Landasan Hukum penegakan Syari’at Islam di Aceh
Transformasi hukum
Islam dalam Negara Indonesia dapat dilihat dan segi ilmu negara. Dijelaskan
bahwa bagi negara yang menganut teori kedaulatan rakyat, maka rakyatlah yang
menjadi kebijakan politik tertinggi. Demikian pula negara yang berdasar atas
kedaulatan Tuhan, maka kedaulatan negara/kekuasaan (rechtstaat) dan
negara yang berdasar atas hukum (machtstaat), sangat tergantung kepada
gaya politik hukum kekuasaan negara itu sendiri.
Sebelum Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 telah terjadi
silang pendapat perihal ideologi yang hendak dianut oleh Negara Indonesia.
Mula-mula Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang
beranggotakan 62 orang memang memperjuangkan dibentuknya negara islam. Namun
dari jumlah itu hanya 15 anggota yang mewakili kelompok nasionalis islami
menyetujui dasar negara islam, sedang suara terbanyak (45 suara) memilih dasar
negara kebangsaan.
Setelah itu panitia 9 dari BPUPKI berhasil mencapai
kompromi yang terkenal dengan piagam jakarta, yang isinya natara lain, “
Ketuhanan Yang Maha esa, dengan mewajibkan menjalankan syariat islam bagi
pemeluk-pemeluknya”. Dengan tercantumnya 7 kata dalam piagam jakarta itu. Maka
7 kata itu dapat diartikan bahwa hukum islam berlaku bagi pemeluk-pemeluk islam
sebagai halnya politik hukum Hindia Belanda sebelum tahun 1929.
Abdul Ghani Abdullah
mengemukakan bahwa berlakunya hukum Islam di Indonesia telah mendapat tempat
konstitusional yang berdasar pada tiga alasan, yaitu: Pertama,
alasan filosofis, ajaran Islam rnerupakan pandangan hidup, cita moral dan cita
hukum mayoritas muslim di Indonesia, dan mi mempunyai peran penting bagi
terciptanya norma fundamental negara Pancasila); Kedua, alasan Sosiologis.
Perkembangan sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukan bahwa cita hukum dan
kesadaran hukum bersendikan ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas yang
berkesiambungan; dan Ketiga, alasan Yuridis yang tertuang dalam
pasal 24, 25 dan 29 UUD 1945 memberi tempat bagi keberlakuan hukum Islam secara
yuridis formal.
Kemudian Ketika kemerdekaan Indonesia di deklarasikan suekarno pada 17
agustus 1945, aceh belum menjadi bagian dari NKRI. Kesediaan bergabung dalam
wilayah RI karena adanya janji soekarno yang ingin memberikan kebebasan untuk
mengurus diri sendiri termasuk pelaksanaan syariat islam. Janji itu terucap pada
tahun 1948, bung karno datang ke aceh mencari dukungan moril dan materil bagi
perjuangan bangsa Indonesia melawan belanda. Kebebasan melaksakan syariat
merupakan imbalan jika bangsa Aceh bersedia memberikan bantuan.
Janji yang di lontarkan sang presiden RI tidak di wujudkan malah
provinsi Aceh di satukan dengan provinsi sumatera utara pada tahun 1951. Hak
mengurus wilayah sendiri dicabut. Rumah rakyat, dayah, menasah yang hancur
porak-poranda akibat peperangan melawam Belanda dibiarkan begitu saja. Dari
sinilah daud beureueh menggulirkan ide pembentukan Negara islam Indonesia( DII
), april 1953 dia bergerilya ke hutan. Namun pada tahun 1962 bersedia menyerah
karena di janjikan akan di buatkan UU syariat Islam bagi rakyat Aceh (majalah
Era Muslim “untold history”. 30
September 2009 jam 22:35)
Setelah itu di berikan otonomi khusus untuk menjalankan proses
keagamaan, peradatan dan pendidikan namun pelaksanaan syariat islam masih
sebatas yang di izinkan pemerintah pusat. Hal itu tertuang dalam keputusan
penguasa perang (panglima militer 1 Aceh/ iskandar muda, colonel M.Jasin) no
KPTS/PEPERDA-061/3/1962 tentang kebijaksanaan unsur-unsur syariat agama islam
bagi pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh yang berbunyi :
“ pertama: terlaksananya secara tertib dan seksama unsur-unsur syariat
agama islam bagi pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh, dengan mengindahkan
peraturan perundangan Negara.
Kedua: penertiban pelaksanaan arti dan maksud ayat pertama di serahkan
sepenuhnya kepada pemerintah Daerah Istimewa Aceh. (al yasa Abu Bakar,
2006:33).
Pada tahun 1966 (Orde baru) yang berkuasa, di sahkan peraturan daerah
nomor 1 tahun 1966 tentang pedoman dasar majelis permusyawaratan ulama. Fungsi
majelis ini adalah sebagai lembaga pemersatu umat, sebagai penasehat pemerintah
daerah dalam bidang keagamaan dan sebagai lembaga fatwa yang akan memberikan
pedoman kepada umat islam dalam hidup keseharian dan keagamaanya.
Pada Tahun 1999-2001 Pemerintah membentuk UU no 44 tahun 1999 dan UU no
18 tahun 2001. Dalam undang-undang nomor 44 syariat islam didefinisikan sebagai
semua aspek ajaran islam. Dalam undang-undang nomor 18 disebutkan bahwa
mahkamah syar’iyah akan melaksanakan syariat islam yang di tuangkan ke dalam
qanun terlebih dahulu. Qanun adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah
daerah Aceh untuk melaksanakan syariat islam bagi pemeluknya di Aceh ( al yasa
abu bakar, 2004:61).
Pasca perdamaian antara GAM Vs RI UU no 44 tahun 1999 tentang
Keistimewaan Aceh direvisi kembali berdasarkan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005, kemudian di atur kedalam sebuah UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA)
LN 2006 No 62, TLN 4633. Satu kewenangan yang diberikan Pemerintah Pusat dalam
UUPA yaitu penerapan syariat Islam secara kaffah, meliputi; akidah, ibadah,
muamalah, syariah, pembelaan Islam dan syiar Islam Dll.
Lembaga yang
terkait dalam penerapan syariat islam di Aceh.
a. Dinas syariat islam.
Dinas syariat islam provinsi diresmikan pada
tanggal 25 feb 2002. Lembaga inilah yang mengatur jalannya pelaksanaan syariat
islam. Tugas utamanya adalah menjadi perencana dan penanggung jawab pelaksanaan
syariat islam di NAD.
b. Majelis permusyawaratan ulama (MPU)
Lembaga ini merupakan suatu lembaga
independen sebagai suatu wadah bagi ulama-ulama untuk berinteraksi, berdiskusi,
melahirkan ide-ide baru di bidang syariat. Kaitannya dalam pelaksanaan syariat
islam adalah lembaga ini bertugas memberikan masukan pertimbangan, bimbingan
dan nasehat serta saran dalam menentukan kebijakan daerah dari aspek syariat
islam, baik kepada pemerintahan daerah maupun kepada masyarakat.
c. Wilayatul hisbah (WH)
Wilayatul hisbah merupakan lembaga yang
berwenag member tahu dan mengingatkan anggota –anggota masyarakat tentang
aturan-aturan yang ada yang harus di ikuti, cara menggunakan dan menaati hukum
tersebut, serta perbuatan yang harus di hindari karena bertentangan dengan
peraturan.
d. Mahkamah
syariah.
Mahkamah syariah
merupakan pengganti pengadialan agama yang sudah di hapuskan. Mahkamah ini akan
mengurus perkara muamalah (perdata), jinayah (pidana) yang sudah ada qanunnya.
Pendek kata lembaga ini adalah pengadilan yang akan mengadili pelaku
pelanggaran syariat islam.
Tingkat kabupaten
dibentuk mahkamah syariah dan tingkat provinsi mahkamah syariah provinsi yang
diresmikan pada tahun 2003 (dalam alyasa abu bakar, 2004 dan 2006).
Beberapa qanun yang
berkaitan lansung dengan Syari’at Islam di Aceh, diantaranya :
1. Qanun
nomor 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat islam bidang aqidah. Ibadah dan
syariat islam.
Ketentuan
Hukum yang
terkait dalam Qanun ini seperti masalah:
Menyebarkan Paham/Aliran Sesat
Barang
siapa yang menyebarkan paham atau aliran sesat dihukum dengan ta’zir berupa hukuman
penjara paling lama 2 tahun atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 12
kali, Pasal
2 ayat (2) Jo Pasal 20. Dan Barang siapa
yang dengan sengaja keluar dari aqidah Islam dan atau menghina atau melecehkan
agama Islam dihukum dengan hukuman yang akan diatur dalam qanun tersendiri, Pasal 5 ayat (3) jo pasal 20.
Tidak
melaksanaka Sholat Jum’at dan tidak memfasilitasi/kesempatan untuk Sholat
Fardhu
Barang
siapa tidak melaksanakan shalat jum’at tiga kali berturu-turut tanpa uzur syar’i dihukum dengan ta’zir
berupa hukuman penjara paling lama 6 (enam) bulan atau hukuman cambuk di depan
umum paling banyak 3 kali, Pasal 8 ayat (1) Jo pasal 21 ayat (1). Dan Perusahaan pengangkutan umum
yang tidak memberi kesempatan dan fasilitas kepada pengguna jasa untuk
melaksanakan shalat fardhu dipidana dengan hukuman ta’zir berupa pencabutan
izin usaha. Pasal 9 ayat (3) Jo pasal 21 Ayat (2).
Note:
Yang dimaksud dengan uzur Syar’i, adalah
keadaan yang menurut fiqih membolehkan seseorang tidak menghadiri Shalat
Jum’at, seperti musafir, sakit, atau melakukan tugas ”darurat” seperti perawat
atau dokter jaga (dinas).
Menyediakan fasilitas kepada orang muslim
yang tidak Puasa dan makan/Minum di tempat umum
Barang siapa yang
menyediakan fasilitas/peluang kepada orang muslim yang tidak mempunyai uzur
syar’i untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan dipidana dengan hukuman ta’zir
berupa hukuman penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak 3 juta
rupiah atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 6 kali dan dicabut izin
usahanya,
Pasal 10 ayat 1 Jo Pasal 22 ayat (1). Dan
Barang siapa yang makan atau minum di tempat/di depan umum pada siang
hari bulan Ramadhan dipidana dengan hukuman ta’zir berupa hukuman penjara
paling lama 4 bulan atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 2 kali, Pasal 10 ayat 2 Jo pasal 22 ayat (2).
Tidak berbusana Islami
Barang
siapa yang tidak berbusana Islami (Busana Islami adalah pakaian yang menutup
aurat yang tidak tembus pandang, dan tidak memperlihatkan bentuk tubuh)
dipidana dengan hukuman ta’zir setelah melalui proses peringatan dan pembinaan
oleh Wilayatul Hisbah.
2. Qanun
No.10 tahun2002. Peradilan Syariat Islam
3. Qanun No.12
tahun 2003 tentang larangan khamar (minuman keras), pelaku yang mengkonsumsi
khamar akan dijatuhi hukuman cambuk 40 kali (Pasal 5 Jo 26 Ayat (1). Bagi yang memroduksi khamar dijatuhi hukuman ta’zir
berupa kurungan paling lama satu tahun, paling sedikit 3 bulan dan denda paling
banyak Rp. 75.000.000 (tujuh puluh lima juta) dan paling sedikit Rp. 25.000.000
(dua puluh lima juta rupiah), Pasal 6-8 Jo 26 Ayat (2).
4. Qanun No.13
tahun 2003 tentang larangan maisir (perjudian), pelaku yang melanggar Qanun ini
diancam dengan ‘uqubat cambuk didepan umum paling banyak 12 kali dan paling
sedikit 6 kali, Pasal 5 jo 23 Ayat (1). Kemudian Setiap orang atau badan hukum atau badan
usaha Non Instansi Pemerintah yang memberikan fasilitas dan memberi izin kepada
orang yang akan melakukan perbuatan maisir diancam dengan ‘uqubat atau denda
paling banyak Rp. 35.000.000,- (tiga puluh lima juta rupiah), paling sedikit Rp
15.000.000,- (lima belas juta rupiah). Pasal 6 dan 7 Jo 23 ayat (2).
5. Qanun No.14
tahun 2003 tentang larangan khalwat (mesum). Setiap Orang yang melanggar Qanun
ini akan diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa canmbuk paling tinggi 9 kali, paling rendah 3 kali dan/atau denda
paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), paling sedikit Rp.
2.500.000,- (dua juta Lima ratus ribu rupiah), Pasal
4 Jo 24 ayat (1). Sedanngkan Setiap orang atau kelompok masyarakat, atau aparatur pemerintahan dan
badan usaha yang memberikan kemudahan dan/atau melindungi orang melakukan
khalwat/mesum diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa kurungan paling lama 6 bulan, paling singkat 2 bulan dan/atau denda
paling banyak Rp. 15.000.000,- (Lima belas juta rupiah), paling sedikit Rp
5.000.000,- (Lima juta rupiah), Pasal 6 Jo pasal 22 Ayat (2).
6.
Qanun No. 11-2004. Tugas Fungsional
Kepolisian
7.
Qanun No.10-2007. Baitul Mal
8.
Qanun No. 11-2008. Perlindungan Anak
Hukuman cambuk
Hukuman cambuk
merupakan salah satu hukum yang berlaku dalam syariat islam NAD. Ketentuan dlam
hukum cambuk antara lain:
a. Terhukum dalam kondisi sehat.
b. Pencambuk adalah wilayatul hisbah yang di
tunjuk jaksa penuntut umum.
c. Cambuk yang digunakan adalah rotan dengan
diameter 0.75 s/d 1.00 cm.
d. Jarak pencambuk dengan terhukum kira-kira 70
cm.
e. Jarak pencambuk dengan orang yang menyaksikan
paling dekat 10 meter.
f. Pencambukan di hentikan jika menyebabkan
luka, di minta dokter atas pertimbangan medis, atau terhukum melarikan diri.
g. Pencambukan akan dilanjutkan setelah terhukum
dinyatakan sehat atau setelah terhukum menyerahkan diri atau tertangkap. (al
yasa abu bakar, 2006)
Saudara
bisa juga membaca:
0 Response to "Landasan Hukum penegakan Syari’at Islam di Aceh"
Post a Comment