajib atas uleebalang dalam sagoe itu mempersembahkan kepada raja. Jikalau telah mendapat itu kematian Panglima Sagoe maka raja bersabda kepada orang kaya Sri Maharaja Lela atau wakilnya, menyuruh pergi membawa belanja berapa yang cukup buat khanduri dan sedekah pada satu hari dikubu (Van Langen, 1888 : 443).
Hal lain yang dilakukan Ratu Naqiatuddin Syah adalah
penempaan dan mengeluarkan mata uang sendiri yang terbuat dari emas sebagai
alat tukar. T Ibrahim Alfian dalam “Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh,”
menjelaskan, mutu mata uang yang dikeluarkan Ratu Naqiatuddin terbuat dari emas
17 karat dengan berat 0,59 gram. Bentuk mata uang itu bertulis Arab nama dan
gelar ratu, Sri Paduka Sultanah Nurul Alam pada bagian mukanya, dan
dibelakangnya tertulis dengan akasara Arab Naqiat ad-Din Syah Berdaulat.
Sebuah petaka terjadi pada masa pemerintahan Ratu Naqiatuddin Syah. Sebagaimana
diungkapkan Syaikh Nuruddin Ar Raniry dalam kitab Bustanus Salatin. Pada masa
itu terjadi kebakaran yang memusnahkan Mesjid Raya Baiturrahman dan bahkan
istana kerajaan yang penuh dengan perhiasan dan barang-barang berharga terbakar.
Sejarawan Belanda lainnya, P. J. Veth dalam buku
“Atchin en Zijne Betrekkingen tot Nederland” terbitan Leiden, 1873, juga
menulis tentang kebakaran tersebut. Meski pemerintahan Ratu Naqiatuddin Syah
sangat singkat, yakni hanya tiga tahun. Banyak perkembangan yang dilakukannya
dalam pemerintahan Kerajaan Aceh, dibandingkan dengan masa pemerintahan ratu
sebelumnya, Safiatuddin Syah yang mencapai 35 tahun.
Dalam Bustanus Salatin, Ar Raniry mengungkapkan bahwa Ratu Naqiatuddin Syah mangkat pada hari minggu waktu dhuha 29 Zulkaidah. Ia menulis: “Kemudian dari itu, selang berapa lamanya, maka baginda pun mangkat pada hari Ahad, waktu dhuha, dua puluh sembilan Dzulkaidah.”
Menurut Hoesein Djajaninggrat dalam “Critisch Overzicht van de in Malaische Werken Vervae Gegevens Over de Geschiedenis van Het Soeltanaat van Atjeh” tanggal mengaktanya Ratu Naqiatuddin Syah yang disebut Ar Raniry itu, setelah dihitung dengan penanggalan masehi, maka Ratu Naqiatuddin wafat pada hari Minggu 23 Januari 1678.
Dalam Bustanus Salatin, Ar Raniry mengungkapkan bahwa Ratu Naqiatuddin Syah mangkat pada hari minggu waktu dhuha 29 Zulkaidah. Ia menulis: “Kemudian dari itu, selang berapa lamanya, maka baginda pun mangkat pada hari Ahad, waktu dhuha, dua puluh sembilan Dzulkaidah.”
Menurut Hoesein Djajaninggrat dalam “Critisch Overzicht van de in Malaische Werken Vervae Gegevens Over de Geschiedenis van Het Soeltanaat van Atjeh” tanggal mengaktanya Ratu Naqiatuddin Syah yang disebut Ar Raniry itu, setelah dihitung dengan penanggalan masehi, maka Ratu Naqiatuddin wafat pada hari Minggu 23 Januari 1678.
Dalam membuat konsep Aceh Lhei Sagoe, Ratu
Naqiatuddin dibantu Mufti kerajaan Syeikh Abdurrauf As Singgkili yang dikenal
sebagai Tgk Syiah Kuala. Perombakan sistem pemerintahan itu juga dilakukan
untuk mematahkan berbagai usaha dari luar kerajaan yang ingin menumbangkan dinasti
ratu. Pemerintahan sultanah di Aceh mendapat perhatian dari para penulis
sejarah di Eropa. Salah satunya adalah P J Veth, seorang profesor dalam
etnologi dan geografi di Universitas Leiden, Belanda. Pada tahun 1870, Veth
menulis tentang pemerintahan wanita di nusantara dalam ‘’Vrouwen Regeringen in
den Indische Archipel’’ tulisan itu dipublikasikan dalam majalah Tijdschrift
voor Nederlandsch-Indie. Vert mengakui bahwa tidaklah mudah untuk menemukan
adanya figur wanita yang memerintah di Nusantara. Meskipun demikian, ia dapat
juga menemukan beberapa kasus serupa itu, yaitu yang bersangkutan dengan
pengaruh yang menentukan dari pemerintahan kaum wanita atas sebuah kerajaan.
Salah satu kasus terpenting yang menarik perhatiannya adalah yang ada di Aceh.
Di kerajaan Aceh yang menarik perhatiannya itu
Veth menemukan adanya kekuasaan kaum wanita dalam pemerintahan yang ternyata
pernah berlangsung selama hampir 60 tahun, kekuasaan pemerintahan yang
dilaksanakan oleh empat orang wanita ( ratu atau sultanah ) secara
berturut-turut, dari tahun 1641 hingga tahun 1699 M. Setelah Ratu Safiatuddin mangkat, maka tampuk kekuasaan kerajaan Aceh dipegang
oleh penerusnya yakni Ratu Naqiatuddin. Saat itu muncul golongan yang ingin
menumbangkan dinasti ratu. Saat itu golongan yang ingin merebut tampuk pimpinan
Kerajaan Aceh memperalat kaum penganut Wujudiah. Pertentangan tersebut kemudian membuat Mesjid
Baiturrahim dan Keraton Darud Dunia terbakar. Namun, sebagai Mufti yang arif,
Syeikh Abdur Rauf mampu meredam gejolak tersebut. Untuk mencegah terulangnya
kembali kerusuhan sesama ummat, Syeikh Abdur Rauf pun melakukan perombakan
sistim pemerintahan kerajaan.
Perombakan dilakukan dengan mengajukan sebuah konsepsi tata negara Kerajaan
Aceh. Setelah dibahas di Majelis Mahkamah Rakyat, konsepsi Syeikh Abdur Rauf
pun diterima tanpa pertentangan. Konsepsi tersebut mengatur berbagai hal, salah
satunya tentang pembagian kekuasaan Wilayah Aceh Besar menjadi tiga sagi, yang
dikenal dengan Aceh Lhèè Sagoë. Dalam konsepsi itu, Syeikh Abdur Rauf mengatur,
ketiga pemimpin Sagi (Sagoë) bersama Qadhi Malikul Adil berhak mengangkat dan
menurunkan sultan dari jabatannya. Sementara daerah di luar Aceh Lhèè
Sagoë diberi hak otonomi yang luas, dimana kepala daerahnya bertindak
sebagai sultan kecil yang tunduk kepada Sultan Aceh.
Sumber:
Wikipedia bahasa Indonesia
http://harian-aceh.com/2011/07/11/naqiatuddin-reformis-aceh-lhei-sagoe
0 Response to "Sultanah Ke 3 Aceh Naqiatuddin Nurul Alam"
Post a Comment