Kaidah-Kaidah Hukum Islam

A.  Pengertian
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Dalam bahasa arab, kaidah memilik banyak arti diataranya: al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Al Qi’dah (cara duduk, yang baik atau yang buruk), Qo’id ar rojul (Istrinya), Dzul Qo’dah (nama salah satu bulan qomariyah yang mana orang orab tidak mengadakan perjalanan didalamnya) dan lain sebagainya. Dari seluruh arti tadi dapat kita simpulkan bahwa kaidah secara bahasa artinya tidak akan keluar dari dasar atau pondasi dan tempat sesuatu.
Sedangkan Hukum Islam adalah abadi karena konsep hukum yang bersifat otoriter, ilahi dan absolute dalam Islam tidak memperoleh perubahan dalam konsep-konsep dan institusi-institusi hukum. Sebagai konsekuwensi logis dari konsep ini, maka sanksi yang diberikannya bersifat ilahiyah yang karenanya tidak bisa berubah.

B.  Kaidah-Kaidah Ushuliyah
Dr. Jailany mendefinisikan sebagai:” hukum kulli (berifat umum) yang berdiri diatasnya furu’ fiqhiyah yang di bentuk dengan bentuk umum dan akurat”.
Sumber-Sumber Pengambilan Kaidah-Kaidah Ushul
Secara global, kaidah-kaidah ushul fiqh bersumber dari naql (Al-Qur’an dan Sunnah), ‘Akal (prinsip-prinsip dan nilai-nilai), bahasa (Ushul at tahlil al lughawi), yang secara terperinci kita jelaskan dibawah ini.
1.    Al Qur’an.
Al Qur’an merupakan firman Allah SAW yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, untuk membebaskan manusia dari kegelapan. Kitab ini adalah kitab undang-undang yang mengatur seluruh kehidupan manusia, firman Allah yang Maha mengetahui apa yang bermanfaat bagi manusia dan apa yang berbahaya, dan merupakan obat bagi ummat dari segalah penyakitnya. Allah berfirman :
“dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian”. (QS. AL Isra: 82)
2.    As Sunnah
Allah memberikan kemuliaan kepada nabi Muhammad SAW dengan mengutusnya sebagai nabi dan rasul terakhir untuk umat manusia dengan tujuan menyampaikan pesan-pesan ilahi kepada umat. Maka nilai kemuliaan Rasulullah bukan dari dirinya sendiri tetapi dari Sang Pengutus yaitu Allah SWT, karena siapapun yang menjadi utusan pasti lebih rendah tingkatannya dari yang mengutus. Allah Berfirman yang artinya:” Muhammad tidak lain hanyalah seorang rasul”. (QS. Ali Imran: 144).
Diantara kaidah-kaidah ushul yang di ambil dari hadits adalah:
ü  Perintah yang mutlak hukumnya wajib (الأمر المطلق يفيد الوجوب)
ü  Ijma’ merupakah hujjah yang di akui secara syar’I (الإجماع حجة معتبرة شرعا)
ü  Jika berkumpul perintah dan larangan maka larangan di dahulukan (إذا اجتمع الآمر والمحرم قدم المحرم)
ü  Qiyas merupakan hujjah yang di akui secara syar’I (القياس حجة معتبرة شرعا)
3.    Ijma’
Diantara kaidah-kaidah ushul yang di ambil dari ijma adalah:
ü  Ijma’ Sahabat bahwa “hukum yang di hasilkan dari hadits ahad dapat di terima”.
ü  Ijma’ Sahabat bahwa “hukum terbagi menjadi 5 macam”.
ü  Ijma’ Sahabat bahwa “syariat nabi Muhammad menghapus seluruh syariat yang sebelumnya”.

4.    Akal
Akal memiki kedudukan yang tinggi didalam syariat islam, karena kita tidak akan faham islam tanpa akal. Sebagai contoh, Apa dalil yang menunjukkan bahwa Allah itu ada? Jika dijawab Al Qur’an, Apa dalil yang menunjukkan bahwa Al Qur’an benar-benar dari Allah? Jika dijawab I’jaz, apa dalil yang menunjukkan bahwa I’jazul quran sebagai dalil bahwa alqur’an bersumber dari Allah SWT? Dan seterusnya. Dengan demikian dapat kita fahami bahwa islam tidak akan kita fahami tanpa akal, oleh karena itulah akal merupakan syarat taklif dalam islam.
Meskipun demikian, ada satu hal yang harus di perhatikan dengan seksama, bahwa akal tidak bisa berkerja sendiri tanpa syar’I. Akal hanyalah sarana untuk mengetahui hukum-hukum Allah melalui dalil-dalil al quran dan hadits. Allah lah yang menjadi hakim, dan akal merupakan sarana untuk memahami hukum-hukum Allah tersebut.
Diantara kaidah-kaidah ushul yang di hasilkan dari akal adalah:
ü  Al Qur’an merupakan dalil yang di akui.
ü  Baik dan buruk hanya di ketahui melalui syar’I bukan akal.
ü  Yang lebih kuat didahulukan dari yang lemah.

5.     Perkataan Sahabat
Diantara kaidah-kaidah ushul yang diambil dari perkataan-perkataan sahabat Rasulullah adalah:
ü  Hadits-hadits Ahad zonniyah
ü  Qiyas adalah hujjah
ü  Hukum yang terakhir menghapus hukum yang terdahulu (naskh)
ü  Orang awam boleh taqlid
ü  Nash lebih di utamakan dari qiyas maupun ijma’
Rukun Dan Syarat Kaidah-Kaidah Ushul
Rukun-rukun kaidah Ushuliyyah
Ketika kita melihat sebuah kaidah ushul, النهي للكرار (larangan menunjukkan pengulangan) umpamanya kita akan menemukan 4 rukun didalamnya:
  1. Maudu’ (tema) yaitu النهي
  2. Mahmuul yaitu التكرار
  3. Penisbatan antara keduanya yaitu kebergantungan rukun kedua dengan rukun pertama
  4. Terjadi atau tidaknya rukun ketiga pada keduanya.. (Apakah perintah menunjukkan pengulangan benar-benar terjadi atau tidak?)
Jika keempat-empatnya adalah tasowwurot dimanakah hukumnya atau at tasdiq ??
Ahli mantiq ketika berusaha menyelesaikan permasalahan ini berbeda pada 2 pendapat:
1. Al Falasifah mengatakan bahwa at tasdiq adalah rukun ke empat saja, dengan kata lain menurut falasifah, kaidah-kaidah ushul cukup dengan satu rukun saja yaitu rukun yang keempat.
2. Imam Ar Razi mengatakan bahwa at tasdiq tidak cukup dengan rukun ke empat saja tetapi gabungan dari keempat rukun tersebut.
Syarat-syarat kaidah Ushuliyyah
  1. Harus dalam bentuk yang singkat
  2. Merupakan perkara yang sempurna
  3. Maudu’nya (temanya) harus kulli bukan juz’I (umum)
  4. Kaidah-kaidah ushul tersebut tidak bertentangan dengan syari’at dan maqosid syari’ah
  5. Tidak bertentangan dengan kaidah lain (baik itu kaidah ushul ataupun kaidah fiqh) yang sebanding dengannya atau lebih kuat darinya.
  6. Kaidah-kadiah ushul tersebut harus tegas dan tidak ragu-ragu
Hubungan Antara Kaidah-Kaidah Ushul Dengan Ushul Fiqh
Ketika kita melihat defenis dari ushul fiqh dan kaidah-kaidah ushul, akan jelas sekali perbedaan atara keduanya. Tetapi meskipun demikian, keduanya tidak akan bisa dipisahkan karena ilmu kaidah-kaidah ushul merupakan bagian dari ilmu ushul fiqh. Hubungan antara keduanya adalah hubungan atara umum dan khusus (ilmu ushul fiqh lebih umum dari ilmu kaidah-kaidah ushul).
Adapun perbedaan atara keduanya adalah sebagai berikut:
  • Mayoritas kaidah-kaidah ushul adalah nilai yang di ambil dari ushul fiqh (ushul fiqh jauh lebih luas pembahasannya daripada kaidah-kaidah ushul).
  • Perbedaan dalam segi maudu’ (tema). Tema kaidah-kaidah ushul adalah ushul fiqh itu sendiri adapun tema ushul fiqh adalah al- adillah al ijmaliayah min hautsu dobthi al fiqh.
  • Dari segi Tujuan. Tujuan dari kaidah-kaidah ushul adalah menyempurnakan ushul fiqh dengan cara menyempurnakan nilai-nilai ushul dengal lafaz yang singkat, dan mengembalikan nilai-nilai tersebut kepada nilai yang lebih umum yang menjadi kaidah buat kaidah tersebut.  Dengan demikian tujuan ilmu kaidah-kaidah ushul adalah ingin memberikan bentuk lain untuk ushul fiqh dalam bentuk kaidah yang lebih singkat dan sistematis. Adapun tujuan ushul fiqh adalah pencapaian nilai-nilai yang dapat menyempurnakan ijtihad dalam fiqh.
  • Dari segi histories (Apakah ushul fiqh muncul terlebih dahulu atau kaidah-kaidah ushul?)

Sahabat-sahabat Rasulullah, tabi’in dan yang mengikuti mereka sejak dahulu telah berijithad dengan memakai kaidah-kaidah ushul.  Kemudian pembahasan semakin luas hingga muncullah ilmu ushul fiqh. Demikian juga ilmu ushul fiqh semakin luas hingga di butuhkan kaidah-kaidah singkat yang dapat dengan mudah diterapkan oleh seorang mujtahid, dan inilah yang menjadi tonggak munculnya ilmu kaidah-kaidah ushul. Dengan demikian kaidah-kaidah ushul lebih dahulu muncul dari ilmu ushul fiqh, dah ilmu ushul fiqh muncul sebelum munculnya ilmu kaidah-kaidah ushul.
Perbedaan Antara Kaidah-Kaidah Ushuliyyah Dengak Kaidah-Kaidah Fiqhiyyah
Persamaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqh terletak pada kesaaman sebagai wasilah pengambilan hukum. Keduanya merupakan prinsip umum yang mencakup masalah-masalah dalam kajian syari’ah. Oleh karena itu, dalam perspetif ini kaidah ushul sangatlah mirip dengan kaidah fiqih.
Namun, kita pun bisa melihat perbedaan yang signifikan dari kedua kaidah tersebut, secara ringkas perbedaan kedua kaidah tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Kaidah ushul pada hakikatnya adalah qa’idah istidlaliyah yang menjadi wasilah para mujtahid dalam istinbath (pengambilan) sebuah hukum syar’iyah amaliah. Kaidah ini menjadi alat yang membantu para mujtahid dalam menentukan suatu hukum. Dengan kata lain, kita bisa memahami, bahwa kaidah ushul bukanlah suatu hukum, ia hanyalah sebuah alat atau wasilah kepada kesimpulan suatu hukum syar’i. Sedangkan, kaidah fiqih adalah suatu susunan lafadz yang mengandung makna hukum syar’iyyah aghlabiyyah yang mencakup di bawahnya banyak furu’. Sehingga kita bisa memahami bahwa kaidah fiqih adalah hukum syar’i. Dan kaidah ini digunakan sebagai istihdhar (menghadirkan) hukum bukan istinbath (mengambil) hukum (layaknya kaidah ushul). Misalnya, kaidah ushul “al-aslu fil amri lil wujub” bahwa asal dalam perintah menunjukan wajib. Kaidah ini tidaklah mengandung suatu hukum syar’i. Tetapi dari kaidah ini kita bisa mengambil hukum, bahwa setiap dalil (baik Qur’an maupun Hadits) yang bermakna perintah menunjukan wajib. Berbeda dengan kaidah fiqih “al-dharar yuzal” bahwa kemudharatan mesti dihilangkan. Dalam kaidah ini mengandung hukum syar’i, bahwa kemudharatan wajib dihilangkan.
  2. Kaidah ushul dalam teksnya tidak mengandung asrarus syar’i (rahasia-rahasia syar’i) tidak pula mengandung hikmah syar’i. Sedangkan kaidah fiqih dari teksnya terkandung kedua hal tersebut.
  3. Kaidah ushul kaidah yang menyeluruh (kaidah kulliyah) dan mencakup seluruh furu’ di bawahnya. Sehingga istitsna’iyyah (pengecualian) hanya ada sedikit sekali atau bahkan tidak ada sama sekali. Berbeda dengan kaidah fiqih yang banyak terdapat istitsna’iyyah, karena itu kaidahnya kaidah aghlabiyyah (kaidah umum).
  4. Perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqih pun bisa dilihat dari maudhu’nya (objek). Jika Kaidah ushul maudhu’nya dalil-dalil sam’iyyah. Sedangkan kaidah fiqih maudhu’nya perbuatan mukallaf, baik itu pekerjaan atau perkataan. Seperti sholat, zakat dan lain-lain
  5. Kaidah-kaidah ushul jauh lebih sedikit dari kaidah-kaidah fiqh.
  6. Kaidah-kaidah ushul lebih kuat dari kaidah-kaidah fiqh. Seluruh ulama sepakat bahwa kaidah-kaidah ushul adalah hujjah dan mayoritas dibangun diatas dalil yang qot’I. Adapun kaidah-kaidah fiqh ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa kaidah-kaidah fiqh bukan hujjah secara mutlaq, sebagian mengatakan hujjah bagi mujtahid ‘alim dan bukank hujjah bagi selainnya, sebagian yang lain mengatakan bahwa kaidah-kaidah tersebut hujjah secara mutlak.
  7. Kaidah-kaidah ushul lebih umum dari kaidah-kaidah fiqh

Faedah Kaidah-Kaidah Ushul Fiqh
Dan Kedudukannya Diantara Ilmu-Ilmu Syara’
1. Faedah Kaidah-Kaidah Ushul Fiqh
Manfaat sesuatu bisa dilihat dari buah atau nilai yang di hasilkannya, begitu juga dengan kaidah-kaidah ushul. Jika kita ingin mengetahui manfaat serta kedudukannya maka hendaklah kita melihat kepada nilai atau buah yang dihasilkan oleh kaidah-kaidah ushul fiqh itu sendiri.. Setiap manusia berbuat sesuai dengan kemaslahatannya, jika tidak ada maslahat (minimal dalam pandangannya), ia tidak akan melaksanakannya. Maslahat dibagi dua, dunia dan akhirat. Sebagai muslim tentu berkeyakinan bahwa maslahat dunia adalah sarana untuk mencapat kebahagiaan utama di akhirat nanti.
Setelah ilmu aqidah, ilmu yang membahas tentang hukum-hukum praktis merupakan ilmu yang paling penting dan harus dikuasai. Hukum-hukum ini bisa di ketahui, baik dengan cara taqlid atau ijtihad. Beribadah atas dasar taqlid tidak sama derajatnya jika dibandingkan dengan beribadah atas dasar ijitihad. Imam Ghazali berkata:” Sebaik-baik ilmu adalah ilmu yang menggabungkan antara akal dan as-sam’ (Al-Qur’an dan Sunnah) dan yang menyertakan pendapat dan syara’”.
Abu Bakar Al-Qoffal As-Syasyi berkata dalam bukunya “al-ushul”:” Ketahuilah bahwa Nash yang mencakup segala kejadian tidak ada, dan hukum-hukum memiliki ushul dan furu’ , dan furu’ tidak bisa diketahui kecuali dengan ushul, dan nilai-nilai itu tidak dapat di ketahui kecuali dengan ilmu fiqh dan ushul fiqh. Ilmu ini diambil dari syara’ dan akal yang suci secara bersamaan. Ia tidak menolak syara’ tidak pula menolak akal. Karena keutamaan ilmu ini lah, banyak orang yang mempelajarinya. Ulama yang faham ushul fiqh dan kaidah-kaidahnya adalah ulama yang tinggi derajatnya, tinggi wibawanya ,memiliki banyak pengikut dan murid. Maka hendaklah memulai dengan ushul untuk mengetahui hukum-hukum furu“.
Diantara faedah kaidah-kaidah ushul fiqh adalah:
  1. Dapat mengangkat derajat seseorang dari taqlid menjadi yaqin. Allah berfirman yang artinya:” niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan“. (QS. Al-Mujadalah: 11)
  2. Kaidah-kaidah ushul merupakan asas dan pondasi seluruh ilmu-ilmu islam lainnya. Maka ilmu fiqh, tafsir, hadits dan ilmu kalam tidak akan sempurna tanpanya. Kaidah-kaidah ushul menjadikan pemahaman terhadap al-quran dan sunnah dan sumber-sumber islam lainnya menjadi akurat.
  3. Dengan memahami kaidah-kaidah ushul, seseorang dapat dengan mudah mengambil kesimpulan-kesimpulan hukum syari’ah al-far’iyyah dari dalil-dalilnya langsung dan terus melaksanakannya. Karena kaidah-kaidah ushul merupakan sarana yang menghantarkan seseorang pada hukum-hukum fiqh.
  4. kaidah-kaidah ushul berusaha membentuk kembali ilmu ushul fiqh dalam bentuk yang baru, lebih singkat dan akurat yang dapat membantu seorang mujtahid dalam pengambilan hukum.
  5. Seorang yang faham ushul fiqh dan kaidah-kaidahnya akan dapat dengan mudah mengcounter pemikiran-pemikiran yang berusaha menyerang hukum-hukum islam yang telah mapan seperti wajibnya rajam, hudud dan lain sebagainya.
  6. Tujuan akhir adalah untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
2. Kedudukan Kaidah-Kaidah Ushul Fiqh
Kedudukan dan keutamaan sebuah ilmu tidak lepas dari tema, objek, tujuan, apa yang di bahas, besar kebutuhan, kekuatan dalilnya serta maslahat yang dihasilkannya. Semakin besar faedahnya semakin tinggi pula kedudukannya. Kaidah-kaidah ushul memiliki kedudukan tinggi, yaitu berada pada urutan pertama setelah ilmu akidah.
Penjelasannya:
  1. Dari segi faedah dan buah yang di hasilkan oleh kaidah-kaidah ushul, penyusun telah jelaskan pada penjelasan faedah-faedah ushul fiqh diatas.
  2. Dari segi objeknya, penyusun telah jelaskan bahwa objek kaidah-kaidah ushul adalah ushul fiqh itu sendiri dari segi keakuratannya. Juga membahas nilai-nilai ushul fiqh untuk di undang-undangkan. Jika ilmu ushul fiqh memiliki kedudukan tinggi dalam islam, bagaimanakah kedudukan sebuah ilmu yang bertugas menambah keakuratan ushul fiqh?
  3. Dari segi tujuannya, tujuannya adalah pengambilan hukum syara’ yang praktis dari dalil-dali syara’ dan memperjuangkannya serta memberikan keakuratan dalam berijtihad dan kondisi mujtahid.  Usaha untuk mengetahui hukum-hukum Allah adalah merupakan kewajiban terpenting dan merupakan tujuan penciptaan kita di dalam kehidupan ini. Ilmu apapun yang memiliki tujuan ini adalah ilmu yang memiliki kedudukan tinggi.
  4. Dari segi kebutuhan. Tidak ada kebahagiaan didunia maupun di akhirat tanpa syari’at Allah. Dan syariat Allah tidak akan dapat diketahui tanpa kaidah-kaidah ushul. Ma la yatimmu al-fadil illa bihi fahuwa faadhil.


C.  Hukum Taklifi
            Hukum taklifi menurut pengertian kebahasaan adalah hukum pemberian bebansedangkan menurut istilah adalah perintah Allah yang berbentuk pilihan dan tuntutan. Dinamakan hukum taklifi karena perintah ini langsung mengenai perbuatan seorang mukallaf(balig dan berakal sehat). Disebutkan tuntutan karena hukum taklifi menuntut seorang mukallaf untuk melakukan  dan meninggalkan suatu perbuatan secara pasti. misalnya firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah, 2:110. Artinya: ”Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat.”(Q.S. Al-Baqarah,2:110) Tuntutan Allah SWT untuk meninggalkan suatu perbuatan, misalnya firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’, 17:33. Artinya: ”Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan sesuatu alasan yang benar.”(Q.S. Al-Isra’,17:33) Tuntutan Allah SWT mengandung pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya,

Dengan demikian, taklifi dibagi menjadi lima macam, yaitu:
1.    Tuntutan untuk memperbuat secara pasti, yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan mendapat ganjaran dan apabila ditinggalkan akan mendapat ancaman Allah Swt, yang disebut dengan istilah “wajib”.
Contohnya: mengerjakan shalat, puasa, dan sebagainya.

Pembagian wajib ditinjau dari segi wakyu pelaksanaan.
·      Wajib muthlaq
Yaitu kewajiban yang ditentukan waktu pelaksanaannya, dengan arti tidak salah bila waktu pelaksanaannya ditunda sampai ia mampu melaksanakannya.Contohnya wajib membayar kafarah sumpah, tapi waktunya tidak ditentukan oleh syara’
·      Wajib muaqqad
Yaitu kewajiban yang waktu pelaksanaannya ditentukan dan tidak sah bila dilakukan diluar waktu tersebut. Contohnya puasa ramadhan. Wajib ini di bagi menjadi tiga bagian, yaitu:
ü  Wajib muwassa’
Yaitu kewajiban yang waktu untuk melakukan kewajiban itu melebihi waktu pelaksanaan kewajiban itu.  contohnya waktu shalat lima waktu, shalat isya dari petang sampai subuh.
ü  Wajib mudhayyaq
Yaitu suatu kewajiban yang menyamai waktunya dengan kewajiban itu sendiri. Contohnya puasa ramadhan waktu mulainya dan berakhirnya sama yaitu dari terbit fajar sampai maghrib.
ü  Wajib dzu syahnaini
Yaitu kewajiban yang pelaksanaan nya dalam waktu tertentu dan waktunya mengandung dua sifat di atas yaitu muwassa’ dan mudhayyaq.yaitu waktu mulainya sama dengan waktu berakhirnya dan waktunya panjang, contohnya ibadah haji.

Pembagian wajib dari segi pelaksana.
·      Wajib ‘ain
·      Wajib kifayah

Pembagian wajib dari segi kadar yang dituntut.
·      Wajib muhaddad yaitu Kewajiban yang ditentukan kadarnya.  contoh : zakat
·      Wajib ghairu muhaddad Yaitu kewajiban yang tidak ditentukan kadarnya.

Pembagian wajib dari segi bentuk perbuatan yang dituntut.
·      Wajib mu’ayyan : Wajib yang ditentukan zatnya , contoh : membaca Al Fatihah dalam shalat.
·      Wajib mukhayyar : Wajib yang diberi kebebasan memilih, contoh = kafarah sumpah.

2.    Tuntutan untuk memperbuat secara tidak pasti, dengan arti perbuatan itu dituntut untuk di kerjakan. Yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan oleh seorang mukallaf akan mendapat ganjaran di sisi Allah Swt. Dan apabila ditinggalkan tidak mendapat ancaman dari Nya, yang dikenal dengan istilah “Nadb(sunat)”.
a.  Dari segi selalu dan tidak selalunya nabi melakukan sunah tersebut. Sunah terbagi dua;
·      Sunah muakkadah Yaitu perbuatan yang dilakukan oleh nabi disamping ada keteranganyang menunjukkan bahwa perbuatan itu bukanlah sesuatu hal yang fardhu.
·       Sunah ghairu muakkadah Yaitu perbuatan yang pernah dilakukan oleh nabi, tetapi nabi tidak melazimkan dirinya dengan perbuatan tersebut.

b.  Dari segi kemungkinan meninggalkan perbuatan, sunah terbagi dua, yaitu;
·      Sunah hadyu Yaitu perbuatan yang dituntut untuk melakukannya karena begitu besar faedah yang didapat darinya dan orang yang meninggalkannya dianggap sesat. Contohnya shalat hari raya.
  • Sunah zaidah Yaitu sunah yang bila dilakukan oleh mukallaf dinyatakan baik dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa. Yaitu kesukaan Nabi yang bagus bila ditiru dan tidak dicela bila ditinggalkan.
  • Sunah nafal Yaitu perbuatan yang dituntut sebagai tambahan bagi ibadah wajib.

3.    Tuntutan untuk meninggalkan secara pasti, yaitu suatu pekerjaan yang apabila dikerjakan oleh seorang mukallaf maka ia akan mendapat ancaman dari Allah Swt. dan apabila ditinggalkan maka ia akan mendapat pahala, yang dikenal dengan istilah “haram”.
Ulama hanafiyah menjabarkan hukum haram menjadi dua berdasarkan dalil yang menetapkannya.Tuntutan dan larangan secara pastiyang ditetapkan oleh dalil dalil zhanni disebut karahah tahrim.
Contohnya: memakan harta anak yatim, memakan harta riba,dll.

4.    Tuntutan untuk meninggalkan atau larangan secara tidak pasti. Yaitu suatu pekerjaan yang apabila dikerjakan tidak berdosa dan bila ditinggalkan akan mendapat pahala, yang dikenal dengan istilah “karahah (makruh)”.
Contohnya: merokok,dll.
Catatan untuk perkara yang mubah :
·      Jangan berlebihan.
·      Jangan membuat perkara baru (bid’ah) dalam agama yang tanpa ada contoh atau tanpa ada maslahatnya dalam urusan dunia atau tidak menjadi sarana kemaslahatan yang lain.
·      Jangan sibuk dengan perkara yang mubah sehingga melalaikan dari akhirat.

5.    Sesuatu yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Jadi, disini tidak terdapat tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan. hal ini tidak diperintahkan dan tidak pula dilarang. Hukum dalam bentuk ini disebut “ibahah” sedangkan perbuatan yang diberi pilihan untuk berbuat atau tidak itu disebut “mubah”.
Contohnya: melakukan perburuan setelah melakukan tahallul dalam ibadah haji, dll.

Kedudukan Dan Fungi Hukum Taklifi

a. Kedudukan Hukum Taklifi
Kedudukan hukum taklifi (dalam hukum Islam) merupakan ketetapan-ketetapan dari Allah itu sendiri.

b. Fungsi Hukum Taklifi
Fungsi hukum taklifi adalah sebagai rambu-rambu bagi umat Islam mengenai berbagai perbuatan yang boleh dan dilarang, perbuatan yang sebaiknya ditinggalkan tetapi jika dilakukan tidak berdosa, dan lain-lain.

D.  Hukum Wad’I
Hukum wad’I adalah khitab syar’I yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang dari sesuatu yang lain. Ketentuan hukum ini di kenal dengan istilah lain sebagai pertimbangan hukum. Hukum wad’I juga bisa dikatakan hukuman yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang mengandung persyaratan sebab atau mani’.

Macam-Macam Hukum Wad’i

Para ulama’ usul fiqh menyatakan bahwa hukum wad’I itu ada lima macam yaitu ;
1.    Sebab
Secara etimologi (al-sabab) mempunyai arti al-hablu (tali) dan sesuatu yang menghantarkan kepada maksud atau tujuan. Secara bahasa Sebab yaitu sifat yang nyata dan dapat di ukur yang dijelaskan leh nash al-qur’an atau sunnah bahwa keberadaannya menjadi petunjuk bagi hukuman syara’ artinya, keberadaan sebab merupakan pertanda keberadaan suatu hukum.Contoh sebab: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku-siku.” [QS. Al-Maidah (5): 6]. Kehendak melakukan shalat adalah yang menjadikan sebab diwajibkannya wudhu, tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya sholat dzuhur.

2. Syarat
Syarat ialah: suatu yang menyebabkan adanya hukum dengann adanya syarat dan bila tidak ada syarat maka hukum pun tidak ada. Contoh syarat: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.” [QS. Ali Imran (3): 97]. Kemampuan adalah menjadi syarat diwajibkannya haji.

3. Mani’
Mani’ yaitu sifat yang nyata yang keberadaannya menyebabkna tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Seperti hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan menyebabkan terjadinya hubungan kewarisan. Contoh mani’ (pencegah): Rasulullah saw. bersabda, “Pena diangkat (tidak ditulis dosa) dari tiga orang, yaitu dari orang tidur sampai ia bangun, dari anak kecil sampai ia dewasa, dan dari orang gila sampai ia sembuh (berakal).” Hadits ini menunjukkan bahwa gila adalah pencegah terhadap pembebanan suatu hukum dan menjadi pencegah terhadap perbuatan yang sah.

4. Sah dan Batil
Lafadz sah dapat diartikan lepas tanggungjawab atau gugur kewajiban di dunia serta memperlah pahala dan ganjaran di akhirat. Sholat diakatakan sah karena telah dilaksanakan sesuai dengan yang diperintahkan syara’ dan akan mendatangkan pahala di akhirat.
Lafadz batal dapat diartikan tidak lepas diartiakn tanggungjawab tidak menggugurkan kewajiban di dunia dan akhirat tidak memperolah pahala.
5. Aziman dan Rukhsah
Aziman dan rukhsah: adalah hukum yang disyariatkan Allah kepadaseluruh hambanya sejak semula. Artinya belum ada hukum sebelum hukum itu disyariatkan Allah, sehingga seluruh makhluk wajib mengikuti sejak hukum tersebut disyariatkan. Misalnya: jumlah rakaat sholat dzuhur adalah empat rakaat, jumlah rakaat ini ditetapkan Allah sejak semula dimana sebelumnya tidak ada hukum lain yang menetapkan jumlah rakaat sholat dzuhur, hukum tentang rakaat sholat dzuhur itu adalah empat rakaat disebut dengan aziamh, apabila ada dalil lain yang menunjukkan bahwa orang-orang tertentu boleh mengerjakan sholat dzuhur dua rakaat seperti orang musafir, maka hukum itu disebut rukhsah.

Adapun alasan mengapa rukhshah dan ‘azîmah bukan termasuk dalam hukum wadh’îe akan tetapi masuk dalam hukum taklîfîe adalah karena kedua hukum tersebut mengandung kehendak atau permintaan (iqtidhâ`) dalam hukum ‘azîmah dan kebebasan memilih (takhyîr) dalam hukum rukhshah. Sebaliknya pendapat yang menganggap bahwa ‘azîmah dan rukhshah merupakan bagian dari hukum wadh’îe dan bukan termasuk dalam hukum taklîfîe mengatakan bahwa rukhshah pada hakikatnya adalah sifat yang dijadikan Syâri’ sebagai sebab peringanan suatu hukum syariat, sedangkan ‘azîmah adalah kelangsungan adat dan kebiasaan yang menjadi sebab berlakunya hukum asli, seperti hukum kewajiban salat, zakat, dan lain sebagainya.

Sedangkan alasan mengapa al-shihhah dan al-buthlân atau al-fâsid tidak termasuk dalam hukum wadh’îe akan tetapi bagian dari hukum taklîfie, yaitu karena pada hakikatnya al-shihhah adalah pembo1ehan dari Syâri’ untuk memanfaatkan sesuatu, seperti pembolehan memanfaatkan mabî’ (barang yang dijual) oleh pihak pembeli. Sebaliknya al-buthlân adalah keharaman memanfaatkan sesuatu, seperti larangan memanfaatkan mabî’ jika akad jual beli batal atau tidak sah.

Contoh Hukum Wad’I
Contoh hukum wad’I menurut firman Allah swt.dan sunah Rasulullah saw.berikut
1.      Khitab Allah swt.yang Menunjukan Sesuatu Menjadi Sebab yang Lain
Allah swt.berfirman dalam Surah al-Isra’ Ayat 78
( أقم الصلاة لدلوك الشمس (الإسراء: 78)
Artinya: “Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir.” (QS. Al-Isrâ`: 78)
Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa condongnya matahari menjadi al-sabab adanya kewajiban salat dzuhur.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya :“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit [403] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh [404] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni'mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”

2. Khitab Allah swt.yang Menunjukan Sesuatu Menjadi Syarat yang Lain
Allah berfirman dalam Surah an-Nisa Ayat 6
Setelah memperhatikan contoh di atas, di sana tidak ditemukan kesesuaian yang tampak antara adanya al-sabab dan munculnya suatu hukum syariat, kecuali yang diketahui oleh Syâri’ sendiri. Dalam hal seperti ini para ulama ushûl menyebutnya sebagai al-sabab dan al-‘illah, namun ada sebagian ulama yang menyebutnya al-sabab saja dan bukan al-‘illah, karena menurut pandangan mereka al-‘illah adalah yang mempunyai kesesuaian yang cocok antara hukum syariat dan al-‘illah.

3. Khitab Rasullulah saw.yang Menunjukan Sesuatu Menjadi Penghalang (Mani’).
Rasulullah saw.bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud yang artinya :
“Tidak ditulis sebagai dosa dari tiga hal, yaitu dari orang gila sampai ia sembuh (berakal), dari orang tidur sampai bangun, dan dari anak kecil sampai dia dewasa. ( H.R. Abu Dawud dari Ibnu Abbas : 3823)”
         
Hadits diatas menggambarkan bahwa gila menjadi penghalang terhadap pembebanan suatu hukum dan menjadi penghalang (Man’i) terhadap perbuatan yang sah. Selain hadits diatas, terhadap pula hadits yang lain, yang artinya :
“Orang islam tidak mewarisi orang fakir dan orang kafir tidak mewarisi harta orang islam. ( H.R. al-Bukhari dari Usamah bin Zaid : 6267 dan Muslim : 3027)”
Berlainan agama antara orang yang mewariskan hartanya dan orang yang mewarisi menjadi penghalang seseorang untuk menerima harta waris.
          Berdasarkan ketentuan dan contoh-contoh tersebut, hukum wad’I pada dasarnya sebagai petunjuk dalam melaksanankan hukum taklifi. Mengenai hukum wad’I para ulama berpendapat bahwa hukum wad’I tidak hanya mengandung lima hal diatas, tetapi juga mengandung rukhsah (kemurahan), dan sihah (sah).

E.  Perubahan Hukum dalam Islam (Nasakh)

Secara umum dari sisi etimologi, bahwa nasakh berarti mengangkat atau menghilangkan, di samping juga ada pengertian nasakh yang berarti menyalin (nasakh tu kitab = saya menyalin kitab). Tapi secara umum, terutama berkaitan dengan permasalahan ini, nasakh berarti mengubah, mengangkat, atau mengganti ketentuan yang ada. Sehingga, nasakh di dalam persepsi kajian Ilmu Fiqh adalah mengganti hukum-hukum yang sudah ada dengan hukum baru yang datang setelah itu. Karena itu, untuk mengetahui nasakh dan mansukh ini, maka harus diketahui mana ayat-ayat yang dianulir dan mana ayat-ayat yang ditetapkan untuk menggantikan posisi ayat yang pertama. Dalam hal ini, persyaratan yang menggantikan itu harus yang datang kemudian. Karena itulah, juga harus diketahui kapan ayat tersebut turun.

Seni Menambah Khusyuk dalam Ibadah
Pada prinsipnya, nyaris menjadi suatu kesepakatan seluruh Umat Islam sejak zaman Rasulullah hingga kini, bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang sudah kadaluwarsa (mansukh). Dalam hal ini, kecuali satu orang yang tidak menyetujui, yaitu Abu Muslim Al-Isfahani. Beliau ini menentang habis-habisan terjadinya nasakh dan mansukh di dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Menurutnya, kalau ada suatu ayat, kemudian ayat tersebut dinyatakan kadaluwarsa, berarti ada hukum Allah yang memang tidak layak pakai. Dan Allah sangat mustahil menentukan sebuah ketentuan yang tidak layak pakai.
Seberapapun hujjah dalil yang disampaikan Abu Muslim Al-Isfahani, tetapi realita menjelaskan kepada kita, bahwa banyak ayat-ayat yang masa berlakunya sudah tidak lagi ditetapkan sebagai hukum Islam sejak Rasulullah masih ada. Nasakh dan mansukh ini bukanlah persoalan logika, bukan hasil dari pemikiran manusia, bukan pula hasil pemikiran sahabat, bahkan juga bukan hasil pemikiran Rasulullah, tetapi memang Allah lah yang menyampaikan bahwa suatu ayat tersebut hanya sampai ketika itulah berlakunya, kemudian diganti dengan ayat yang lain. Persoalannya adalah, apakah gunanya nasakh dan mansukh ini? Apakah Allah itu sama dengan manusia, yang Dia tidak mengerti bahwa sekarang ini kondisinya begini, nantinya ketika kondisi tersebut berbeda, maka peraturan tersebut akan diganti? Padahal semua yang terjadi ini, bahkan sebelum alam ini terjadi, Allah sudah menentukan, bahwa nanti akan begini, dan nantinya lagi akan begini.
Lantas mengapa Allah menentukan, seolah-olah Allah tidak mengetahui akan terjadi perubahan nantinya? Hal ini tentunya persoalan yang layak untuk kita cari jawabannya. contoh Nasakh Ayat mengenai pembagian warisan (mawaris): Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa`atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (12) Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.
Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris).
(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari`at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (Q.S. An-Nisaa: 11-12) Berkaitan dengan contoh ini, bahwa dalam masyarakat jahiliyah ketika itu, ternyata harta pusaka tidaklah dibagi menurut paraturan yang adil dan bijaksana, Karena hanya anak tertua (anak pertama) lah yang berhak memperoleh harta pusaka. Atau terkadang diwasiatkan kepada orang yang disukai oleh pemilik harta pusaka tersebut. Wanita sama sekali tidak berhak menerima harta pusaka. Oleh karena itu, mula-mula Alquran mewajibkan berwasiat bagi pemilik harta pusaka kepada kedua orang tua dan sanak famili (kerabat) tanpa terkecuali (Surah Al-Baqarah ayat 180).
Kemudian setelah kewajiban wasiat tersebut diterima dan dilaksanakan dengan baik, maka turunlah ayat mawaris yang mengatur pembagian harta pusaka dengan hukum faraidh yang adil (Surah An-Nisaa ayat 11-12). Di samping itu juga memberikan hak kepada kerabat dari ibu untuk menerima harta pusaka, sebagaimana yang diberikan kepada kerabat dari pihak ayah, meskipun bagian yang diterima oleh kerabat dari pihak ayah lebih besar daripada yang diterima oleh kerabat dari pihak ibu, sebagaimana firman Allah yang berbunyi: Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (Q.S. An-Nisaa: 7)
Contoh lainnya adalah mengenai meminum minuman keras (khamar) dan judi (maisir). Pada umumnya, orang Arab ketika itu (ketika masa Rasulullah) merasa bangga dan tinggi status sosialnya bila berjudi dan meminum khamar. Karena kedua hal tersebut dapat mendorong seseorang untuk bersikap pemberani dan rela berkorban. Berhubung kepercayaan (semboyan) tersebut telah mendarah daging dalam diri mereka, maka mula-mula agama Islam tidak mengharamkan kedua perbuatan tersebut, tapi hanya memberikan isyarat bahwa kedua hal tersebut tidak baik. Allah memberikan isyarat tentang tidak baiknya khamar seperti yang termaktub di dalam Alquran: Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang baik.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan. (Q.S. An-Nahl: 67) Dengan membandingkan antara khamar yang memabukkan dengan rezeki yang baik, Allah memberikan isyarat, bahwa khamar yang memabukkan itu tidak baik. Kemudian Allah menjelaskan tentnag bahaya meminum khamar dan berjudi dengan ungkapan yang lebih jelas dalam ayat berikut ini: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa`at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa`atnya”.
Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir, (Q.S. Al-Baqarah: 219) Ayat ini telah mengarah pada penetapan haramnya kedua perbuatan tersebut. Karena setiap perbuatan yang bahayanya lebih banyak daripada manfaatnya, maka perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang terlarang. Hanya saja larangan dalam ayat ini belum diungkapkan dengan jelas. Oleh karena itu, para tokoh sahabat yang bertaqwa telah meninggalkan minuman keras (khamar) berdasarkan prinsip-prinsip ajaran Islam. Dalam tahap berikutnya, khamar telah dilarang pada waktu-waktu tertentu. Seperti yang dijelaskan oleh Allah dalam ayat berikut ini: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.
Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema`af lagi Maha Pengampun. (Q.S. An-Nisaa: 43) Berdasarkan ayat ini, sebagian orang mukmin (sahabat) telah meninggalkan minuman keras (khamar) pada waktu siang dan sebagian waktu malam. Sedang sebagian yang lain mengetahui bahwa khamar diharamkan secara mutlak, sehingga mereka telah meninggalkannya sama sekali sebagaimana pada tahap terakhir, Allah mengharamkan khamar secara pasti (qath’i) dengan firman-Nya yang berbunyi: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Q.S. Al-Maidah: 90) Setelah ayat tersebut dibacakan oleh Rasulullah, maka para sahabat yang bertaqwa menjawab dengan suara yang keras: “Kami telah berhenti dari perbuatan itu”.
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa hukum syara’ itu ditetapkan secara bertahap, sesuai dengan situasi dan kondisi. Semula suatu perbuatan itu dibiarkan hukumnya sesuai dengan hukum yang sudah ada. Kemudian barulah diharamkan dan mengganti (menasakh) hukum yang dahulu dengan hukum yang datang kemudian. Setelah syariat Islam turun dengan sempurna, maka hukum yang telah ditetapkan tersebut berlaku hingga hari kiamat. Sedang syariat Islam telah sempurna dengan turunnya firman Allah yang berbunyi: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan.
Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al-Maidah: 3) Termasuk juga nasakh jenis ini adalah membatalkan sesuatu yang sebelumnya dilarang, yaitu seperti sebelumnya Rasulullah melarang ziarah kubur, tetapi kemudian Rasulullah memperbolehkannya, seperti dalam suatu hadis disebutkan: (Dahulu) aku telah melarang kalian berziarah kubur.
Oleh karena itu (sekarang)berziarahlah ke kuburan. (Al-Hadits) *** Sebenarnya terdapat beberapa perbedaan pendapat tentang naskh ayat Al-Quran. Sebagian dari pendapat itu ada betul-betul menolak secara total adanya nasakh, sebagian lagi justru sebaliknya, nyaris semua ayat Quran bisa di-nasakh oleh mereka, lalu ada pendapat yang pertengahan, di mama konsep nasakh itu diterima, namun tidak bisa sembarangan dalam menetapkannya.
1. Para penentang nasakh Yang paling gigih dalam menentang adanya nasakh adalah Kaum Yahudi. Mereka berpendapat bahwa adanya naskh dalam syariat Islam menyebabkan munculnya kesimpulan,`Bahwa sesuatu itu ada setelah ketiadaannya`. Yang menurut mereka berarti naskh ada karena kurangnya kebijaksanaan (dan hal ini mustahil bagi Allah), atau naskh ada karena adanya kebijaksanaan yang mucul atau tampak setelah ketiadaannya di waktu sebelumnya dan hal ini akan memberikan kesimpulan bahwa Allah itu tadinya tidak tahu (dan hal ini pun mustahil bagi Allah).
Dan jawaban bagi mereka yang berpendapat seperti ini adalah bahwa apa yang mereka katakan itu tidaklah benar adanya, karena Allah itu Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk para hamba-Nya, dan semua itu terjadi juga untuk mashlahat manusia itu sendiri. Adapun sanggahan bagi pendapat mereka yang sebenarnya datang dari mereka sendiri adalah bahwa mereka pun meyakini bahwa sebagian syari’at Musa pun datang menghapuskan syari’at nabi-nabi sebelumnya. Dan begitu juga telah ada naskh dalam kitab Taurat mereka, sebagai contoh, telah diharamkan bagi mereka beberapa jenis hewan yang sebelumnya merupakan makanan yuang halal bagi mereka. Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang Israil haramkan untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan, Katakanlah (jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum diturunkannya taurat) maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah ia jika kamu adalah orang-orang yang benar. (QS Ali Imran: 93) Dan di dalam Taurat pun telah disebutkan bahwa Nabi Adam a.s. telah menikahkan anak laki-lakinya dengan anak perempuannya sendiri, dan hal ini telah diharamkan dalam syari`at Nabi Musa a.s, dan masih banyak lagi hal lain sebagai bukti lemahnya dalil yang mereka ajukan.
2. Golongan orang-orang yang telalu berlebihan dalam membolehkan nasakh Mereka adalah golongan rawafidhah, di mana mereka terlalu berlebihan dalam membolehkan sekaligus menetapkan adanya naskh dalam syari’at Islam. Mereka 180 derajat berseberangan pendapat dengan kaum Yahudi. Mereka mengambil dalil dari perkataan-perkataan yang dinisbatkan pada Ali r.a. yang sebenarnya kata-kata itu tidak pernah datang dari beliau. Allah menghapuskan apa yang dia kehendaki dan menetapkan (apa yang dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh). (QS Ar-Ra`d: 39)
3. Pendapat Pertengahan Yaitu pendapat sebagian besar ulama atau diistilahkan dengan jumhur ulama. Mereka mengatakan bahwa naskh itu memungkinkan terjadinya secara akal dan juga dalam syari`at Islam.
Dalil mereka adalah:
a. Bahwa semua hal yang dilakukan oleh Allah tidak dihalangi oleh tujuan-tujuan tertentu, tapi Allah Maha Kuasa untuk melakukan apa saja yang Dia kehendaki, bahkan dalam satu waktu sekalipun, dan Dialah Yang Maha Tahu mana yang terbaik untuk hamba-Nya.
b. Nash-nash dalam Al-Qur’an dan hadits telah menunjukkan kemungkinan tejadinya naskh. Di antaranya adalah: Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata`Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja`. bahkan kebanyakan mereka tiada Mengetahui. (QS An-Nahl: 101) Ayat mana saja yang kami nasakh-kan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS Al-Baqarah: 106) Selain itu ada Abu Muslim al-Ashfahani berpendapat bahwa terjadinya naskh itu dibenarkan oleh akal, namun tidak oleh syari`at.
d. Dlilnya dalam pendapatnya ini adalah firman Allah berikut: Yang tidak datang kepadanya (Al-Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
(QS. Al-Fushilat:42) Hikmah Adanya Naskh Perhatian Allah Ta`ala pada kemashlahatan hamba-Nya, sehingga naskh hanya akan Allah turunkan ketentuannya bila hal itu memang yang terbaik bagi mereka. Perubahan syari’at yang selalu menuju kearah kesempurnaan sesuai dengan perkembangan dakwah dan juga perkembangan kehidupan manusia.
Sebagai ujian bagi manusia apakah ia akan tunduk pada aturan yang telah ditentukan oleh Allah ataukah ia akan membangkang-Nya. Semuanya adalah merupakan kehendak Allah untuk memberikan apa yang terbaik bagi hamba-Nya yang sekaligus memberikan kemudahan dalam menjalankannya. Kesimpulan
1. Naskh adalah hal yang diperbolehkan keberadaannya dalam agama Islam. Hal ini sesuai dengan dalil yang telah datang dari Alqur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
2. Demi menjaga kemashlahatan hamba-Nya, Allah telah menghapus sebagian hukum dalam syari`at Islam. Bila ternyata hukum penggantinya itu lebih ringan, maka itu adalah kemudahan yang diberikan oleh Allah di dunia ini secara langsung, namun apabila ternyata penggantinya lebih berat, maka tidak lain hal ini akan melipat gandakan pahala pelaksananya sebagai balasan atas ketaatannya pada aturan Allah Ta`ala.
3. Bahwa Allah Ta`ala adalah raja segala raja yang hanya Dia-lah yang berkuasa membuat peraturan bagi hamba-hamba-Nya. Maka dari itu hendaknya kita selalu tunduk pada aturan-aturan yang datang dari-Nya, yang berupa perintah maupun larangan.

Daftar Rujukan
Al-Jailany Al-Marini, Al-Qowaid Al-Ushuliyah wa tatbiqotiha ‘inda Ibn Quddamah fi kitab Al-Mugni, Kairo : Dar Ibn Affan, cetakan pertama tahun 2002 M
Amir syrifuddin,Ushul fiqh,Jakarta:fajar interpratama offset.
Badaruddin Az-Zarkasyi, Al-Bahrul Muhit,  jilid 1, 1994.
Dr. Abdul Karim Zaidan, 2006, Al-Wajiz fi Syarhi Al-Qowaid Al-Fiqhiyah fi As-Syari’ah Al-Islamiyah, Beirut-Libanon: Muassasah Ar Risalah Nasyirun
Dr. Aiman Abdul Hamid Al-Badrain, 2005, Nadzoriyyah At-Taq’id Al-Ushuly, Kairo: Dar Ibn Hajm
Dr. Muhammad Dzuhaily, 2004, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah ala Al-Madzhab Al-Hanafy wa As-Safi’I, Kuwait: Majlis Al-Nasr Al-’Ilmy
Muhammad bin Muhammad Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustashfa fi ilm Al-Ushul, Beirut : Dar El-Kutub El-Ilmiyah, cetakan tahun 1413 H
Syabir, Muhammad Utsman, Al-Qowaid al-Kulliyah wa ad-Dhowabit Al-Fiqhiyah, Yordania : Dar El-Furqon, cetakan pertama, tahun 2000

www.rumahfiqih.com Fiqihpedia n http://thenafi.wordpress.com

0 Response to "Kaidah-Kaidah Hukum Islam"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel