Pocut Meuligo
Pocut Meuligoe adalah seorang pemimpin wanita pewaris tahta Kerajaan Samalanga (Aceh). Pada saat Belanda] hendak memasuki Samalanga,
Pocut Meuligoe yang masih belia telah berhasil mempertahankan wilayah
kerajaannya. Ia mewajibkan setiap pria untuk turun ke medan perang dan
bertindak tegas kepada setiap pria yang mangkir dari kewajibannya
tersebut.
Pocut Meuligoe termasuk dalam para wanita pejuang Aceh, seperti Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia,
dan Tengku Fakinah. Wanita yang juga dipanggil dengan Pocut Maligai ini
telah mempertahankan Samalanga dari serangan Belanda selama beberapa
tahun, bahkan Jend. Karel van der Heijden
kehilangan satu matanya dalam peperangan berusaha merebut wilayah
Samalanga. Mata kiri Jenderal Van der Heijden tertembak pejuang
Samalanga yang dipimpin seorang remaja putri, Pocut Meuligoe.
Keberanian Pocut Meuligo ditulis oleh seorang kapten Belanda
yang bernama Schumacher bahwa Pocut Meuligo sangat benci Belanda sampai-sampai
ia memerintahkan semua rakyatnya berperang sekalipun meninggalkan sawah dan
ladang. Bila mangkir mereka dihukum berat. Pengaruh perempuan muda ini tidak
hanya di Samalanga, ia sering mengirim bantuan dana, keperluan logistik dan
senjata ke Aceh Besar membantu pasukan Aceh. Samalanga bisa memberikan
kontribusi finansial yang besar bagi perjuangan Aceh karena perdagangan ekspor
Samalanga berkembang baik.
Schumacher melanjutkan bahwa pada tahun 1876 Belanda berusaha keras agar Samalanga mengakui pemerintahan Belanda, tetapi dijawab Samalanga dengan menembaki kapal-kapal Belanda bahkan bila perlu merompaknya.
Samalanga ketika itu termasuk wilayah otonom yang diberi
kuasa penuh oleh Sulthan Aceh kepada raja Teuku Chik Bugis, tapi dalam
menjalankan pemerentahan Teuku Chik Bugis mempercayakan pada seorang tokoh
wanita bernama Pocut Meuligoe. Mendengar nama kedua tokoh ini saja, Belanda
keder karena keberanian mereka. Belanda sendiri ingin menguasai Samalanga
karena wilayah ini sangat strategis dan maju dalam bidang perdagangan.
Ketika
Van Der Heijden diangkat Pemerintah Hindia Belanda menjadi Gubernur/Panglima
Perang untuk Aceh, sasaran pertamanya adalah menaklukkan Samalanga. Tahun 1876
Van Heijden menyerang Samalanga dengan mengerahkan kekuatan tiga Batalion
tentara. Tiap Batalion terdiri tiga Kompi yang masing-masing kompi berjumlah
150 pasukan. Namun sekian kali mereka menyerang, tak berhasil menguasai
Samalanga. Serdadu Belanda mati, termasuk seorang Letnan bernama Aj. Richello
yang dipancung kepalanya oleh seorang ulama besar Haji Ahmad. Namun ulama ini
juga syahid dalam agresi pertama Belanda ke Samalanga.
Pejuang
Samalanga tak dapat dikalahkan, maka tahun 1877 Belanda kembali menyusun
kekuatan menyerbu dengan melibatkan tiga Batalion tentara, pasukan marenir dan
pasukan meriam ditambah 900 orang hukuman yang diikutkan dalam penyerangan.
Setelah sebulan pertempuran, Belanda hanya bisa menguasai Blang Temulir dekat
kota Samalanga. Ratusan serdadu colonial mati, dan Van Der Heijden sendiri luka
berat, bahkan mata kirinya mengalami kebutaan akibat terkena peluru pasukan
Aceh. Ini kemudian si Belanda Van Der Haijden disebut orang Aceh dengan nama
Jendral buta siblsah.
Raja
Samalanga Teuku Chik Bugis dan Pocut Meuligoe masih berkuasa penuh, meskipun
Belanda sudah menguasai. Belanda tidak berani mendekati bentenguta Gle Batee
Iliek. Seperti ditulis Paul Van ‘T Veer dalam bukunya De Atjeh Oorloq (Perang
Aceh: 1985) mencatat, Benteng Kuta Gle Batee Iliek adaah pusat perlawanan Aceh
yang sangat tangguh bagi Belanda. Dan Batee Iliek sendiri adalah sebuah “dusun
kramat” dan pemukiman para ulama yang sangat fanatik dalam menentang perluasan
kekuasaan Belanda.
Satu
ketika setelah tiga tahun Samalanga sepi dari peperangan, taba-tiba tanggal 30
Juni 1880, Letna Van Woortman dengan 65 orang pasukannya mencoba menyusup ke
Bneteng Kuta Gle Batee Iliek. Namun sampai di Cot Meureak (kira-kita sekitar 2
Km ke arah Utara Betee Iliek) ke 65 pasukan Belanda itu di hadang oleh gerilia
pasukan Aceh.
Dalam
insiden itu banyak serdadu Belanda mati dan terluka parah. Peristiwa ini segera
disampaikan ke Banda Aceh sehingga. Gubernur Van Der Heijden berang karena
serdadunya kalah. Maka tanggl 13 Juli 1880, Van Der Heijden kembali mengirimkan
ekspedisinya secara besar-besaran ke Samalanga untuk menyerang Banteng Kuta Gle
Betee Iliek.
Ekpedisi
ini Belanda mengerahkan satu kompi Belanda, 1 kompi Inlander dari Batalion 14
dan 1 kompi Ambon dari Batalion 3, serta 1 kompi garnizun dari Batalion
campuran, juga dilengkapi 32 perwira dengan 1200 bawahannya diberangkatkan ke
Samalanga. Dalam ekspedisi ini juga turut serta Panglima Tibang, bekas pembesar
Sultan yang menyeleweng dengan Teuku Nyak Lehman sebagai juru bahasa dan
penunjuk jalan bagi Belanda.
Beberapa
kali Belanda melakukan serbuan menaklukkan Kuta Gle Batee Iliek tidak berhasil.
Belanda terpaksa memundurkan pasukannya ke Cot Meurak. Di sini sambil mereka
istirahat dan menyusun strategi penyerangan kedua ke Kuta Gle, Belanda juga
harus menguburkan mayat-mayat serdadu mereka. Tepatnya tanggal 17 Juli 1880,
Belanda kembali menyerang Kuta Gle. Dalam serbuan kedua ini rupanya Teuku Chik
Bugis (raja Samalanga) minta disertakan bersama dalam pasukan Belanda, dengan
tujuan untuk menyesatkan arah pasukan Belanda hingga terjebak dengan pasukan
Aceh dalam jumlah yang sangat besar.
Strategi
Teuku Chik Bugis lagi-lagi mebuat serangan Belanda ke Kuta Gle Batee Iliek
menjadi konyol. Belanda harus buru-buru mundur dan banyak sekali tentaranya
yang tewas akibat dikibuli Teuku Chik Bugis. Hari itu juga Chik Bugis ditangkap
olen Belanda dan dibawa ke Banda Aceh. Namun begitu, benteng Kuta Gle Batee
Iliek tetap berdiri kokoh dengan kekuatan pasukan Aceh yang sangat ditakuti
Belanda.
Benteng
Kuta Gle Batee Iliek, tak pernah direbut. Itu sebabnya Paul Van ‘T Veer
mencatat dalam bukunya “Perang Aceh” bahwa Batee Iliek adalah sebuah kampung
kramat yang sangat sulit dihadapi oleh Belanda. Bidikan tembakan-tembakan
marsose, ditangkis hebat para ahli Alquran (yang dimaksudkan Van ‘T Veer para
ahli Al-Quran adalah para ulama pejuang Aceh) yang sangat lancar membuat
serangan perang terhadap Belanda-selancar mereka membaca ayat-ayat Alquran,
tulis Van ‘T Veer.
Setelah
30 tahun lebih Benteng Kuta Gle Batee Iliek bertahan dari serangan-serangan
besar Belanda, pada tahun 1901 Jenderal Van Heutsz kembali memimpin ekspedisi
barunya ke Batee Iliek. Sehari sebelum penyerangan Van Heutsz ke Batee Iliek
ini, Van Heutsz lebih dulu merayakan Ultah ke 50 (tanggal 3 Februari 1901).
Untuk
membakar semangat perang bagi serdadu Belanda, Van Heutsz, seorang tokoh
legendaries perang Belanda Izaak Thenu sengaja mengubah sebuah syair khusus
untuk perang Samalanga. Bunyinya: mari sobat, mari saudara Pergi perang di
Samalanga, Mari kumpul bersuara Lalu menyanyi bersama-sama.
Namun
ekspedisi ini berhasil dilumpuhkan, hingga Van Heutsz baru berhasil menaklukkan
Kuta Gle Batee Iliek pada tahun 1904, setelah tiga tahun melakukan peperangan
melawan pejuang Aceh di wilayah Batee Iliek. Bahkan menurut sebagian cerita
sejarah yang difahami penduduk Samalanga, Van Heutsz sendiri tewas di Batee
Iliek, yang kuburannya sekarang terdapat di atas bukit Betee Iliek tak jauh
dari Benteng Kuta Gle.
0 Response to "Pocut Meuligo"
Post a Comment