Hukum kewarisan


Hukum Kewarisan ialah Hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) dari pewaris kepada ahli waris, dan menentukan siapa-siapa yang dapat menjadi ahli waris, dan menentukan berapa bagiannya masing-masing. Islam sebagai agama samawi mengajarkan hukum kewarisan, disamping hukum-hukum lainnya, untuk menjadi pedoman bagi umat manusia agar terjamin  adanya kerukunan, ketertiban, perlindungan dan ketentraman dalam kehidupan di bawah naungan dan ridho Illahi. Aturan hukum kewarisan Islam diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kesadaran hukumnya sehingga menjadi suatu system hukum kewarisan yang sempurna.

Sejarah Hukum Kewarisan Islam
Sejarah Hukum Kewrisan Islam tidak terlepas dari hukum kewarisan zaman Jahiliyah. Ringkasnya, perkembangan Hukum Kewarisan Islam dapat dipaparkan sebagai berikut ;
Hukum kewarisan adat Arab pada zaman Jahiliyah menetapkan tatacara pembagian warisan dalam masyarakat yang didasarkan atas hubungan  nasab  atau kekerabatan, dan hal itu pun hanya diberikan kepada keluarga yang laki-laki saja, yaitu laki-laki yang sudah dewasa dan mampu memanggul senjata guna mempertahankan kehormatan keluarga dan melakukan peperangan serta merampas harta peperangan.
Perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan warisan, karena dipandang tidak mampu  memangul senjata guna mempertahankan kehormatan keluarga dan melakukan peperangan serta merampas harta peperangan.  Bahkan orang perempuan yaitu istri ayah dan/ atau istri saudara dijadikan obyek warisan yang dapat diwaris secara paksa. Praktik ini berakhir dan dihapuskan oleh Islam dengan  yang melarang menjadikan wanita dijadikan sebagai warisan. Dalam Ayat tersebut Allah SWT. Berfirman : orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan …
Selain itu perjanjian bersaudara, janji setia, juga dijadikan dasar untuk saling mewarisi. Apabila salah seorang dari mereka yang telah mengadakan perjanjian bersaudara itu meninggal dunia maka pihak yang masih hidup berhak mendapat warisan sebesar 1/6 (satu per enam) dari harta peninggalan. Sesudah itu barulah sisanya dibagikan untuk para ahli warisnya. Yang dapat mewarisi berdasarkan janji bersaudara inipun juga harus laki-laki.
Pengangkatan anak yang berlaku di kalangan Jahiliyah juga dijadikan dasar untuk saling mewarisi. Apabila anak angkat itu telah dewasa maka ia mempunyai hak untuk sepenuhnya mewarisi harta bapak angkatnya, dengan syarat ia harus laki-laki. Bahkan pada masa permulaan Islam hal ini masih berlaku. Kemudian pada waktu Nabi Muhammad SAW. Hijrah ke Madinah beserta para sahabatnya, Nabi mempersaudarakan antara Muhajirin dengan kaum Anshor. Kemudian Nabi manjadikan  hubungan persaudaraan karena hijrah antara Muhajirin dengan Anshor sebagai sebab untuk saling mewarisi.
Dari paparan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dasar untuk dapat saling mewarisi pada Zaman Jahiliyah adalah :
1.    Adanya hubungan nasab/ kekerabatan
2.    Adanya pengangkatan anak
3.    Adanya janji setia untuk bersaudara
Ketiga jenis ahli waris tersebut disyaratkan harus laki-laki dan sudah dewasa. Oleh karena itu, perempuan dan anak-anak tidak dapat menjadi ahli waris. Kemudian pada masa permulaan Isalam di Madinah, Rasulullah SAW. Mempersaudarakan Muhajirin dengan Anshor, persaudaraan karena hijrah ini juga dijadikan dasar untuk saling mewarisi.
Dalam perkembangannya, dasar saling mewarisi karena adanya pengangkatan anak, janji setia, dan persaudaraan karena hijrah inipun dihapus. Untuk selanjutnya suatu ketentuan yang harus ditaati oleh setiap muslim. Perempuan dan anak-anak yang semula tidak tidak dapat mewarisi, kemudian oleh Hukum Islam diberikan hak (bagian) untuk mewarisi seperti halnya ahli waris laki-laki. Mereka mempunyai hak yang sama dalam mewarisi, baik sedikit maupun banyaknya menurut bagian yang ditetapkan Allah SWT. Menegaskan ini dengan Firman-artinya sebagai berikut ; -laki ada hak (bagian) dari hartapeninggalan ibu, bapak, dan kerabatnya; dan bagi orang perempuan juga ada hak (bagian) dari harta peninggalan ibu, bapak, dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah   Berfirman yang artinya :  (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bahwa bagian seorang anak laki-laki.
Kemudian di dalam Surat Al Ahzab, ayat 40 ditegaskan pula bahwa :  -kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu  11. Sedang mengenai kewarisan berdasarkan persaudaraan karena hijrah antara Muhajirin dengan Anshor telah dihapuskan dengan Hadits Nabi Muhammad SAW. Dalam sabdanya :
Artinya :
(HR. Bukhori dan Muslim)
Hal ini terjadi pada tahun ke-8 Hijriyah.  Hadits inilah yang dijadikan dasar penghapusan hubungan Muwarosah antara Muhajirin dengan Anshor.
            Ayat-ayat kewarisan itu turun secara berangsur-angsur, sejak tahun ke-II sampai VII Hijriyah, selama Rasulullah berada di Madinah, menggantikan hukum adat kewarisan Jahiliyah, sejalan dengan yat-ayat yang mengatur hukum keluarga (perkawinan). Demikian pula praktik pelaksanaan hukum kewarisan pun secara berangsur-angsur mengalami perubahan demi perubahan yang kesemuanya itu menuju kesempurnaan, yaitu suatu tatanan masyarakat yang tertib, adil, dan sejahtera denga susunan keluarga yang ersifat bilateral.
Meskipun adalah sistem kekeluargaan yang bersifat bilateral, akan tetapi ternyata pengaruh adat istiadat masyarakat Arab jahiliyah yang Patrilineal itu sangatlah kuat sehingga mempengaruhi pikiran dan praktik hukum keluarga dan Hukum Kewarisan pada masa sahabat dan sesudahnya. Praktik kekeluargaan Patrilineal yang sangat menonjol tersebut telah mempengaruhi praktik dan Ijtihad hukum kewarisan Islam pada masa lalu sampai sekarang. Dan paham inilah yang masuk dan diajarkankepada ummat Islam di Indonesia. Ketidakseimbangan telah terjadi karena hukum keluarga yang dianut dan berkembang di Indonesia adalah kukum keluarga yang bersifat bilateral,  sementara  hukum kewarisan yang diajarkan bersifat patrilineal sehingga hukum kewarisan patrilineal tersebut kurang mendapat sambutan secara tangan terbuka karena dirasa belum/ tidak pas untuk diterapkan dalam praktik. Di sinilah diperlukan adanya kaji ulang dan ijtihad baru di bidang hukum kewarisan. Dalam upaya menghapuskan perbudakan maka Rasulullah SAW. Menetapkan bahwa orang yang memerdekakan budak, maka ia menjadi ahli warisnya bila budak itu meninggal dunia. Akan tetapi pada masa kini perbudakan secara yuridis sudah tiada lagi.
Hukum Kewarisan dan Hukum Perkawinan, masing-masing merupakan Sub-sistem yang membentuk suatu Sistem Hukum, yaitu hukum keluarga. Antara keduanya tidak dapat dipisahkan ibarat sekeping mata uang, antara satu sisi dengan sisi lainnya. Oleh karenanya kedua hukum tersebut harus mempunyai sifat, asas dan gaya yang sama sehingga dapat dilaksanakan dengan enak dan selaras dalam dalam tata kehidupan keluarga, apabila terjadi ketidakselarasan maka dapat dipastikan akan terjadi ketimpangan dalam kehidupan keluarga. Demikian pula halnya dengan Hukum Kewarisan Islam sebagai sub-sistem dari sistem hukum keluarga harus memiliki sifat, asas, dan gaya yang sama dengan Hukum Perkawinan.
Selain itu dalam pengajaran Hukum Waris pun terdapat berbagai Mahdzab, seperti halnya pada bidang-bidang lain. Perbedaan ini terjadi karena faktor sejarah, tata berbeda-beda. Demikian pula dalam perkembangan hukum kewarisan Islam di Indonesia, dan juga menimbulkan disparitas nya putusan Pengadilan Agama.
Disamping itu, corak kehidupan masyarakat Arab yang bersifat patrilineal sangat menonjol dan mempengaruhi pemahaman terhadap Hukum Kewarisan Islam. Hukum Kewarisan Islam yang kita pelajari selama ini adalah hukum kewarisan yang lebih bercorak patrilineal karena beraal dari pemahaman masyarakat Arab tempo dulu sehingga sering kali terasa janggal dan tidak adil karena corak kehidupan masyarakat kita adalah bilateral, sementara hukum waris yang akan diterapkan bercorak Patrilineal. Keadaan yang demikian ini sangat dirasakan oleh Mahkamah Agung RI. Sebagai Pengadilan Negara tertinggi yang bertugas membina jalannya peradilan dari semua lingkungan peradilan, termasuk disini adalah Peradilan Agama. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.7,  Tahun 1989, tentang Peradilan Agama, dimana kekuasaan Pengadilan Agama untuk memeriksa, mengadili, serta menyelesaikan sengketa waris dipulihkan kembali, maka kebutuhan terhadap hukum waris yang jelas, rinci, mudah dan pasti serta sesuai dengan tata kehidupan masyarakat Islam Indonesia yang bilateral semakin terasa mendesak.

Pengertian Dan Istilah Hukum Waris Adat

            Di Indonesia ada tiga sistim hukum yang mengatur masalah pewarisan, yaitu hukum islam, hukum barat dan hukum adat. Masing-masing sistim hukum tersebut mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri. Hukum waris adat mempunyai corak dan sifat-sifat yang khas bangsa Indonesia, sebagaimana yang dinyatakan oleh Hilman Hadikusuma :
Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat yang khas Indonesia, yang berbeda dari hukum islam maupun hukum barat. Sebab perbedaannya terletak dari latar belakang alam pikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang bhineka tunggal ika. Latar belakang itu pada dasarnya adalah kehidupan bersama yang bersifat tolong-menolong guna mewujudkan dan kedamaian di dalam hidup. ( Hilman Hadikusumah, 1983 : hlm.19)

            Selain itu hukum waris adat merupakan suatu peraturan yang mengatur masalah pewarisan adat. Sebagaimana dinyatakan oleh Soepomo. Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak terwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya.( R.Soepomo, 1980 : hlm.81-82 ).

Hukum waris tidak saja terdapat dalam hukum adat, tetapi juga terdapat dalam hukum islam dan hukum barat. Hal ini bukan saja akibat adanya pembagian dalam pasal 163 dan pasal 131 I.S., tetapi kenyataannya sekarang masih terasa dan terdapat pembagian itu.  Untuk membedakan hukum waris dalam satu sistim hukum dengan hukum waris dalam sistim hukum lainnya, maka dalam hal ini digunakan istilah hukum waris adat. Istilah waris belum ada kesatuan arti, baik yang ditemui dalam kamus hukum maupun sumber lainnya. Istilah waris ada yang mengartikan dengan “harta peninggalan, pusaka atau hutang piutang yang ditinggalkan oleh seorang yang meninggal dunia seluruh atau sebagian menjadi hak para ahli waris atau orang yang ditetapkan dalam surat wasiat”. Selain itu ada yang mengartikan waris “yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal”.

Nampak ada perbedaan, disatu pihak mengartikan istilah waris dengan harta peninggalan dan dipihak lain mengartikan dengan orang yang berhak menerima harta peninggalan tersebut. Adanya perbedaan pendapat ini menunjukkan belum adanya keseragaman dalam bahasa hukum kita.
Untuk mendapatkan suatu pengertian yang jelas perlu adanya kesatuan pendapat tentang suatu istilah tersebut. Untuk mencapai itu, usaha yang dilakukan adalah menelusuri secara etimologi.
Istilah waris berasal dari bahasa Arab yang diambil alih menjadi bahasa Indonesia, yaitu berasal dari kata “warisa” artinya mempusakai harta, “waris artinya ahli waris, waris”. Waris menunjukkan orang yang menerima atau mempusakai harta dari orang yang telah meninggal dunia. Hal ini juga dapat dilihat dari “Sabda Nabi Muhammad SAW. : Ana warisu manla warisalahu artinya saya menjadi waris orang yang tidak mempunyai ahli waris (H.R Ahmad dan Abu Daud)”.

            Dalam hukum adat istilah waris lebih luas artinya dari arti asalnya, sebab terjadinya waris tidak saja setelah adanya yang meninggal dunia tetapi selagi masih hidupnya orang yang akan meninggalkan hartanya dapat mewariskan kepada warisnya.
Hukum waris adat atau ada yang menyebutnya dengan hukum adat waris adalah hukum adat yang pada pokoknya mengatur tentang orang yang meninggalkan harta atau memberikan hartanya (Pewaris), harta waris (Warisan), waris (Ahli waris dan bukan ahli waris) serta pengoperan dan penerusan harta waris dari pewaris kepada warisnya.

            Untuk mengetahui secara mendalam, berikut ini kemukakan pendapat dari para ahli hukum adat, seperti Ter Haar, Soepomo, Iman Sudiyat, Soerojo Wignyodipoero dan Hilman Hadikusuma.
Menurut Ter Haar BZN :
…hukum waris adat itu meliputi aturan-aturan hukum yang bertalian dengan proses dari abad ke abad yang menarik perhatian, ialah proses penerusan dan peralihan kekayaan material dan immateriel dari turunan keturunannya.

Menurut Soepomo :
Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang yang tidak terwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya.

Menurut Soerojo Wignyodipoero :
Hukum adat waris meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil yang manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta sekaligus juga mengatur saat, cara dan proses peralihannya.( Soerojo Wignyodpoero, 1985 : 161)

Menurut Iman Sudiyat :
Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerus / pengoperan dan peralihan /perpindahan harta kekayaan materiil dan immateriil dari generasi ke generasi.

Menurut Hilman Hadikusuma :
…hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistim dan azas-azas hukum waris tentang warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris.

Dari beberapa pendapat di atas terdapat suatu kesamaan bahwa, hukum waris adat yang mengatur penerusan dan pengoperan harta waris dari suatu generasi keturunannya. Hal ini menunjukkan dalam hukum adat untuk terjadinya pewarisan haruslah memenuhi 4 unsur pokok, yaitu :
1. adanya Pewaris;
2. adanya Harta Waris;
3. adanya ahli Waris; dan
4. Penerusan dan Pengoperan harta waris.

 A. Pengertian Ilmu Mawaris
Kata Al Mawarits adalah jamak dari kata Mirots, yaitu harta peninggalan dari orang yang meninggal untuk ahli warisnya.
Orang yang meninggalkan harta tersebut dinamakan Al Muwaaritsu, sedang ahli waris disebut dengan Al-Warits. Al Faraidh adalah kata jamak bagi al fariidhoh artinya bagian yang ditentukan kadarnya. Perkataan Al-Fardhu, sebagai suku kata dari lafad fariidhoh.Fara’idh dalam arti mawaris, hukum waris mewaris. Dimaksud sebagai bagian atau ketentuan yang diperoleh oleh ahli waris menurut ketentuan syara’.
Ilmu Fara’idh dapat didefiniskan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan harta pusaka bagi ahli waris.
Definisi inipun berlaku juga bagi Ilmu Mawarits, sebab ilmu mawarits adalah nama lain bagi Ilmu Fara’idh.
Untuk mengetahui siapa-siapa yang memperoleh harta waris, maka perlu diteliti terlebih dahulu ahli-ahli waris yang ditinggalkan. Akemudian baru ditetapkan, siapa diantara mereka yang mendapat bagian dan yang tidak mendapat bagian.
Sumber hukum Islam tentang waris adalah asal hukum islam tentang waris. Sumber Hukum Islam tersebut adalah :
1. Al Qur’an
2. As Sunah
3. Ijma’
4. ijtihad
.
A. Hukum Mempelajari dan Mengajarkan Ilmu Fara’idh Serta Kepentingannya Dalam Pembinaan Keluarga
Hukum mempelajari Ilmu Fara’idh adalah fardhu kifayah, artinya bila sudah ada satu orang yang mempelajarinya maka gugurlh kewajiban itu bagi orang lain. Begitu juga dalam mengajarkannya. Begitu pentingnya Ilm Fara’idh, smpai dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai separoh ilmu. Disamping itu oleh Beliau diingatkan bahwa ilmu inilah yang pertama kali akan dicabut. Artinya, pada kenyataannya hingga sekarang tidak banyak orang yang mempelajari Ilmu Fara’idh, karene memang sukar dan dikhawatirkan Ilmu ini lama kelamaan akan lenyap juga, karena sedikit yang mempelajarinya . Lebih-lebih apabila orang akan membagi harta warisannya berdsarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan dan tidak berdasarkan hukum Alloh SWT.
Nabi Muhammad SAW bersabda :
Artinya : “Pelajarilah Al-Fara’idh dan ajarkanlah ia kepada orang-orang. Sesungguhnya ilmu fara’idh itu separoh ilmu, dan iapun akan dilupakan serta iapun merupakan ilmu yang pertama kali akan dicabut di kalangan umatku. (HR. Ibnu Majah dan Ad Daruquthniy).
Masalah harta peninggalan biasanya menjadi sumber sengketa dalam keluarga. Terutama apabila menentukan siapa yang berhak dan siapa yang tidak berhak menerima. Dan juga seberapa banyak haknya. Hal ini mnimbulkan perselisihan dan akhirnya menimbulkan keretakan kekeluargaan. Orang ingin berlaku seadil-adilnya, tetepi belum tentu orang lain menganggap adil.
Oleh karena itu, didalam Islam memberikan ketentuan-ketentuan yang konkret mengenai hak waris. Sehingga apabila dilandasi ketaqwaan kepada Alloh SWT semuanya akan berjalan lancar dan tidak akan menimbulkan sengketa, bahkan kerukunan keluargapun akan tercapai. Ketentuan dari Alloh SWT itu sudah pasti. Bagian-bagian dari siapa yang mendapatkan sudah ditentukan . Semua kebijaksanaan dalam hal ini adalah dari Alloh SWT. Disamping itu, adalah kewajiban umat Islam untuk mengetahui ketentuan-ketentuan yang telah diberikan oleh Alloh SWT.
Nabi Muhammad SAW bersabda :
Artinya :”Bagilah harta benda diantara ahli-ahli waris menurut Kitabulloh. (HR. Muslim Dan Abu Dawud).
Disamping itu Alloh berfirman :
Artinya : “ Dan siapa yang melanggar Alloh dan Rosul-Nya melampaui batas ketentuannya, Alloh akan memasukannya kedalam api neraka, ia kekal disitu, dan iapun mendapatkan siksa yang menghinakan. (QS. An-Nisa : 14).
Dengan demikian semuanya termasuk apabila terdapat perselisihan, di kembalikan kepada Alloh SWT dan Rosul-Nya. Sehingga tidak ada celah-celah untuk saling sengketa dan bertengkar. Dan karena itu kekeluargaan dan hubungan kefamilian tetap terbina dengan baik serta rukun dan tenteram. Di dalam hal ini, Islam memberikan prinsip-prinsip antara lain :
1) Kepentingan dan keinginan orang yang meninggal (yang semula memiliki harta benda) diperhatikan selayaknya, dengan memberikan hak wasiat, biaya pemakaman dan sebagainya.
2) kepentingan keluargayang ditinggal. Terutama anak cucu mendapatkan perhatian lebih banyak, juga ayah ibu, disamping anggota keluarga yang lain. Seimbang dengan jauh dekatnya hubungan keluarga.
3) Keseimbangan kebutuhan nyata dan rata-rata dari tiap-tiap ahli waris mendapat perhatian yang seimbang pula, ahli waris pria yang nyatanya memerlukan lebih banyak biaya hidup bagi diri dan keluarganya mendapat bagian lebih banyak dari ahli waris wanita.
4) Beberapa hal yang berhubungan dengan kesalahan-kesalahan ahli waris dan yang berhubungan dengan itikad keagamaan, bisa menimbulkan akibat hilangnya hak waris, umpamanya pembunuhan, perbedaan agama dan sebagainya.

Prinsip-prinsip tersebut dibuat dengan maksud :
a) Harta benda yang merupakan Rahmat Alloh itu diatur menurut ajaran-Nya.
b) Harta benda yang didapat dengan susah payah oleh almarhum tidak menimbulkan percekcokan keluarga yang hanya tinggal menerima saja.
c) Harta benda itu dapat dimanfaatkan dengan tenang, tenteram, sesuai dengan tuntunan Alloh SWT.
Jadi, hukum waris harus dilaksanakan, kecuali kalau semua ahli waris sepakat dengan sukarela untuk membagi harta warisan berdasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan tidak dengan maksud untuk menentang hukum Alloh SWT, tetapi ada sebab-sebab lain, misalnya : harta waris diberikan kepada Ibu yang sudah tua dengan bagian terbanyak, dan sebagainya. Meskipun demikian, Islam tidak menutup pintu perdamaian antara seluruh ahli waris yang secara sepakat untuk mengatur pembagian harta warisan berdasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan. Juga setiap ahli waris berhak meminta atau menerima pembagian harta waris karena kesukarelaannya sendiri.
Pembagian harta warisan dalam masyarakat jahiliyah (sebelum Islam dating) didasarkan atas nasab dan kekerabatan. Dan itu hanya diberikan kepada keluarga yang laki-laki saja, yaitu lelaki yang sudah dapat memanggul senjata untuk mempertahankan kehormatan keluarga, dan melakukan peperangan serta merampas harta peperangan. Orang-orang perempuan dan anak-anak tidak mendapat warisan. Bahkan orang-orang perempuan, yaiti isteri ayah atau isteri saudara dijadikan harta pusaka. Kekerabatan lelaki inilah yang menjadi syarat bagi waris-mewaris dizaman jahiliyah. Termasuk janji atau pengangkatan bersaudara dan juga pengangkatan anak.

Orang yang telah melakukan perjanjian, apabila salah seorang meninggal, yang hidup berhak seperenam dari harta pusakanya, dan baru sisany adibagi diantara ahli warisnya. Orang mewarisi berdasarkan janji inipun adalah orang laki-laki. Sama seperti waris-mewaris dikalangan kerabat sendiri. Waris-mewaris dari persaudaraan yang seperti itu hanya untuk lelaki dan apabila sudah dewasa. Pengangkatan anak berlaku dikalangan jahiliyah. dan apabila sudah dewasa, si anak angkat mempunyai hak sepenuh-penuhnya sebagaimana disyaratkan oleh bapak yang mengangkatnya. Dan karena itu apabila ba[pak angkat meninggal, maka anak ankat mempunyai hak mawaris sepenuhpenuhnya atas harta benda bapak angkatnya.
Pengangkatan anak pernah terjadi pada Nabi Muhammad SAW. Mengangkat Zaid bin Muhammad, sebagai anak angkatnya setelah ia dibebaskan dari perbudakan. Karena angnkatnya dianggap sama dengan anak kandung, pada saat itu penisbatananak angkat tidak pada ayah yang sebenarnya, tetapi kepada ayah angkatnya. Itu sebabnya tidak disebut Zaid bi Harits, tetapi Zaid bin Muhammad. Tetapi didalam perkembangannya, masalah pengangkatan anak ini dihapus oleh Islam dan pengangkatan anak tidak menyebabkan si anak angkat berkedudukan sebagai anak kandung. Ia tetap sebagai orang lain.
C. Rukun kewarisan, sebab-sebab kewarisan dan penghalang-penghalang kewarisan
a. Rukun-rukun waris
Rukun-rukun waris itu ada tiga :
1) Muwarrits
Yaitu orang yang mewariskan dan meninggal dunia. Baik meninggal dunia secara hakiki, atau akarena keputusan hakim dinyatakan mati berdasarkan beberapa sebab.
2) Mauruts
Yaitu harta peninggalan si mati yang akan dipusakai setelah dikurangi biaya perawatan , hutang-hutang, zakat dan setelah digunakan untuk melaksanakan wasiat. Harta pusaka disebut juga Mirots, Irts, Turots Dan Tarikah.
3) Warits
Yaitu orang yang akan mewarisi, yang akan mempunyai hubungan dengan si Muwarits, baik hubungan itu karena hubungan itu kekeluargaan atau perkawinan.
Mengenai rukun kewarisan, ada yang memerlukan penjelasan yang rinci, sehingga memudahkan memahami uraian selanjutnya.
Mauruts (tirkah, tarikah, warisan) ialah sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia, yang dibenarkan dipusakai menurut ketentuan Hukm Islam. Harta peninggalan itu harus dipahami dengan pengertian yang luas. Didalamnya tercakup :
1. harta benda yang mempunyai nilai kebendaan
kedalam kelompok ini termasuk benda-benda yang tetap, benda-benda bergerak, piutang-piutang Orang yang meninggal, surat-surat berharga, dan lain-lain yang dipandang sah menjadi miliknya.
2. hak-hak kebendaan kedalam
kedalam kelompok ini termasuk hak monopoli untuk memungut hasil dari jalan lalu lintas, sumber air minum dan lain-lainnya.
3. Benda-benda yang ada ditangan orang lain
Termasuk kedalam kelompok ini ialah seperti, barang gadaian dan barang yang sudah dibeli dari orang lain tetapi belum diserah terimaan kepada orang yang sudah meninggal itu.
4. Hak-hak yang bukan benda
Termasuk kedalam kelompok adalah seperti hak syuf’ah (hak beli yang diutamakan bagi tetangga, serikat) dan memanfaatkan barang yang diwasiatkan atau yang diwakafkan.
Mengenai harta warisan ini, para ulama berbeda pendapat dalam memberi takrif (definisinya).
a. Fuqaha Hanafiyah
Dikalangan Fuqaha hanafiyah sendiri ada tiga pendapat :
1) Sebagian mereka berpendapat, bahwa harta peninggalan itu tidak mempunyai ha dengan orang lain. Dengan demikian, harta warisan menurut kelompok ini hanya kelompok harta benda yang mempunyai nilai kebendaan dan hak-hak kebendaan.
2) Sebagian mereka berpendapat bahwa harta warisan itu adalah sisa harta sesudah diambil biaya perawatan, jenazah dan pelunasan hutang.
3) Sebagian mereka berpendapat, bahwa harta warisa itu diartikan secara mutlak, yaitu apa saja yang dianggap menjadi milik orang yang meninggal itu.
b. Ibnu Hazm
Ibnu Hazm berpendapat bahwa harta yang dapat dijadikan warisan hanya harta benda saja, tidak termasuk hak-hak dari orang yang maeninggal itu.
c. Fuqaha Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanbaliyah
Ulama-ulama tersebut berpendapat bahwa semua peninggalan, baik berupa benda maupun bukan benda termasuk kedalam tirkah atau warisan.
b. Sebab-sebab kewarisan
Seseorng tidak mendapatkan warisan kecual karena salah satu sebab dari sebab-sebab berikut ini :
1) Nasab
Yaitu kekerabatan. Artinya, Ahli waris ialahayah dari pihak yang diwarisi atau anak-anaknya. Dan jalur sampingnya seperti saudara-saudara beserta anak-anak mereka dan paman-paman dari jalur ayah beserta anak-anak mereka, jarena Alloh SWT berfirman yang artinya : “ Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami menjadikan pewaris-pewarisnya.” (QS. An-Nisa : 33).
2) Pernikahan
Yaitu akad yang benar terhadap isteri, kendati suaminya belum menggauli dan belum berduaan dengannya. Karena Alloh SWT berfirman yang artinya : “Dan bagi kalian (suami-suami) seperdua dari harta yang ditingalkan oleh isteri-isteri kalian.” (QS. An-Nisa : 12)
3) Wala’
Yaitu seseorang memerdekakan budak laki-laki atau perempuan. Dan dengan ia memerdekakannya, maka kekerabatan budak tersebut menjadi miliknya. Jadi, jika budak yang ia merdekakan meninggal dunia tanpa meninggalkan ahli waris, maka hartyanya diwariskan kepada orang yang memerdekakannya. Karena Rosululloh SAW bersabda :
“Wala’ itu milik orang yang memerdekakannya.” (Muttafaq‘Alaih).
D. Penghalang-Penghalang Warisan
Bisa jadi, sebab-sebab warisan itu ada, namun sebab-sebab tersebut dihalang-halangi oleh penghalang hingga seseorang tidak dapat mewarisi dri pihak lain.
Penghalang-penghalang warisan tersebut adalah :
1) Kekafiran
Kerabat yang Muslim tidak bias mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak bias mewarisi kerabat yang Muslim. Rosululloh bersabda :
“Orang kafir tidak bisa mewarisi orang Muslim dan orang Muslim tidak bisa mewarisi orang kafir.” (Muttafaq ‘Alaih).
2) Pembunuhan
Pembunuh tidak bisa mewarisi orang yang dibunuhnya sebagai hukuman atas pembunuhannya tersebut. Dan itu jika pembunhan tersebut dilakukan dengan sengaja. Rosululloh SAW bersabda :
“Pembunuh tidak berhak atas sesuatu apapun dari harta peninggalan orang yang dibunuhnya.” (Diriwayatkan Ibnu Abdilbar dan Ia menshahihkannya)
Menurut ulama Hanafiyah, pembunuhan yang menghalangi memperoleh harta warisan adalah pembunuhan yang bersanksi Qishas dan yang bersanksi kaffaroh.
Pembunuhan yang bersanksi Qishas ialah pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja untuk membunuh dengan mempergunakan alat-alat yang mematikan.
Alloh berfirman :
Artinya : “ Wahai orang-orang yang beriman, Alloh telah menentukan kepadamu sekalian dipidana dengan Qishas atau pembunuhan………. (QS. Al Baqoroh :178).
Alloh juga berfirman :
Artinya : “Siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, balasannya adalah neraka jahanam, kekal disana. (QS. An Nisa : 93 ).
Adapun pembunuhan bersanksi kaffaroh ialah pembunuhanyang dipidana berupa membebaskan budak yang islam atau berpuasa selama dua bulan berturut-turut.
Pembunuhan yang bersanksi kaffaroh ada tiga macam :
Ø Syibhul ‘amdi (serupa atau mirip dengan sengaja).
Ø Qatlul Khoto’i (membunuh karena keliru).
Ø Al-Jari majrol Khoto’i (membunuh yang dianggap keliru).
Ulama Syafi’iyah berpendapat tidak membeda-bedakan antara penbunuh dengan sengaja atau tidak sengaja sebagai penghalang memperoleh warisan. Segala macam pembunuhan dianggap sebagai penghalang untuk memperoleh warisa. Bahkan apabila si pembunuh lantaran melakukan tugas Qishas dan kepala Negara melakukan tugas itu, hakim yang memutuskan pidana mati, saksi yag menjadi saksi dan lantaran kesaksiannya terjadi pelenyepan nyawa seseorang. Semua keadaan dan perbuatan terssebut menjadi penghalang untuk memperoleh harta warisan.
Menurut Ulama Hanbaliyah, semua pembunuhan yang mengakibatkan Qishas seperti pembunuhan yang disengaja dan pembunuhan yang menyebabkan diyat, seperti pembunuhan yang tidak disengaja dan serupa dengan sengaja. Demikian juga pembunuhan yang menyebabkan kaffaroh, seperti pembunuhan keluarga muslim yang berjuang dalam barisan orang kafir yang menjadi musuh perang umat islam tanpa diketahui kalau mereka itu muslim, semua itu menghalangi untuk memperoleh warisan. Sedang pembunuhan yang tidak menyebabkan sesuatu seperti pembunuhan yang dibenarkan oleh agama, tidaklah menghalangi untuk memperoleh harta warisan.
Sedangkan menurut Ulama Malikiyah hanya mengenal dua macam pembunuhan. Yaitu pembunuhan yang disengaja dan yang tidak disengaja. Apabila si pembunuh berniat membunuh, pembunuhan itu dikategorikan yang disengaja. Dan apabila tidak dimaksud untuk membunuh, pembunuhan itu yang tidak disengaja. Jadi, maksud dan niat itulah yang penting. Tidak peduli apakah pembunuhan itu langsung atau tidak langsung (tasabbub), oleh orang yang berakaal maupun gila, dan ssebagainya. Asal memang ada maksud, tentulah itu pembunuhan yang disengaja.
Pembunuhan yang sengaja itu menghalangi seseorang untuk memperolah harta wariasan. Dan pembunuhan tidak langsung, asal itu sudah ada niat juga menjadi penghalang untuk memperolah warisan.
3) Perbudakan
Budak tidak bisa mewarisi dan tidak bisa diwarisi. Baik itu budak sempurna atau orang yang diperbudak sebagian seperti budak Mukatib (budak yang dalam proses kemerdekaan dirinya dengan membayar sejumlah uang kepada pemiliknya), atau ibu dari anak majikan (karena majikan menggauli budak wanita tersebut hingga melahirkan anak), karena mereka semua dalam cakupan perbudakan. Sebagian ulama mengecualikan orang yang diperbudak sebagian bahwa ia bisa mewarisi dan bisa diwarisi sesuai dengan kemerdekaan yang dimilikinya, berdasarkan hadits dari Abdulloh bin Al-Abbas RA bahwa Rosululloh SAW bersabda tentang budak yang dimerdekakan sebagiannya.
“Ia berhak mewarisi dan siwarisi sesuai dengan apa yang telah dimerdekakan darinya.”
4) Zina
Hasil zina tidak bisa mewarisi ayahnya dan tidak bisa diwarisi ayahnya. Ia hanya bisa mewarisi Ibunya dan diwarisi ibunya. Rosululloh SAW bersabda :
“Anak itu milik ranjang (maksudnya pemilik ranjang, yaitu suami) dan pezina berhak atas kerugian.” (Muttafaq Alaih)
5) Li’an
Anak suami-isteri yang mengadakan Li’an itu tidak bisa mewarisi ayah yang tidak mengakuinya sebagai anak dan ayahnya juga tidak bisa mewarisinya. Ini diqiyaskan dengan anak hasil zina.
6) Tidak menangis waktu lahir
Anak yang dilahirkan ibunya dalam keadaan meninggal dunia dan tidak bisa menangis ketika lahir itu tidak bisa mewarisi dan tidak bisa diwarisi, karena tidak ada kehidupan yang disusul dengan kehidupan, kemudian warisan terjadi karenanya.
Unsur-Unsur Dan Syarat Kewarisan
1. Tujuan Intruksional Khusus
 Mahasiswa dapat menjelaskan unsur-unsur kewarisan Islam.
 Mahasiswa dapat menjelaskan syarat-syarat yang berkaitan dengan unsur-unsur kewarisan.
2. Keterkitan materi dengan materi yang lain
Setelah mahasiswa mengetahui sebab-sebab adanya hak kewarisan dalam Islam dan sebab-sebab yang menjadi penghalang kewarisan. Maka materi selanjutnya yang relevan diberikan adalah unsur-unsur dan syarat kewarisan yang sebelum diberikan materi kewajiban yang berkaitan dengan harta warisan.
3. Pentingnya mempelajari isi bab
Unsur-unsur kewarisan beserta syarat-syaratnya sangat perlu dipahami oleh mahasiswa, karena istilah-istilah yang berkaitan dengan unsur terebut harus dipahami oleh mahasiswa seperti muwaris, maurus dan lainya.
4. Petunjuk mempelajari isi bab
Unsur-unsur kewarisan Islam menggunakan istilah bahasa arab, seperti muwaris, maurus dan sebagainya, sehingga akan lebih baik jika mahasiswa membawa dan membuka kamus bahasa arab untuk memudahkan pemahaman. Selain itu, unsur maurus sangat berkaitan dengan fikih muamalah dalam materi benda dan hak-hak kebendaan, hendaknya mahasiswa membaca materi tersebut dalam fikih muamalah untuk memudahkan pemahaman.
Unsur Dan Syarat Kewarisan
Dalam kewarisan Islam terdapat tiga unsur (rukun), yaitu :
a. Maurus.
b. Muwaris.
c. Waris.

Maurus atau miras adalah harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang dan pelaksanaan wasiat. Dalam hal ini yang diamaksdukan hal tersebut adalah :
a. Kebendaan yan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan. Misalnya benda-benda tetap, benda-benda bergerak, piutang-piutang si mati, diyat wajibah (denda wajib) yang dibayarkan kepadanya.
b. Hak-hak kebendaan, seperti monopoli untuk mendayagunakan dan menarik hasil dari suatu jalan lalu lintas, sumber air minum, irigasi dan lain sebagainya.
c. Benda-benda yang bukan kebendaan, seperti hak khiyar dan hak syuf’ah, hak memanfaatkan barang yang diwasiatkan dan sebagainya.
d. Benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain, seperti benda yang sedang digadaikan, benda yang telah dibeli oleh si mati sewaktu masih hdup yang sudah dibayar tetapi barang belum diterima.

Terhadap maurus tersebut terdapat perbedaan pendapat sebagai berikut ;
a. Fuqaha Hanafiyah
Menurut mereka maurus adalah harta benda yang ditinggalkan si mati, yang tidak mempunyai hubungan hak dengan orang lain. Sehingga yang dikatakan maurus menurut mereka hanya apa-apa yang termasuk dalam nomor 1 dan 2 saja.
b. Ibnu Hazm
Ibnu Hazm sependapat dengan fuqaha Hanafiyah yang menyatakan bahwa harta peninggalan yang harus diwarisi adalah berupa aharta benda. Sedangkan yang berupa hak-hak tidak dapat diwarisi.
c. Ulama Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah.

Menurut mereka, maurus adalah segala yang ditinggalkan oleh si mati, berupa harta benda maupun hak-hak. Baik hak-hak tersebut berupa kebendaan maupun bukan kebendaan.
Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan hartanya.
Waris, adalah orang yang berhak mewarisi harta peninggalan muwaris karena mempunyai hubungan kekerabatan baik karena hubungan darah, hubungan sebab perkawinan atau akibat memerdekakan hamba sahaya.
Adapun syarat-syarat terjadinya pembagian harta warisan dalam Islam adalah ;
a. Matinya muwaris.
b. Hidupnya waris.
c. Tidak adanya penghalang-penghalang mewarisi.
Pertama, Matinya muwaris
Kematian muwaris dibedakan kepada tiga macam yaitu :
a. Mati haqiqy.
b. Mati hukmy.
c. Mati taqdiry (menurut dugaan).

Mati haqiqy, ialah kematian seseorang yang dapat disaksikan oleh panca indra dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian.
Mati hukmy, ialah suatu kematian disebabkan adanya vonis hakim. Misalnya orang yang tidak diketahui kabar beritanya, tidak diketahui domisilinya, maka terhadap orang yang sedemikian hakim dapat memvonis telah mati. Dalam hal ini harus terlebih dahulu mengupayakan pencarian informasi keberadaannya secara maksimal.
Mati taqdiry, yaitu orang yang dinyatakan mati berdasarkan dugaan yang kuat. Semisal orang yang tenggelam dalam sungai dan tidak diketem,ukan jasadnya, maka orang tersebut berdasarkan dugaan kuat dinyatakan telah mati. Contoh lain, orang yang pergi kemedan peperangan, yang secara lahiriyah mengancam jiwanya. Setelah sekian tahun tidak diketahui kabar beritanya, maka dapat melahirkan dugaan kuat bahwa ia telah meninggal.
Kedua, hidupnya waris.
Dalam hal ini, para ahli waris yang benar-benar hiduplah disaat kematian muwaris, berhak mendapatkan harta peninggalan. Berkaiatan dengan bayi yang masih berada dalam kandungan akan dibahas secara khusus.
Ketiga, Tidak ada penghalang kewariosan, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hal-hal yang menjad penghalang kewarisan.
Rangkuman
Dalam kewarisan Islam, sebab-sebab yang menjadi penghalang kewarisan adalah :
1. Unsur-unsur dalam kewarisan Islam adalah muwaris, maurus dan waris.
2. Muwaris adalah orang yang meninggal dan hartanya akan diwarisi. Kematian tersebut bisa didasarkan pada kematian hakiki, hukmy atau taqdiri.
3. Maurus adalah harta yang ditinggalkan yang diwarisi oleh ahli warisnya. Dalam hal ini terjadinya perbedaan pendapat dalam kaitan hak-hak kebendaan atau harta yang berkaitan dengan orang lain.
4. Waris adalah orang yang menerima warisan atau disebut sebagai ahli waris. Dalam hal ini ahli waris yang masih hiduplah yang berhak mendapat warisan. Sedangkan bayi dalam kandungan akan dibahas pada fikih mawaris 2.

 Ahli waris adalah orang-orang yang mempunyai hak untuk mendapatkan bagian dari harta peninggalan ornag yang telah meninggal. Ahli waris dapat digolongkan menjadi dua, yaitu ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan.
Ahli waris laki-laki ada 15 orang, yaitu sebagai berikut :
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke bawah
3. Bapak
4. Kakek dari bapak dan terus ke atas
5. Saudara laki-laki sekandung
6. Saudara laki-laki sebapak
7. Saudara laki-laki seibu
8. Anak laki-laki saudara laki-laki kandung
9. Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak
10. Paman yang sekandung dengan bapak
11. Paman yang sebapak dengan bapak
12. Anak laki-laki paman yang sekandung dengan bapak
13. Anak laki-laki paman yang sebapak dengan bapak
14. Suami
15. Laki-laki yang memerdekakan pewaris.
Jika lima belas orang itu ada, maka yang dapat menerima hanya tiga, yaitu anak laki-laki, suami dan bapak

Ahli waris perempuan ada sepuluh yaitu sebagai berikut
1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan dari anak laki-laki
3. Ibu
4. Nenek dari ibu
5. Nenek dari bapak
6. Saudara perempuan kandung
7. Saudara perempuan bapak
8. Saudara perempuan seibu
9. Istri
10. Wanita yang memerdekakan pewaris

Jika 10 orang itu ada, maka yang mendapat warisan hanya lima orang, yaitu istri, anak perempuan, ibu, cucu perempuan, dan saudara perempuan kandung).
Jika 25 ahli waris itu ada, maka yang bisa menerimanya hanya 5 orang, yaitu suami, istri, ibu, bapak, anak laki-laki dann anak perempuan.

Pengertian Wasiat
Wasiat ialah suatu hasrat atau keinginan yang dizahirkan secara lisan atau bertulis oleh seseorang mengenai hartanya untuk diuruskan selepas berlaku kematiannya. Tetapi wasiat yang dibuat secara lisan adalah terdedah kepada fitnah akibat arahan yang tidak jelas dan boleh dipertikaikan di kalangan ahli waris.
Dalil Wasiat
Wasiat adalah dibenarkan di dalam Islam. Wasiat disyariatkan melalui dalil Al-Quran, Sunnah Nabi s.a.w., amalan sahabat dan ijma' ulama'.
Dalam Al-Quran, ALLAH berfirman:
(Pembahagian itu) ialah sesudah diselesaikan wasiat oleh simati dan sesudah dibayarkan hutangnya.
- Surah An-Nisa': 11
 Dalam Sunnah, Rasulullah s.a.w. bersabda:
Seseorang Muslim yang mempunyai sesuatu yang boleh diwasiatkan tidak sepatutnya tidur dua malam berturut-turut melainkan dia menulis wasiat disisinya.

- Hadis riwayat Bukhari dan Muslim
 Hadis ini menyebut kalimah 'tidak sepatutnya' menunjukkan bahawa langkah persediaan perlu diambil oleh setiap seorang Muslim dengan menulis wasiatnya kerana dia tidak mengetahui bila ajalnya akan tiba. Kemungkinan kelalaiannya akan mengakibatkan segala hajatnya tergendala dan tidak terlaksana.
Rasulullah s.a.w. turut besabda:
Orang yang malang ialah orang yang tidak sempat berwasiat.
- Hadis riwayat Ibnu Majah
Sabda Rasulullah s.a.w. lagi:
Sesiapa yang meninggal dunia dengan meninggalkan wasiat maka dia mati di atas jalan Islam dan mengikut sunnah. Dia mati dalam keadaan bertaqwa, bersyahadah dan dalam keadaan diampunkan.
- Hadis riwayat Ibnu Majah

Ciri-Ciri Wasiat Islam

Terdapat beberapa ciri dan prinsip wasiat Islam yang perlu dipatuhi:

1.  Harta yang hendak diwasiatkan mestilah tidak lebih daripada sepertiga (1/3) daripada harta pusaka bersih kecuali mendapat persetujuan daripada ahli-ahli waris.
2.  Penerimanya hendaklah bukan waris iaitu mereka yang tiada hak faraid ke atas pusaka simati kecuali mendapat persetujuan daripada ahli-ahli waris yang lain.
3.  Jika penerima wasiat meninggal dunia semasa hayat pewasiat, maka wasiat tersebut adalah terbatal.
4.  Jika penerima wasiat meninggal dunia selepas menerima wasiat dan selepas kematian pewasiat, maka haknya boleh diwarisi oleh waris penerima.
5.  Selepas kematian pewasiat, perlu ditolak dahulu kos perbelanjaan pengkebumian dan pembayaran hutang simati.
6.  Wasiat boleh ditarikbalik pada bila-bila masa kerana ia hanya berkuatkuasa selepas kematian pewasiat dan wasiat tersebut perlulah dibuat secara sukarela.


1 Response to "Hukum kewarisan"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel